Catatan Perjalanan Haurgeulis

Hari Selasa (28/7) kemarin, saya harus menuju Kota Haurgeulis, sebuah kota yang ada di bagian utara Jawa Barat. Kota ini berada di wilayah administratif Kabupaten Indramayu, meskipun secara geografis lebih dekat dengan Kota Subang.

Haurgeulis merupakan satu kecamatan di sebelah barat Kabupaten Indramayu dan berada di 13 mdpl. Menurut Wikipedia, nama Haurgeulis berasal dari gabungan 2 kata dalam bahasa Sunda Kuno, yaitu Haur dan Geulis. Haur berarti bambu, sedangkan geulis berarti cantik. Jadi, nama Haurgeulis mempunyai arti Bambu Cantik. Di zaman dahulu, kawasan ini berada di bawah kerajaan Sumedang, sebelum akhirnya jatuh menjadi bagian Indramayu. Di tahun 1912, perusahaan kereta api negara Staatsspoorweg (SS) membuka stasiun Haurgeulis. Pembukaan stasiun ini merupakan bagian dari pembukaan jalur kereta api yang menghubungkan Cikampek dengan Cirebon.

Menentukan rute keberangkatan dari Rancaekek menuju Haurgeulis menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Satu jalur yang paling mungkin dipakai adalah jalur melalui Kota Subang. Apakah melalui Kota Bandung dan Lembang, maupun melalui Rancakalong dan belok langsung menuju Jalan Cagak.

Jalur alternatif lain adalah jalur melalui Kota Sumedang, Cimalaka, Buah Dua, Jembatan Burujul, dan Sanca. Dari kota yang terkenal dengan makanan khas tahu ini, kita bisa mencapai Haurgeulis melalui jalan kecil yang relatif sepi, melalui persawahan, dan hutan yang tidak terlalu gelap. Karena jalur ini belum pernah saya jajal dan sangat menantang untuk dilalui, akhirnya saya memutuskan untuk melalui jalan ini.

Dari Kota Sumedang, jalan ini bisa dicapai dengan melewati Kecamatan Cimalaka. Setelah pertigaan Jalan Raya Pos Sumedang Cirebon, kita memasuki Desa bernama Licin. Saya ingat, bersama teman-teman masa kecil dari Cibuntu, kami sempat bermain bola di lapangan desa Licin di pertengahan 90-an. Saat itu, lapangan di kaki Gunung Tampomas ini cukup memukau kami karena kondisinya yang sangat bagus sekali dibanding lapangan-lapangan yang pernah kami jajal seputar Priangan. Tim kami yang saat itu dihuni pemain remaja bisa menang atas tuan rumah saat itu. Dari Licin, saya terus lurus dengan tujuan awal, Buah Dua.

Jalan yang ditempuh memang memutar, melingkari Gunung Tampomas. Gunung dengan ketinggian 1684 m ini selalu menemani dan berada di sebelah kanan jalan, sampai saya menemukan satu jembatan besar sebagai batas Kecamatan. Kecamatan yang saya masuki adalah Kecamatan Buah Dua, satu daerah yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Bagi Jawa Barat, Buah Dua pernah menjadi Markas Besar Divisi Siliwangi di tahun 1949. Keberadaan markas ini merupakan bagian dari kepulangan para tentara Siliwangi dari Jogjakarta dan Jawa Tengah, setelah mereka melakukan “hijrah”.

Petualangan dimulai ketika saya berbelok ke arah utara di pusat Kota Buah Dua. Jalan tersebut tidak kecil-kecil amat, tapi cukup rusak. Bukan jalan jenis tanah dan batu yang terkenal dengan nama makadam, tapi di jalan tersebut terlihat bekas aspal dan betonan-betonan. Jadi, jalan ini sempat diperbaiki walaupun rusak kembali. Kerusakan di jalan tersebut bisa disimpulkan karena dua hal. Pertama banyaknya truk-truk yang lalu lalang melewati jalan ini. Selain itu, ada bagian jalan yang rusak karena tanah yang kelihatan bergeser.

Pemandangan di jalan ini merupakan pemadangan khas Priangan yang dihiasi dengan gambaran pergunungan di kejauhan. Sedikit sawah, hutan-hutan dengan pohon yang pendek, dan sungai dapat kita temui sepanjang perjalanan. Di tengah perjalanan, ada satu jembatan yang menjadi penghubung di atas sungai yang cukup besar. jembatan ini kelihatannya baru dan menjadi pengganti jembatan lama.

Setelah dicari di peta-peta lama zaman kolonial, ternyata, jalan yang menghubungkan Cimalaka, Buah Dua, dan Haurgeulis ini sudah tertera di peta tahun 1893.

Secara geografis, keberadaan jalan ini sangat strategis. Jalan ini mempermudah kita untuk mencapai daerah pantai utara (Pantura) Jawa Barat dengan mudah. Lebih bermanfaat lagi jika dikaitkan dengan pengembangan segitiga Patimban, Kertajati, dan Cirebon. Jika jalan ini direnovasi dan layak dipakai oleh kendaraan, maka jarak antara Sumedang dan Haurgeulis akan terasa pendek.

Setelah menyelesaikan segala urusan di Haurgeulis, saya kembali ke Bandung melewati Kota Subang dan Lembang. Sebelumnya, tidak lupa untuk memotret Stasiun Haurgeulis dari kejauhan. Kalau ada kesempatan, saya pasti akan kembali ke kota kecil nan geulis itu.

Ditulis oleh Hevi Abu Fauzan, member Komunitas Aleut, Sosial Media Manajer di Simamaung.com, admin akun IG @sejarahbandung. Dapat ditemui di Twitter dan IG @pahepipa

Iklan

Satu pemikiran pada “Catatan Perjalanan Haurgeulis

  1. Buahdua sepertinya memang termasuk dalam jalur jalan tua masa Kerajaan Sunda yang oleh Ten Dam disebut sebagai Highway Pajajaran. Penamaan ini kemudian dikutip oleh Amir Sutaarga dan Haryoto Kunto. Komunitas Aleut sudah pernah menapaki sebagian jalur ini, termasuk yang di daerah Buahdua, tapi ya belum lengkap seluruhnya. Mungkin segera…

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s