Sekitar Bandung Lautan Api: “Soetoko dan Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 2

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.

SOETOKO DAN KELOMPOK PERJUANGAN

Atas instruksi Pemerintah Pusat di Jakarta, pada 29 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) Priangan dan Kota Bandung. Para pemimpin KNI Priangan di antaranya ada Oto Iskandar di Nata dan Niti Sumantri. Sedangkan di KNI Bandung  ada Sjamsurizal, A. Zachri, Djerman Prawiranata, Soetoko, Dr. Sopandi, dan tokoh-tokoh Bandung lainnya.

Soetoko juga bergabung dengan organisasi pemuda bernama Persatoean Pemoeda Peladjar Indonesia (P3I) dengan markas di Jalan Tamblong. Kemudian P3I berubah nama menjadi Pemoeda Repoeblik Indonesia (PRI) dengan ketua Soedjono, dan di bagian Pembelaan ada Soetoko, Mashudi, Soerjono (Pak Kasur), Abdoel Djabar, dll. Markas PRI mula-mula di Toko Tjijoda (Kota Tudjuh) di Groote Postweg, dan setelah tentara Inggris datang, pindah ke Kebon Cau.

Setelah pindah ke Kebon Cau ternyata perangkat meubel yang mereka miliki tidak lagi digunakan sebagai perlengkapan markas, melainkan sudah dijadikan barikade-jalan. PRI memiliki pasukan-pasukan di setiap kantor lama yang dipersiapkan untuk diambil alih, di antaranya di Andir, Sukajadi, Pasirkaliki, Kaca-kaca Wetan, dan di Cicadas. Kelak, PRI akan bergabung dengan kelompok-kelompok lain dan berubah nama menjadi Pesindo. Unsur-unsur pemimpinnya tetap sama, sementara pemimpin untuk pasukan ada Simon Tobing dan Soedarman.

Banyaknya kelompok perjuangan yang bermunculan melahirkan pemikiran untuk mebentuk suatu badan penghubung yang diberi nama Majelis Dewan Pimpinan Perjuangan (MDPP). Menurut John Smail mulanya badan ini hanya berfungsi sebagai komite penghubung dalam urusan militer yang terbentuk dari kontak-kontak informal beberapa pemimpin perjuangan sejak bulan Oktober. Ketika situasi di Bandung bertambah tegang, berubah perannya menjadi suatu badan koordinasi militer. Tokoh-tokoh dalam MDPP adalah Soetoko, Djamhuri, Male Wiranatakusumah, Astrawinata, Samaun Bakri, Kamran, Nukman, Hutapea, dan Pakpahan. Pesindo ikut bergabung dalam badan koordinasi ini.

Pada 14 Desember 1945 MDPP berganti nama menjadi Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) dengan ketuanya Kamran, sementara Sutoko mengepalai Biro Pertahanannya. Selain itu ada Biro Politik yang dipimpin oleh R. Djerman Prawirawinata dan Biro Tata Usaha yang dipegang oleh Sanusi Hardjadinata. Pada 25 Februari 1946, Soetoko terpilih menjadi Ketua MP3. John Smail memberikan waktu yang berbeda untuk perubahan nama ini, yaitu pertengahan bulan Maret, sehingga ketika Soetoko menjadi ketua, namanya masih MDPP.

Sebagai ketua baru, Soetoko menyampaikan garis besar pembentukan Persatuan Perjuangan Priangan, yaitu: 1) Persatuan Perjuangan Priangan akan menjadi badan koordinator untuk semua organisasi yang telah ada, 2) Persatuan Perjuangan ‘Priangan akan bersifat netral secara politis, 3) Persatuan Perjuangan Priangan tidak akan memiliki ikatan  keorganisasian dengan Persatuan Perjuangan di kawasan lainnya, 4) Persatuan Perjuangan Priangan akan berdiri di belakang pemerintah dan mendukung penuh usaha pemerintah untuk mendirikan kemerdekaan lndonesia.

Setelah dilaksanakannya instruksi pengosongan Kota Bandung pada akhir Maret 1946, MP3 bermarkas di Ciparay dan di sini membentuk Resimen Tentara Perjuangan (RTP) yang kemudian bergabung dengan Divisi Siliwangi yang terbentuk pada 20 Mei 1946.

PEMANCAR RADIO BANTENG HITAM

Buku “Sejarah Pos dan Telekomunikasi di Indonesia” (Departemen Perhubungan Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi, Jakarta, 1980) yang terdiri dari 5 jilid itu, mencatat kiprah Angkatan Muda PTT sebagai berikut:

Angkatan Muda PTT membantu menyiapkan pembuatan pemancar gelap untuk kepentingan gerakan bawah tanah, dan menyusun suatu sistem penyampaian berita yang cepat, tepat, dan aman melalui kurir, pos, telegrap, telepon dan radio. Ismojo juga menghubungi pemuda-pemuda PTT di seluruh Jawa untuk bersiap dan menetapkan kode “Is” sebagai tanda untuk merebut kekuasaan Jepang di kantor-kantor Jawatan PTT.

Soetoko juga memonitor segala kegiatan pemerintahan Jepang sehingga banyak pembicaraan penting, surat-surat, atau dokumen-dokumen berharga yang penting sekali diketahui oleh gerakan di bawah tanah. Kios telepon umum di Kantor Pusat PTT diubah menjadi tempat mikrofon yang dihubungkan dengan pengeras suara yang dapat didengarkan oleh setiap pegawai di tempat kerjanya masing-masing. Melalui pangeras suara itulah dapat terdengar pidato-pidato yang bersemangat.

Di bidang keradioan, Soedirdjo yang menjabat Kepala Dinas Teknik PTT, mendapatkan persetujuan Mas Soeharto untuk membagikan pesawat-pesawat pemancar dan penerima radio kepada badan-badan perjuangan agar dapat menyelenggarakan komunikasi yang cepat satu sama lain. Dengan perhubungan radio itu maka dapat dirancang suatu warning system yang sangat penting dalam perang kemerdekaan.

Soetoko dan Nawawi Alif juga memasang sebuah Pemancar Radio Mobil di gedung PTT di Jalan Sentot Ali Basah. Koordinator Pemancar Radio AMPTT itu adalah Soetoko sendiri dengan Nawawi Alif sebagai penyiar. Radio AMPTT tersebut diberi nama “Banteng Hitam” dengan call sign “Semar”. Dinas Teknik Radionya ditangani Soeratmoko dan Manap.

Ketika situasi di daerah utara tidak aman lagi, siaran radio “Banteng Hitam” dipindahkan ke rumah Pabrik Obat Karuhun (di sekitar di jalan Mohamad Toha). Di Cigereleng didirikan Kantor Telegrap darurat yang berhubungan dengan Jakarta, Yogya, dan tempat lain. Sebagai telegrafisnya adalah Katamsi dan Suwarnadi, dan untuk urusan teknik oleh Soebandi. Kantor Telegrap darurat lainnya didirikan pula di komplek stasion radio Malabar selama Bandung diduduki Sekutu.

Dengan komunikasi radio itu, pada 24 November 1945 dirancang suatu serangan malam ke Kota Bandung. Bertindak sebagai pemimpin serangan adalah Soetoko, sedangkan Arudji memberikan komando melalui radio Banteng Hitam di Jalan Asmi. Tepat pada pukul 00.00 semua jalur listrik dan telepon dimatikan dan serangan dilancarkan. Dalam sekejap terjadi berbagai pertempuran di Kota Bandung, mulai dari sekitar Pasar Baru sampai ke sebelah timur Kota Bandung. Serangan ini berjalan lancar, namun tetap ada kekurangan di dalam hal kekuatan nyata di lapangan dan persenjataan yang masih minim.

Markas MDPP dan Radio Banteng Hitam di Jalan Asmi. Foto: Komunitas Aleut.

*Bersambung ke Bagian 3

2 pemikiran pada “Sekitar Bandung Lautan Api: “Soetoko dan Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 2

  1. Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 3 | Dunia Aleut!

  2. Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 1 | Dunia Aleut!

Tinggalkan komentar