Oleh: Komunitas Aleut
Tulisan ini bercerita sedikit saja tentang peranan Soetoko dalam masa revolusi mempertahankan kemerdekaan RI di Bandung. Sama sekali tidak lengkap. Mungkin lain waktu dapat ditambahkan cerita-cerita lain tergantung ketersediaan sumber referensi.
Langka sekali informasi pribadi tentang Soetoko yang bisa kami temukan, begitu pula dengan fotonya. Umumnya hanya mengulang-ulang data alur pendidikan yang sangat singkat saja. Itu pulalah yang kami ulang di sini untuk memberikan sedikit gambaran latar belakang Soetoko.
Soetoko dilahirkan di Jakarta pada 18 Mei 1917. Pendidikan dasarnya ditempuh di HIS Pacitan dan selesai pada 1932, lalu dilanjutkan ke MULO di Ngupasan, Yogyakarta. Sejak tahun 1934 mulai bekerja di lingkungan Jawatan PTT sebagai Asisten Klerk PP Semarang. Pada masa akhir pemerintahan Hindia Belanda, mengikuti pendidikan Bedrijfsambtenaar Cursus di Bandung dan mendapatkan kesempatan menjadi pegawai PTT sampai jabatan Controleur I. Dan dari sinilah kiprah perjuangan fisiknya dimulai.
Walaupun secara resmi Jepang sudah menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, namun sampai bulan Oktober mereka masih masih memegang kekuasaan penuh di Indonesia. Bahkan pada November-Desember mereka mendapat mandat dari Sekutu untuk memulihkan keamanan di luar wilayah pendudukan Sekutu. Begitu pula dengan persenjataan, sepenuh masih berada dalam kekuasaan tentara Jepang.
Buku “Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945” (1984) memuat rincian jumlah serdadu Jepang yang berada di Indonesia sekitar 490 ribu jiwa dengan puluhan ribu senjata dan puluhan juta butir peluru. Belum lagi puluhan ribu granat tangan, pistol, mortir, meriam, dan tank. Sekutu yang datang membawa persenjataan yang lebih lengkap lagi, lebih banyak dan lebih mutakhir.
Untuk mendapatkan senjata, pejuang Republik umumnya menempuh dua cara, secara diplomatis dengan perundingan, atau melalui perebutan yang kadang mengakibatkan terjadinya pertempuran. Pelopor perebutan senjata di Jawa Barat adalah Soetoko dkk yang secara diplomatis dan bertahap mengambil alih kantor demi kantor yang dikuasai oleh Jepang.
THE BIG TEN ANGKATAN MUDA PTT
Soetoko adalah penggerak utama Angkatan Muda PTT (Dinas Pos, Telegrap, dan Telepon). Ketika pemerintahan Hindia Belanda berakhir, Soetoko berinisiatif menghadap atasannya, Mas Soeharto, pegawai bangsa Indonesia yang tertinggi pangkatnya di PTT yaitu Controleur I dan menjabat sebagai Kepala Biro, agar segera mengambil alih operasional PTT. Mas Soeharto menyarankan agar bersabar dan menyiapkan diri menunggu peluang yang lebih besar.
Nawawi Alif, salah seorang pejuang dalam Angkatan PTT menceritakan Soetoko: “semenjak pemerintahan Hindia Belanda menyerah kalah, tanpa pemilihan, tanpa pemyataan, (Soetoko) kami perlakukan sebagai ketua dan pemimpin di dalam tindak dan sikap kami. Kebetulan Mas Toko ditugaskan di Booeihobu, yakni bahagian keamanan…”
Pada masa Jepang Soetoko menjadi booeihobu (Perlindungan Bahaya Udara) yang mengepalai seluruh Barisan Seinendan di lingkungan Sekolah PTT, termasuk Radio, Laboratorium, Kantor Pos Besar dan Kantor Telepon. Latihan Seinendan yang mengarah kepada latihan militer kemudian dikhususkan bagi pemuda saja dan terbentuklah apa yang dinamakan Tsusin Tai atau Barisan Pusat PTT. Dari pemuda-pemuda yang tergabung dalam Tsusin Tai dibentuk pula yang dinamakan Tsusin Tokubetsutai atau Pasukan lstimewa/Barisan Pelopor PTT yang dipimpin oleh Boeihanbu.
Anggota paling aktif dari Barisan Pelopor PTT menjadi inti dari Angkatan Muda PTT (AMPTT) yang sering disebut sebagai The Big Ten karena terdiri dari 10 orang: 1) Soetoko 2) Nawawi Alif 3) Slamet Soemari Tjokrowardojo 4) Agoes Samah 5) Mohammad Joesoef Renosoetan 6) lsmojo 1) Tjahjana Natadiningrat 8) Soetjipto 9) Henk Kairoepan, dan 10) Achmad Moehammad. Mereka biasa berkumpul di warung-warung atau di rumah salah satu dari mereka.
