Month: May 2023 (Page 1 of 2)

Momotoran Nagreg, Cicalengka, dan Sekitarnya

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Minggu, 9 April 2023. Komunitas Aleut mengadakan kegiatan Momotoran, kegiatan ini masih dalam rangkaian bahasan panjang seputar peristiwa Bandung Lautan Api di Komunitas Aleut.

Gedong Peteng tertutup tanah dan alang-alang. Foto: Aditya Wijaya

Gedong Peteng, Nagreg

Tujuan pertama Momotoran ini adalah sebuah benteng Belanda yang berada di atas bukit (Bukit Citiis, Kampung Paslon) di kawasan Nagreg. Masyarakat sekitar menamai benteng ini Gedong Peteng tetapi sebenarnya Gedong Peteng hanyalah sebuah bagian dari beberapa bangunan benteng yang ada di sana. Bangunan lain saat ini sudah tidak tersisa hanya terlihat bekas-bekas pondasi dan reruntuhan batu-batu besar.

Menurut masyarakat Gedong Peteng merupakan bangunan yang dahulu berfungsi sebagai penjara. Peteng menurut masyarakat memiliki arti gelap. Saat ini hanya Gedong Peteng yang masih tersisa dan kondisinya relatif masih utuh meskipun ketika kami ke sana setengah bangunannya sudah tertimbun tanah.

Continue reading

Kisah Dago Pakar dan Mata Air Cibitung

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Hari Minggu lalu, 28 Mei 2023, saya berjalan-jalan seorang diri di sekitar Kolam Pakar. Lalu iseng menuruni jalan setapak yang sudah dirapikan menuju sebuah lembahan. Awalnya hanya ingin lihat-lihat saja, tapi ternyata saya bertemu seseorang yang dengan lancar membagikan sebuah cerita. Sayangnya beliau berkeberatan namanya disebut dan tidak ingin informasi tentang dirinya diketahui.

Berikut ini saya ringkaskan apa-apa yang saya dengar dari beliau. Ditulis apa adanya, sesuai dengan cerita yang saya dengar dan catat, tidak ditambah atau dikurangi.

Situs Mata Air Cibitung di Dago. Foto: Aditya Wijaya

Pakar

Alkisah pada tahun 1826 datanglah seorang pembesar Kerajaan Sumedang Larang ke suatu wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Dago Pakar. Beliau bernama Raden Rangga Gede menjabat sebagai Adipati Sumedang Larang, putra dari Rangga Gempol. Beliau datang untuk memenuhi wangsit atau panggilan jiwa untuk bertirakat dan menyebarkan agama Islam di wilayah Pakar.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: “Soetoko dan Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 3

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini, dan Bagian 2 di sini.

PERLAWANAN UNTUK GEDUNG SATE

Pada akhir November, Soetoko sebagai Kepala Biro Pertahanan yang sedang berada di Pos Komando Jalan Asmi kedatangan tiga orang pemuda yang melaporkan bahwa Gedung Sate telah berada dalam kepungan Inggris. Salah seorang dari mereka, Didi Kamarga, meminta izin untuk mempertahankannya: “Saja dan kawan2 sanggup untuk mempertahankan kantor kami. Kami datang untuk hendak meminta idjin dan sendjata2.”

Walaupun menghargai niat para pemuda itu, Soetoko mencoba meredakan jiwa muda mereka dan menyarankan agar melakukan perlawanan dari markas komando saja. Didi dkk bertahan dan bersitegang. Dengan keras pula meminta senjata. Akhirnya Soetoko memberikan revolvernya kepada Didi dan pergilah mereka kembali ke Gedung Sate.

Belakangan diketahui para pemuda tersebut gugur dalam upaya mempertahankan Gedung Sate dari kepungan pihak Inggris. Selain Didi, ada enam pemuda lain yang gugur dan dimakamkan oleh pihak musuh di halaman belakang Gedung Sate. Dulu ada penanda lokasi makam mereka, yaitu sebuah pohon beringin dan sebuah batu prasasti di bawahnya,

“Dalam mempertahankan Gedung Sate terhadap serangan pasukan Gurkha tanggal 3 Desember 1945, tudjuh pemuda gugur dan dikubur oleh pihak musuh di halaman ini. Bulan Agustus 1952 diketemukan djenazah Suhodo, Didi, dan Muchtaruddin jang dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Tjikutra. Djenazah Rana, Subengat, Surjono, dan Susilo tetap berada di sini.”

– Bandung, 31 Agustus 1952.

Batu Prasasti gugurnya tujuh pemuda dalam mempertahankan Gedung Sate. Foto: Reza Khoerul Iman.
Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: “Soetoko dan Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 2

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.

SOETOKO DAN KELOMPOK PERJUANGAN

Atas instruksi Pemerintah Pusat di Jakarta, pada 29 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) Priangan dan Kota Bandung. Para pemimpin KNI Priangan di antaranya ada Oto Iskandar di Nata dan Niti Sumantri. Sedangkan di KNI Bandung  ada Sjamsurizal, A. Zachri, Djerman Prawiranata, Soetoko, Dr. Sopandi, dan tokoh-tokoh Bandung lainnya.

Soetoko juga bergabung dengan organisasi pemuda bernama Persatoean Pemoeda Peladjar Indonesia (P3I) dengan markas di Jalan Tamblong. Kemudian P3I berubah nama menjadi Pemoeda Repoeblik Indonesia (PRI) dengan ketua Soedjono, dan di bagian Pembelaan ada Soetoko, Mashudi, Soerjono (Pak Kasur), Abdoel Djabar, dll. Markas PRI mula-mula di Toko Tjijoda (Kota Tudjuh) di Groote Postweg, dan setelah tentara Inggris datang, pindah ke Kebon Cau.

Setelah pindah ke Kebon Cau ternyata perangkat meubel yang mereka miliki tidak lagi digunakan sebagai perlengkapan markas, melainkan sudah dijadikan barikade-jalan. PRI memiliki pasukan-pasukan di setiap kantor lama yang dipersiapkan untuk diambil alih, di antaranya di Andir, Sukajadi, Pasirkaliki, Kaca-kaca Wetan, dan di Cicadas. Kelak, PRI akan bergabung dengan kelompok-kelompok lain dan berubah nama menjadi Pesindo. Unsur-unsur pemimpinnya tetap sama, sementara pemimpin untuk pasukan ada Simon Tobing dan Soedarman.

Banyaknya kelompok perjuangan yang bermunculan melahirkan pemikiran untuk mebentuk suatu badan penghubung yang diberi nama Majelis Dewan Pimpinan Perjuangan (MDPP). Menurut John Smail mulanya badan ini hanya berfungsi sebagai komite penghubung dalam urusan militer yang terbentuk dari kontak-kontak informal beberapa pemimpin perjuangan sejak bulan Oktober. Ketika situasi di Bandung bertambah tegang, berubah perannya menjadi suatu badan koordinasi militer. Tokoh-tokoh dalam MDPP adalah Soetoko, Djamhuri, Male Wiranatakusumah, Astrawinata, Samaun Bakri, Kamran, Nukman, Hutapea, dan Pakpahan. Pesindo ikut bergabung dalam badan koordinasi ini.

Pada 14 Desember 1945 MDPP berganti nama menjadi Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) dengan ketuanya Kamran, sementara Sutoko mengepalai Biro Pertahanannya. Selain itu ada Biro Politik yang dipimpin oleh R. Djerman Prawirawinata dan Biro Tata Usaha yang dipegang oleh Sanusi Hardjadinata. Pada 25 Februari 1946, Soetoko terpilih menjadi Ketua MP3. John Smail memberikan waktu yang berbeda untuk perubahan nama ini, yaitu pertengahan bulan Maret, sehingga ketika Soetoko menjadi ketua, namanya masih MDPP.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: “Soetoko dan Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 1

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini bercerita sedikit saja tentang peranan Soetoko dalam masa revolusi mempertahankan kemerdekaan RI di Bandung. Sama sekali tidak lengkap. Mungkin lain waktu dapat ditambahkan cerita-cerita lain tergantung ketersediaan sumber referensi.

