Pertengahan tahun 2024 lalu kami mendapat kontak dari Majalah Museografia yang mengajak membuat tulisan dengan tema “Museum untuk Pendidikan dan Penelitian” sebagai bagian kegiatan Penyusunan Bahan Publikasi Warisan Budaya dari Direktorat Pelindungan Kebudayaan. Tulisan yang dibuat akan dipublikasikan dalam Majalah Museografia edisi Vol XIX/2024. Penulisan artikel dari Komunitas Aleut diwakili oleh Muhammad Naufal Fadilah (Nofal – ADP 2023).
Majalah Museografia yang disebut di atas sudah terbit dan sudah kami terima di sekretariat bersama satu majalah lain, “Catra Budaya” (Media Informasi Warisan Budaya Takbenda) edisi Vol 5/2024.
Berikut ini adalah tulisan berjudul “Dari Siliwangi untuk Rakyat Jawa Barat” karya Nofal yang sudah diterbitkan dan kami unggah di sini dalam format jpg. Selamat membaca.
Hari Selasa (28/7) kemarin, saya harus menuju Kota Haurgeulis, sebuah kota yang ada di bagian utara Jawa Barat. Kota ini berada di wilayah administratif Kabupaten Indramayu, meskipun secara geografis lebih dekat dengan Kota Subang.
Tarik menarik kepentingan antara Republik Indonesia dan Belanda di sekitar revolusi kemerdekaan sempat melahirkan beberapa negara “boneka”. Dengan kekuatan modalnya, Belanda mencoba menggembosi kekuatan Republik Indonesia yang baru lahir.
Di Jawa Barat, pada April 1948 lahir Negara Pasundan. Negara ini sejatinya adalah percobaan kedua Belanda setelah Negara Pasundan jilid 1 yang didirikan oleh Partai Rakyat Pasundan pada 1947 gagal. Kedua negara yang pembentukannya didukung oleh Belanda ini berusia pendek, seiring dengan perkembangan diplomasi, perang, dan sikap rakyat Pasundan yang mayoritas menolak negara tersebut.
Berbagai peristiwa politik dan konflik fisik yang membuat Republik Indonesia menjadi lemah, kemudian mendorong lahirnya Negara Pasundan. Jadi penting juga digarisbawahi kemunculan dua jilid Negara Pasundan ini, termasuk negara-negara yang lain di deaerah lain Indonesia, tidak melulu hanya karena disponsori atau diongkosi Belanda. Ada dinamika internal, baik di tingkat nasional maupun lokal, yang memperumit persoalan.
Di Jawa Barat, menurut catatan Lindayanti dalam “Negara Pasundan Tahun 1947: Uji Coba Ide Politik Federal di Jawa Barat” (Jurnal Masyarakat Sejarawan Indonesia), terjadi beberapa pergolakan rakyat yang bersifat kedaerahan, di antaranya terjadi di Banten, Karawang, Tangerang, dan Cirebon. Umumnya mereka menentang pejabat pemerintah yang berasal dari luar daerahnya sendiri. Continue reading
Maung atau harimau punya posisi yang cukup dalam bagi kesadaran orang Sunda. Kita bisa menemukan maung menjadi nama tempat di kawasan Jawa Barat, seperti Cimaung dan Cimacan yang bisa ditemukan di beberapa daerah (Garut, Subang, Banjaran, Cianjur, dll), lambang Kodam Siliwangi, sampai Persib—klub sepakbola kebanggaan warga Jawa Barat dan Sunda yang dijuluki Maung Bandung.
Simbol maung yang melekat dalam alam pikiran masyarakat Sunda pada umumnya dikaitkan dengan legenda nga-hyang atau menghilangnya Prabu Siliwangi di hutan Sancang ketika dikejar bala tentara Islam dari Kerajaan Banten dan Cirebon. Peristiwa ini mengisyaratkan mulai masuknya pengaruh Islam di tatar Sunda.
Dalam legenda ini juga disebutkan sebelum benar-benar menghilang, Prabu Siliwangi meninggalkan pesan atau amanat kepada para pengikutnya. Amanat yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi ini, di antaranya, memuat pesan Siliwangi tentang masa depan wacana Pajajaran di masa depan: Continue reading
School voor Opleiding van Parachutisten (Sekolah Penerjun Payung) dipindahkan dari Hollandia (Jayapura) ke Bandung pada tahun 1947. Tentu saja kepindahan ini diikuti oleh sang komandan, Letnan Rokus Bernardus Visser, yang pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten tidak lama setelah pindah.
Kapten Visser memimpin sekolah tersebut sampai tahun 1949. Setelah pengakuan kedaulatan, Kapten Visser yang sudah merasa nyaman hidup di Indonesia memutuskan untuk tidak kembali ke Belanda dan menetap di Pacet, Lembang. Ia mengambil kewarganegaraan Indonesia, menikahi seorang wanita Sunda, masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Mochamad Idjon Djanbi. Pekerjaannya sehari-hari adalah bertanam bunga sampai akhirnya pada tahun 1952, ia diminta oleh Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium III Siliwangi, untuk membentuk pasukan komando. Djanbi setuju, dengan syarat ia diberikan pangkat Mayor.
