Sekitar Bandung Lautan Api: “Kapten Sangun” Bagian 2

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Kapten Sangun”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.

TIBA DI CIPEDES, CIPAKU, MAJALAYA

Sampai tiba di Majalaya, pasukan Belanda terus memburu. Serangan ke posisi di Pasirhuni mengakibatkan jatuhnya enam korban gugur, di antaranya Kopral Achmad. Serangan terakhir ini ternyata disebabkan oleh adanya penyusup ke tengah-tengah rakyat Majalaya. Dua di antara mereka adalah Sumardi dan rekannya. Sumardi sebelumnya adalah Komandan Seksi dalam Kompi Kasno. Mereka berhasil ditangkap dan dijatuhi hukum revolusi.

Di tengah pertempuran ini, Kompi Kasno dan Kompi Sumardja berpencar, masing-masing ke Bojongbecik dekat Majalaya, dan ke Ciparay. Sebagian Staf Brigade XIV yang dipimpin langsung oleh komandannya, Mayor Syamsu, mengambil posisi di Cibodas-Rancaekek. Sementara Moh Rivai menuju Cipedes, Cipaku. Tempat ini adalah pos terakhir Batalyon III Brigade XIV Divisi Siliwangi Mohamad Rivai yang terpaksa ditinggalkan karena Perang Kemerdekaan I. Kini mereka telah kembali berkedudukan di tempat semula. Total perjalanan long march mereka memakan waktu 65 hari dengan jarak yang ditempuh sekitar 600 kilometer.

Belum lama Moh. Rivai berada di Cipedes, beredar berita luas tentang seorang pengusaha besar bernama AA yang tinggal di Bandung mengadakan hadiah sebesar 10 ribu uang merah (uang Belanda) bagi siapa saja yang dapat menangkap Mayor Rivai dalam keadaan hidup ataupun mati. AA pernah ditangkap oleh Mayor Rivai  di Bandung pada masa awal perang kemerdekaan. AA yang cukup berpengaruh di kalangan kolonial Belanda itu diketahui menjadi kaki tangan NICA dan pernah menyembunyikan Residen Klaansen di rumahnya. AA berhasil lolos setelah ditangkap dan rupanya terus menaruh dendam kepada Mayor Rivai.

DUA KALI DITEROBOS BELANDA

Di pos pertahanan Cipedes ini hampir setiap hari batalyon Mayor Rivai mengalami pertempuran, menghadapi Belanda dari darat dan udara, dan menghadapi serangan-serangan DI/TII. Perang gerilya terus dilakukan. Pada suatu subuh, tentara Belanda berhasil menerobos pertahanan Moh. Rivai di Cijagrag, Desa Bojongbecik, bahkan sampai masuk ke rumah tempat Moh. Rivai dan beberapa perwiranya menginap. Yang tertangkap subuh itu adalah Kapten Aritonang, Mayor Mulwadi, Kapten Marbun, Lettu Junaedi Marhasan, Lettu Encen, dan ajudan Rivai yang bernama Marhasan. Rivai sendiri berhasil meloloskan diri dengan memakai baju kampret, namun terperosok sekitar 10 meter dari posisi Sersan Mayor Stal dari NEFIS. Dalam berondongan senapan mesin, Mayor Rivai berlari berputar-putar sekencangnya dan menghilang ke dalam selokan.

Setelah serangan ini, pos batalyon dipindahkan ke Kampung Patrol di daerah Rancaekek. Di sini kejadian serupa terulang lagi. Suatu hari pasukan Belanda telah mengepung Kampung Patrol dari berbagai jurusan. Seorang anak penggembala itik segera berlari memberitahu Mayor Rivai yang saat itu sedang tertidur. Mendapat laporan ini, Rivai dan pasukannya langsung menghindarkan diri ke arah rawa-rawa di sisi timur kampung. Rivai dan pasukannya berhasil lolos, namun warga kampung mendapatkan siksaan dan perlakuan kejam lainnya.

Serangan berikutnya terjadi seminggu kemudian ke basis Kompi II di Rancaekek. Serangan ini dilakukan oleh Pasukan Baret Hijau Belanda sebagai tindakan balasan akibat tewasnya Mayor Groot dan tiga orang perwiranya oleh serangan Kapten Sangun di daerah lalu lintas umum sehari sebelumnya.