Langka sekali informasi pribadi tentang Soetoko yang bisa kami temukan, begitu pula dengan fotonya. Umumnya hanya mengulang-ulang data alur pendidikan yang sangat singkat saja. Itu pulalah yang kami ulang di sini untuk memberikan sedikit gambaran latar belakang Soetoko.

Soetoko dilahirkan di Jakarta pada 18 Mei 1917. Pendidikan dasarnya ditempuh di HIS Pacitan dan selesai pada 1932, lalu dilanjutkan ke MULO di Ngupasan, Yogyakarta. Sejak tahun 1934 mulai bekerja di lingkungan Jawatan PTT sebagai Asisten Klerk PP Semarang. Pada masa akhir pemerintahan Hindia Belanda, mengikuti pendidikan Bedrijfsambtenaar Cursus di Bandung dan mendapatkan kesempatan menjadi pegawai PTT sampai jabatan Controleur I. Dan dari sinilah kiprah perjuangan fisiknya dimulai.

Walaupun secara resmi Jepang sudah menyerah  kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, namun sampai bulan Oktober mereka masih masih memegang kekuasaan penuh di Indonesia. Bahkan pada November-Desember mereka mendapat mandat dari Sekutu untuk memulihkan keamanan di luar wilayah pendudukan Sekutu. Begitu pula dengan persenjataan, sepenuh masih berada dalam kekuasaan tentara Jepang.

Buku “Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945” (1984) memuat rincian jumlah serdadu Jepang yang berada di Indonesia sekitar 490 ribu jiwa dengan puluhan ribu senjata dan puluhan juta butir peluru. Belum lagi puluhan ribu granat tangan, pistol, mortir, meriam, dan tank. Sekutu yang datang membawa persenjataan yang lebih lengkap lagi, lebih banyak dan lebih mutakhir.

Untuk mendapatkan senjata, pejuang Republik umumnya menempuh dua cara, secara diplomatis dengan perundingan, atau melalui perebutan yang kadang mengakibatkan terjadinya pertempuran. Pelopor perebutan senjata di Jawa Barat adalah Soetoko dkk yang secara diplomatis dan bertahap mengambil alih kantor demi kantor yang dikuasai oleh Jepang.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: Sutiko Sutoto dan Achmad Munir

Oleh: Komunitas Aleut

Nama Sutiko Sutoto sudah diceritakan dalam tulisan sebelumnya yang berhubungan dengan sebuah foto legendaris bergambar beberapa pemuda pejuang bersenjata dengan dua anggota LASWI berpose di atas sebuah mobil jeep.

Sutiko Sutoto, dilahirkan di Palembang pada 20 September 1929. Saat tinggal di Bandung bergabung menjadi anggota BKR Kota Bandung pada 1945. Lalu menjadi anggota Barisan Markas Polisi Tentara (BMPT) Kota Bandung. Setahun berikutnya, menjadi anggota staf bagian penyelidik, Batalyon Polisi Tentara Resimen 8 Guntur yang ikut bertempur di medan laga Bandung Selatan, dan menjadi Wakil Komandan Pleton BMPT Resimen 8 Guntur di medan laga Bandung Timur. Setelah itu ikut hijrah ke Jawa Tengah.

Sutiko Sutoto menceritakan beberapa pengalamannya dalam masa perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dalam buku “Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan” (Markas Besar Legiun Veteran RI. Jakarta, 1982). Salah satu pengalamannya saat bertempur di daerah Bandung Timur kami kisahkan ulang di sini.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: E Soeratman

Oleh: Komunitas Aleut

Berikut ini adalah cerita pengalaman E Soeratman pada masa Agresi Militer II Belanda yang tertuang dalam buku “Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan” yang diterbitkan oleh Markas Besar Legiun Veteran RI (Jakarta, 1982). E Soeratman (selanjutnya “Soeratman” saja) yang dilahirkan di Cirebon pada 3 Februari 1923 memasuki dunia militer pada masa perjuangan dengan menjadi Komandan Pleton. Pada saat long march Siliwangi dari Yogyakarta ke Cianjur, menjadi Komandan Kompi dalam Batalyon II Kala Hitam yang di bawah pimpinan Mayor Kemal Idris.

Soeratman adalah Komandan Kompi dalam Batalyon II Kala Hitam di bawah Brigade XII – KRU “Z” pimpinan Mayor Infantri Kemal Idris. Usai melaksanakan tugas penumpasan pemberontakan PKI di Madiun pada awal bulan Desember 1948, terjadi serangan Belanda terhadap ibu kota RI di Yogyakarta, yang ketika itu juga menjadi kedudukan Batalyon Kala Hitam.

Pemimpin Angkatan Perang RI sudah mengeluarkan perintah agar semua kesatuan militer kembali ke daerah divisinya masing-masing untuk melanjutkan perang gerilya. Divsi Siliwangi pun harus kembali ke Jawa Barat. Soeratman yang bertugas sebagai Komandan Pleton Batalyon Kala Hitam mendapat perintah untuk menduduki daerah Cianjur sebagai pangkalan gerilya batalyon.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: “Soegih Arto, Perwira Penghubung” Bagian 2

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Soegih Arto, Perwira Penghubung”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.

WESTERLING

Ketika TNI harus hijrah ke Jawa Tengah, Batalyon F-22 Soegih Arto harus tetap tinggal di Jawa Barat, bergerilya memantau dan menghadapi Negara Pasundan yang akan didirikan. Dalam proses pengangkutan pasukan untuk hijrah, Westerling menanyakan di mana pasukan Soegih Arto, karena tidak terlihat di tempat kumpul. Kawilarang menjawab bahwa batalyon Soegih Arto sudah hancur berantakan.

Sejak tahun 1947 Westerling ditempatkan di Batujajar dan pada 1948 membentuk Korps Speciale Troopen (KST), dengan pasukan yang terdiri dari orang Indonesia Timur. Mereka dikenal dengan baret hijaunya dan terkenal pula kekejamannya. Sementara Batalyon F 22 Soegih Arto berada di Cililin, terpisah sungai Ci Tarum dengan Batujajar.

Setelah peristiwa brutal yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya yang mengakibatkan jatuhnya 40 ribu korban di Sulawesi Selatan, Westerling ditempatkan di Batujajar, Jawa Barat. Di daerah Cikalong Westerling pernah membuat ulah lagi yang membuat penduduk Cikampek merasa tidak aman dan ketakutan, sehingga menjadi seperti kota mati.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: “Soegih Arto, Perwira Penghubung” Bagian 1

Oleh: Komunitas Aleut

Dalam buku “Memenuhi Panggilan Tugas; Jilid 1” karangan AH Nasution ada cerita ketika beliau dibawa ke markas Divisi-23 Inggris. Yang menemuinya di markas itu adalah Kolonel Hunt yang mengatakan bahwa pada hari itu juga pasukan TRI harus keluar dari Bandung Selatan. Ia juga menawarkan 100 buah truk untuk pengangkutannya. Nasution memberikan jawaban bahwa ia tidak mungkin menerima tawaran itu karena yakin akan terjadi insiden-insiden tempur, dan bahwa rakyat akan ikut TRI.

Kolonel Hunt menukas bahwa rakyat ingin tenteram, kecuali bila diintimidasi oleh tentara. Hunt mau menjelaskan bahwa Bandung Selatan telah dikabari segala sesuatunya. Pamflet-pamflet akan akan dijatuhkan pada hari Sabtu sore. Wali kota sudah menyatakan akan melaksanakan instruksi pemerintah RI dan akan menenangkan rakyat dengan pidato lewat radio.

Setelah itu Nasution berbalik menyeberangi garis demarkasi dan dijemput oleh perwira penghubung Resimen 8, Letnan Sugiarto. Sang Letnan menunjukkan lubang-lubang di jalan yang telah ditanami bom-bom batok bekas KNIL. Setiba di posko, Kepala Staf menunjukkan sebuah telegram dari Yogya, isinya: “Tiap jengkal tanah tumpah darah harus dipertahankan.”

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: “Pembentukan Organisasi Militer RI” Bagian 2

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Pembentukan Organisasi Militer RI”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.

PEMBENTUKAN KOMANDEMEN

Tanggal 17 Oktober 1945, Letjen Urip Sumoharjo mendirikan Markas Besar Tentara TKR di Yogyakarta. Didi Kartasasmita tetap di Jakarta untuk menyusun TKR Jawa Barat. Saat itu sudah ada 10 divisi di Jawa dan 6 divisi di Sumatra, dan sekitar 100 resimen infantri. Untuk pengorganisasian, dibentuk 3 Komandemen di Jawa dan 1 Komandemen di Sumatra. Fungsinya adaalah sebagai organisasi penghubung antara divisi-divisi dan Markas Besar Tentara.

Komandemen I Jawa Barat dipimpin oleh Mayjen Didi Kartasasmita, Komandemen II Jawa Tengah dipimpin oleh Mayjen Suratman, dan Komandemen III Jawa Timur dipimpin oleh Mayjen Mohamad. Dari 3 Komandemen di Jawa itu hanya Jawa Barat yang berhasil dibentuk, sedangkan dua Komandemen lainnya mengalami masalah perbedaan pendapat karena para komandan divisi setempat yang umumnya eks PETA tidak menyetujuinya.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: “Pembentukan Organisasi Militer RI” Bagian 1

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini mencoba meringkas sejarah terbentuknya organisasi milter di Indonesia, dimulai dengan pembentukan Heiho dan PETA pada maja Jepang hingga lahirnya TNI (Tentara Nasional Indonesia). Bahan utama kami ambil dari buku “Mari Bung, Rebut Kembali” karangan R.H.A. Saleh (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000) dan sebagian lainnya dari buku “Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI; Zaman Jepang dan Zaman Republik” (Tim Penulisan Sejarah Indonesia, Balai Pustaka, Cet. 7, 2017) dan buku “Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1; Kenangan Masa Muda” karangan A.H. Nasution (P.T. Gunung Agung, Jakarta, 1982).

Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengadakan sidangnya yang pertama dan secara aklamasi memilih Sukarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Selain itu juga ditetapkan Undang-Undang Dasar RI dan membentuk lembaga-lembaga pemerintahan. Yang masih belum ditetapkan dalam sidang ini adalah soal pertahanan negara.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: Pembentukan dan Penamaan Divisi Siliwangi

Oleh: Komunitas Aleut

Dalam tulisan sebelumnya tentang pembentukan organisasi militer di Indonesia sudah diceritakan bagaimana operasi militer di Pulau Jawa dibagi ke dalam 7 divisi. Mulanya dinamai dengan sistem nomor, mulai dari Divisi I di Jawa Barat sampai Divisi VII di Jawa Timur. Berikutnya, divisi-divisi tersebut menggunakan nama-nama yang mewakili sejarah kepahlawanan lokal masing-masing seperti dalam kutipan berikut ini:

“Ketujuh divisi di atas kemudian menggunakan nama masing-masing sebagai berikut: Divisi I Siliwangi, Divisi II Sunan Gunung Jati, Divisi III Diponegoro, Divisi IV Panembahan Senopati, Divisi V Ronggo Lawe, Divisi VI Norottama, dan Divisi VII Surapati.” (Letjen TNI MMR Kartakusuma; Sosok Prajurit dan Pemikir” karangan Hikmat Israr. Budaya Media, Bandung, 2012)

Walaupun cukup banyak informasi yang bisa didapatkan seputar nama-nama divisi tersebut, namun dalam tulisan ini yang khusus tentang Divisi Siliwangi, ternyata tidak mudah mencari kronologi yang lengkap, beberapa buku yang mention proses pembetukannya kadang tidak bersesuaian cerita detailnya.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: “MMR Kartakusuma” Bagian 3

Oleh Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “MMR Kartakusuma”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini, dan Bagian 2 di sini.

AGRESI MILITER II DAN GERILYA

Sebenarnya sejak bulan September 1948 sudah datang ke Sumatra Kol AE Kawilarang dan Ibrahim Ajie, namun tidak diperhatikan oleh Panglima Suharjo. Dalam keadaan menganggur, Kol Kawilarang turut andil mengantarkan surat-surat dari Kartakusumah kepada seorang gadis Minang bernama Nursyah yang kelak dipersunting sebagai istri oleh Kartakusumah.

Setelah Kolonel Hidayat memimpin, barulah Kol Kawilarang menjadi Komandan Sub Territorium VII Sumatra dan Ibrahim Ajie menjadi Kepala Stafnya. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda kedua yang menyerang ibu kota RI di Yogyakarta, pada hari yang sama sebuah pesawat terbang berputar-putar di atas Bukittinggi dan menyebarkan pamflet yang berisi pernyataan bahwa Belanda membatalkan Perjanjian Renville dan akan melancarkan agresinya.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: “MMR Kartakusuma” Bagian 2

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “MMR Kartakusuma”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.

MENJADI FORMATUR DIVISI I – III JAWA BARAT

Untuk pembentukan TKR Jawa Barat, Didi Kartasasmita memilih Tasikmalaya yang relatif aman sebagai markas. Beberapa eks kadet KMA Bandung berkumpul di di sebuah rumah di Jalan Manonjaya, dekat Pendopo Kabupaten. Selanjutnya dikumpulkan para Komandan BKR dari wilayah Jawa Barat, di antarana hadir Daan Yahya dan Singgih dari Tangerang, Aruji Kartawinata dari Bandung, Asikin Yudakusumah dari Cirebon, KH Samun dari Banten, dan Husein Sastranegara dari Sukabumi-Bogor.

Dalam pembentukan TKR ini dibentuk pula Komandemen sebagai organisasi penghubung antara divisi-divisi dengan Markas Besar Tentara. Di Pulau Jawa dibentuk tiga Komandemen, masing-masing di Jawa Barat yang dipimpin oleh Didi Kartasasmita, Jawa Tengah dipimpin Sutarman, dan Jawa Timur dipimpin Sudibio. Kartakusuma berperan sebagai formatur di Jawa Barat.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: “MMR Kartakusuma” Bagian 1

Oleh: Komunitas Aleut

Sebelumnya, sudah pernah disebut tentang peran seorang eks perwira lulusan KMA Bandung, Kartakusuma, dalam penyusunan organisasi militer di Jawa Barat. Tulisan berikut ini khusus tentang tokoh Kartakusuma yang namanya sering disebut, namun informasi apa-siapanya tidak banyak diketahui. Di sini kami sampaikan sedikti riwayat Kartakusuma sejak sekolah sampai kemudian bertugas di Sumatra menja

di Kepala Staf Umum Komandemen Sumatra. Sebagai bahan utama, kami ambil dari buku “ Letjen TNI MMR Kartakusuma; Sosok Prajurit dan Pemikir” yang ditulis oleh Hikmat Israr (Budaya Media, Bandung, 2012), ditambah dengan dua buku dari AH Nasution, yaitu “Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1; Kenangan Masa Muda” (P.T. Gunung Agung, Jakarta, 1982) dan “Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2; Diplomasi atau Bertempur” (Angkasa, Bandung, 1977). Semua foto yang tidak diberi keterangan berasal dari buku “Kartakusuma” yang sudah disebutkan di atas.

Continue reading
« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