Di PTT, saat Jepang merasa semakin terdesak, mereka memerintahkan untuk membangun tanggul pengaman di sekeliling gedung Pusat PTT. Tanggal 3 September 1945, Soetoko, Slamet Soemari, Joesoef, Agoes Saman, Nawawi Alif, dan beberapa pemuda lain bertemu di rumah Slamet Soemari di Cihaurgeulis. Di sini lahir saran agar segera merealisasi pemindahan kekuasaan dengan target bahwa Kantor Pusat PTT harus sudah dikuasai paling lambat akhir bulan September 1945.
PENGAMBILALIHAN KANTOR PUSAT PTT OLEH SOETOKO DKK
Tanggal 23 September 1945, Soetoko berunding dengan lsmojo dan Slamet Soemari dan memutuskan untuk meminta kesediaan dari Mas Soeharto dan R. Dijar untuk menuntut pihak Jepang supaya menyerahkan kekuasaan PTT secara damai. Bila pihak Jepang tidak mau menyerahkannya, maka akan ditempuh jalan kekerasan dengan kekuatan yang ada serta bantuan rakyat dan setelah itu mengangkat Mas Soeharto menjadi Kepala Jawatan PTT dan R. Dijar menjadi Wakilnya.
Keesokan harinya, Soetoko menemui Mas Soeharto dan R. Dijar dan meminta agar hari itu juga menemui pimpinan PTT Jepang dan mendesak agar pihak Jepang mau menyerahkan kepemimpinan Jawatan PTT secara terhormat kepada bangsa Indonesia. Mas Soeharto dan R. Dijar menyetujui dan melaksanakan tuntutan AMPTT.
Perundingan ini dapat dikatakan gagal, karena pihak Jepang sudah menerima bahwa penyerahan PTT haruslah kepada pihak Sekutu. Hari itu mereka hanya diizinkan mengibarkan bendera Merah Putih di halaman belakang gedung, di Jalan Cilaki.
Pada 26 September 1945 Soetoko memanggil Nawawi Alif dan Komandan Tsusin Tai, Soewarno, untuk memimpin peruntuhan tanggul di sekeliling kantor. Kepada mereka masing-masing diberi sebuah pistol. Lalu disusun sebuah koordinasi untuk merebut kekuasaan Jawatan PTT dari tangan Jepang. Sebagai pemimpinnya adalah Soetoko dan akan dibantu tiga Wakil Ketua yang terdiri dari Nawawl Alif, Hasan Zen dan Abdoel Djabar.
Sore harinya Soetoko menemui Mas Soeharto di rumahnya di Jalan Jawa No.2 untuk memberitahukan rencana AMPTT yang akan dilaksanakan besok tanggal 27 September 1945. Mas Soeharto merestui rencana tersebut. Malam itu juga anggota AMPTT disebar dan dipencar dengan tugas mencari dan mengumpulkan senjata tajam, kendaraan-kendaraan bermotor, senjata api dan kebutuhan lainnya yang akan dipergunakan untuk merebut Jawatan PTT.
Siasat dan taktik disusun. Penduduk dan semua organisasi perjuangan yang berkedudukan dekat Kantor Pusat PTT dihubungi dan semuanya menyatakan kesanggupan memberikan bantuan kepada AMPTT. Besok Mas Soeharto dan R. Dijar akan berunding di Kantor PTT dan pada saat itulah Soewarno dan pasukannya akan menerobos masuk dan menjebak tentara Jepang. Siasat ini berhasil dan Jepang menyerah.
Sesuai rencana, Soetoko membawa Mas Soeharto dan R. Dijar dari meja perundingan ke bawah, ke depan massa dan pada kira-kira jam 11.00, Soetoko membacakan surat pernyataan atas nama seluruh pegawai PTT Indonesia yang isinya mengangkat Mas Soeharto menjadi Kepala Jawatan PTT Republik Indonesia dan R. Dijar menjadi Wakilnya. Saat itu pula beberapa pemuda di bawah pimpinan Soewondo menurunkan bendera Jepang, lalu menaikkan dan mengibarkan bendera Merah Putih. Rakyat pun spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dengan demikian seluruh Jawatan PTT telah menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia.
Keesokan harinya, secara berturut-turut terjadi pula serah terima di kantor-kantor lainnya, Balai Besar Kereta Api, Kantor Keresidenan, Kantor Geologi, dan Kantor Kotapraja. Askari yang bekerja di Jawatan Geologi berhasil membawa satu set peta seluruh Pulau Jawa.
Di Kantor Besar Angkutan Jawa Barat yang diketuai Abe dengan wakilnya Hidajat, juga terjadi perebutan, terutama kendaraan-kendaraan besar yang kemudian diserahkan kepada BKR. Dengan bantuan pasukannya yang terdiri dari Soegiarto, Nazar, Rivai, Mahdar, dll, mereka mengambil kendaraan-kendaraan dari gudangnya di Kebonkawung. Para pemuda dari bengkel Kebonkawung ini kemudian menjadi Angkutan BKR, lalu menjadi Zeni A-TKR, dan Hidajat kelak duduk di Staf Divisi bersama Arudji Kartawinata yang menjadi komandannya.