GUGURNYA KAPTEN SANGUN

Cerita berikut ini ditulis berdasarkan tuturan dari Lettu Bandjar dalam sebuah wawancara yang direkam ke dalam kaset audio. Lettu Bandjar adalah teman terdekat Kapten Sangun dan merupakan bawahanna langsung.

Untuk kemudahan komunikasi dengan Mayor Rivai di Cipaku, Kapten Sangun menempatkan Pleton I Lettu Djalil Hanafiah di daerah Linggar, Pleton II Lettu Bandjar di Desa Praja Bojongsalam, Pleton III Lettu Utuy Sobandi di Krahiang. Malam itu, Kapten Sangun menghubungi Lettu Bandjar agar besok pagi pergi ke sebuah desa, yang berjarak dua kilometer dari pos, untuk menyampaikan sebuah surat kepada sahabatnya yang berisi kabar bahwa ia akan pulang ke kampung di Indramayu untuk menemui kedua orang tuanya.

Saat subuh Lettu Bandjar bersama dua orang pengawal berangkat. Menjelang tiba di desa yang dituju, mereka melihat banyak nyala api tersebar. Setelah didekati, ternyata terlihat tentara Belanda sedang melakukan penggerebekan di desa itu. Hal ini segera dilaporkan kepada Kapten Sangun yang memerintahkan mereka memencarkan diri.

Sekitar pukul 09.00 ternyata serangan Belanda berlanjut ke Desa Praja Bojongsalam. Kapten Sangun berhasil ditangkap di sebuah rumah yang keadaannya paling buruk di desa itu. Semula Kapten Sangun tidak mengakui dirinya, namun karena adanya tukang tunjuk dari bangsa sendiri, akhirnya diketahui bahwa orang yang ditangkap itu memang Kapten Sangun.

Pasukan Belanda juga menyita buku catatan harian Kapten Sangun dan memaksanya untuk menunjukkan di mana saja kompinya berada. Kapten Sangun menolak memberitahukan, bahkan setelah dipukuli oleh popor karaben pun, Kapten Sangun tetap menolak. Dalam keadaan badan penuh cucuran darah karena ditusuk-tusuk musuh dengan ujung bayonetnya, Kapten Sangun dilemparkan ke atas truk dan dibawa ke markas Belanda di Rancaekek.

Ketika penyiksaan terhadap Kapten Sangun tengah berlangsung, Lettu Bandjar memohon kepada Komandan Brigade XIV Mayor Syamsu, yang juga sedang berada di daerah itu, untuk melakukan penyerangan. Walaupun Lettu Bandjar yakin akan dapat melumpuhkan pasukan musuh itu, namun ditolak oleh Mayor Syamsu dengan pertimbangan akan terjadi korban yang lebih besar lagi dari masyarakat desa.

Setelah satu hari berada dalam tawanan dan siksaan Belanda, Kapten Sangun yang sedang dalam keadaan gawat itu mereka bawa ke tengah sawah dan langsung ditembak di tempat. Selama tiga hari mayat Kapten Sangun tergeletak di sawah itu. Tak seorang pun berani mengambil atau menguburnya. Di sisi mayat Kapten Sangun ditinggalkan sehelai kertas dengan tulisan: “Barang Siapa yang menguburkan mayat ini, akan ditindak oleh tantara Belanda.”

Pada hari keempat, datang dari Cicalengka Kepala Palang Merah yang bernama Amir. Ia mengambil jenazah Kapten Sangun dan memakamkannya di perkuburan umum di Cicalengka dengan tata cara penguburan seorang syuhada.

Beberapa tahun kemudian, di lokasi gugurnya Kapten Sangun didirikan sebuah monumen untuk memperingati kepahlawanannya. Sebuah plakat terpasang di bagian depan dengan tulisan:

“Tugu Pahlawan

Kapten Sangun

Gugur 21 April 1949”

(Catatan: pada plakat yang sekarang sudah tidak ada keterangan tanggal dan bulan). ***

Keterangan asli foto: Tugu Kenangan. Kapten Sangun Sapudjagat Komandan Kompi-II Batalyon-III Brigade XIV Divisi Siliwangi di Bojongsalam-Rancaekek. Gugur 21 April 1949. Dari kiri ke kanan: Edisaputra, R. Yarso, Achmad Ronotirto, dan H. Mohamad Daud.
Keterangan asli foto: Di Karawang. Sewaktu Letkol purn. Bandjar menunjukkan di atas peta tempat gugurnya Kapten Sangun di Bojongsalam. Di depannya Edisaputra dan di samping R. Yarso.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s