Djanbi memilih baret merah sebagai baret resmi kesatuan tersebut, mengikuti baret pasukan linud Inggris tempat Djanbi pernah berdinas. Pada tanggal 16 April 1952 pasukan komando tersebut diresmikan dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi (Kesko TT. III/Siliwangi) dengan Mayor Idjon Djanbi sebagai komandannya.
Kesatuan ini berkedudukan di Batujajar, di tempat yang sebelumnya merupakan markas pasukan komando KNIL, Korps Speciale Troepen (KST). Satu tahun kemudian, kesatuan tersebut dialihkan kepada Markas Besar Angkatan Darat dan berganti nama menjadi Korps Komando Angkatan Darat (KKAD) dan pada tahun 1955 berubah kembali menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD). Djanbi bertugas sebagai Komandan RPKAD sampai pada tahun 1956, ia ditugaskan untuk mengepalai perkebunan-perkebunan milik asing yang baru saja dinasionalisasi.
Karena status Idjon Djanbi di RPKAD adalah “dikaryakan”, maka ia tidak mendapat pensiun. Pada saat ulang tahun RPKAD tahun 1969, Idjon diberi kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel. Idjon Djanbi wafat di Yogyakarta pada 1 April 1977 dan dimakamkan di TPU Kuncen.
Dari Sumedang Larang, Kian Santang memacu mobilnya melintas Jatinangor dan masuk Tol Cileunyi. Rupanya tim intel berhasil melacak keberadaan Prabu Siliwangi di sebuah bukit di daerah Baleendah. Kemacetan, jalanan terjal berbatu dan becek pun harus dilalui Kian Santang dalam perburuannya menaklukan Sri Baduga Maharaja yang keukeuh nggak mau masuk Islam.
Prabu Kian Santang tertunduk lemas. Nampaknya ada kesalahan informasi, karena yang dia dapatkan hanya sebuah gundukan sampah.
Entahlah. Yang pasti jika Descartes mah bersabda, “Aku berpikir maka aku ada”, maka saya berkata, “Aku berpikir maka aku mengada-ada”. Continue reading
buni, teu babari katembongna, katenjona, lantaran katutupan (pengertian Buni di Kamus Basa Sunda)
Sebetulnya, Bandung dan sekitarnya adalah kota yang memiliki banyak makam keramat. Makam keramat seperti makam di Caringin Tilu, Gunung Batu, dan Pageur Maneuh adalah sedikit makam keramat yang berada di Bandung. Salah satu makam keramat yang berada di Bandung adalah makam Buniwangi.
Buniwangi, salah satu makam keramat di Bandung
Salah satu makam keramat di Buniwangi
Makam yang berada di Desa Buniwangi adalah makam yang pernah diceritakan oleh Haryoto Kunto dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya. Dalam tulisannya, Haryoto Kunto mendeskripsikan kondisi makam Buniwangi yang tua dan berlumut.
Menurut kuncen Buniwangi, makam Buniwangi memiliki hubungan dengan beberapa tokoh. Pada awalnya, makam Buniwangi adalah salah satu lokasi pelarian Prabu Siliwangi. Setelah menjadi tempat pelarian, lokasi makam Buniwangi menjadi tempat Dalem wangi. Setelah Dalem wangi pindah ke Subang, lokasi makam Buniwangi dimiliki oleh Buniwangi atau Kentringmanik.
Perlu kita ketahui bahwa Kentringmanik adalah “penguasa gaib” kota Bandung. Konon menurut W. H. Hoogland, Kentringmanik adalah dewi penguasa mata air Sungai Citarum. Selain itu, tokoh Kentringmanik adalah permaisuri Prabu Siliwangi.
Di dalam komplek Makam Buniwangi
Pendopo dan Paseban di Makam Buniwangi
Terdapat dua kawasan saat berada di komplek Makam Buniwangi. Kawasan tersebut antara lain Paseban dan Pendopo. Paseban adalah tempat ritual yang berada di Makam Buniwangi. Sedangkan Pendopo adalah lokasi makam keramat Buniwangi.
Sesajen di Makam Buniwangi
Saat berada di Paseban, kita akan menemukan banyak sesajen yang berada di makam. Menurut kuncen Buniwangi, sesajen yang berada di makam adalah upeti atau pajak peziarah untuk Buniwangi. Sesajen yang diberikan berupa telur dan kopi.
Terdapat larangan yang harus dipatuhi saat berada di komplek Makam Buniwangi. Larangan tersebut antara lain melepas alas kaki di pohon dan mengucapkan salam saat berziarah.
Menurut kuncen Buniwangi, pohon – pohon yang ditanam di komplek Makam Buniwangi bermacam – macam. Terdapat lima jenis pohon yang tumbuh di komplek makam. Pohon tersebut antara lain pohon Jajaway, Nunuk, Kawung, Lame, dan Pancawarna atau Limawarna. Salah satu pohon yang sudah lama tumbuh di makam adalah pohon Jajaway.
Pintu masuk makam Buniwangi
Sumber Bacaan :
Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto