Oleh: Komunitas Aleut
Mencari informasi tentang sebuah monumen yang kami temui di tepi jalan dan persawahan yang luas di Rancaekek, seperti biasanya, tidaklah mudah. Bertanya kepada warga setempat atau bahkan bila ada kantor pemerintahan di dekatnya pun, hasilnya nihil. Persis seperti yang biasa kami alami setiap kali berkeliling membuat dokumentasi dan mencari informasi tentang monumen-monumen, terutama yang berhubungan dengan periode revolusi kemerdekaan di Bandung dan sekitarnya.
Pengalaman ini membuat kami sering bertanya, lantas untuk apa monumen-monumen itu didirikan? Kenapa monumen-monumen itu tidak disertai dengan informasi yang memadai yang dapat menjelaskan keberadaannya dan tujuan pembuatannya? Apalagi banyak di antara monumen itu yang kondisinya cukup menyedihkan pada saat kami datangi. Tidak terawat, kumuh, dan warga sekitar pun tampaknya tidak terlalu mempedulikan keberadaannya.
Monumen yang kami maksud kali ini adalah yang terletak di ruas Jalan Bojong Cibodas, Rancaekek. Dari sisi jalan raya letaknya agak menjorok ke sawah. Tulisan pada plakat yang tertera hanyalah “Tugu Pahlawan Kapten Sangun – Gugur: Sangiang 1949.”
Tidak ada penjelasan siapa Kapten Sangun dan apa peristiwa yang pernah terjadi di lokasi monumen tersebut. Rasanya dapat dimengerti bila masyarakat tidak dapat mengapresiasi monumen seperti ini. Tidak ada informasi yang dapat mendekatkan monumen ini dengan masyarakat sekitar. Bagaimana pula akan dapat tumbuh rasa memiliki yang dapat mendorong orang – apalagi yang sudah jauh generasinya – untuk mau ikut merawatnya karena ada perasaan bahwa sejarah keberadaan monumen itu berhubungan dengan kondisi kemerdekaan yang mereka rasakan sekarang.


Setelah beberapa waktu browsing internet tidak menghasilkan informasi apapun, akhirnya kami membolak-balik halaman dari tumpukan buku yang ada di perpustakaan Komunitas Aleut. Setelah beberapa lama, barulah kami menemukan informasi yang berhubungan, yaitu dari buku “Mohamad Rivai: Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945” (Bandung, 1984).
LEKOR, GUNUNG DANO, GUNUNG MANDALAWANGI
Cerita dimulai pada saat Batalyon Mohamad Rivai mengikuti long march pasukan Siliwangi untuk kembali ke Jawa Barat. Sampai di Banyuresmi, disebarkan para penyelidik untuk mengetahui situasi yang ada di sekitar pada saat itu. Dapat diketahui bahwa pos pertahanan pasukan Belanda berada di Leles. Selanjutnya long march harus dilaksanakan denganmemutar melingkari kaki Gunung Mandalawangi menuju Lekor dan Kadungora dalam formasi siaga, siap tempur.
Perjalanan malam berlangsung dalam suasana tegang karena pasukan DI/TII pun sudah mencium dan membuntuti gerakan batalyon ini. Salah satu kompi, yang dipimpin oleh Kapten Sangun, bergerak ke Kampung Tembakan lalu turun ke Leuweungtiis dan bermalam untuk menunggu induk pasukan. Ketika induk pasukan sudah mendekat, Kompi Sangun bergerak lagi menuju Lekor. Gerombolan DI/TII yang yang sudah mengintai berhasil melucuti dua orang prajurit dan merampas sebuah bren. Beruntung tidak terjadi pertempuran karena pasukan DI/TII dengan cepat menghilang.
Kompi Kamil yang baru tiba di daerah itu ternyata berpapasan dengan gerombolan DI/TII yang dipimpin oleh Harun yang sudah dikenalnya semasa perjuangan di Bandung. Dalam situasi pertemuan yang canggung, Harun mengajak Kamil untuk bergabung dengan DI/TII. Kamil secara diplomatis menyatakan bersedia dan bertanya ke mana harus bergabung. Dijawab oleh Harun di lereng Gunung Dano. Kamil mengatakan akan mengumpulkan pasukannya dulu dan segera menyusul Harun ke Gunung Dano. Saat itu Gunung Dano merupakan markas dan tempat latihannya pasukan DI/TII.


PERJALANAN YANG TERUS DIBURU MUSUH
Ketika Batalyon Rivai melintasi sebuah kampung di Lekor, terlihat kampung itu sudah kosong. Di depan salah satu rumah terpancang sebuah senapan mesin tanpa ada satu orang pun di situ. Senapan itu ternyata milik Kasno yang baru dirampas oleh DI/TII. Mayor Rivai sudah berfirasat kurang baik. Benar saja, tak lama kemudian terlihat bermunculan gerombolan DI/TII dari sisi kiri dan kanan lereng gunung. Rupanya senapan itu adalah pancingan untuk menyergap pasukan Rivai. Saat itu daerah Lekor dan Kadungora ternyata sudah berada dalam kekuasaan DI/TII. Untunglah Rivai sudah dapat merasakannya.
Moh Rivai kemudian membawa batalyonnya bergerak ke Rancasalak, Barungga, Cikedokan, Ciheuleut, dan Cijapati di sekitar Gunung Mandalawangi. Di Cijapati, sebuah pesawat bomber Belanda datang menyerang dengan rentetan tembakan dan menjatuhkan beberapa bom. Alam yang terbuka menyulitkan pasukan Rivai dalam melindungi diri selain bersembunyi ke bawah pohon-pohon jagung. Untuk tidak ada korban. Perjalanan pun dilanjutkan ke Lengo dan Cikamuning dengan melintasi Gunung Pangradinan.
Setelah dua hari di pos terakhir ini, Rivai menetapkan lokasi untuk kompi-kompinya. Kompi III Kapten Sangun di Bojongsalam, yaitu di antara Cicalengka dengan Rancaekek, dan Kompi I Lettu Suratedjo di Patrol Majalaya. Lettu Suratedjo adalah wakil Komandan Kompi, Kapten Kamil yang sedang bertugas mendahului menyusup ke Bandung.
Tanggal 7 Februari 1949, terjadi lagi serangan udara yang memaksa pasukan terpaksa bergerak ke Pasirhuni di Kecamatan Cipaku dengan melalui desa-desa Cikancung, Cihaneut, dan Darawati yang terletak di kaki selatan Gunung Kasur. Serangan kali ini mengakibatkan korban gugur tiga orang, Ilyus, Karna, dan Serma Santoso.
Bersambung ke Bagian 2
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Kapten Sangun” Bagian 2 | Dunia Aleut!