Sabtu Sore (8/8) itu, saya mengunjungi Jalan Braga. Seperti biasa, suasana jalan cukup ramai dipadati para wisatawan yang mengambil foto di sana. Tidak ada yang banyak berubah di sana, kecuali ada pembangunan kecil di mulut Gang Cikapudung. Gang ini sering saya lewati, karena menjadi akses masuk ke Kampung Cibantar, tempat paman dan bibi saya tinggal.

Karena merupakan pemandangan yang tidak biasa, saya membuat beberapa foto, terutama foto pembangunan “Teras Braga” yang terletak di mulut Gang Cikapundung. Dari pedagang lukisan yang saya kenal dan biasa membuka kiosnya di mulut gang, pembangunan teras dua lantai tersebut sudah memasuki bulan ke 9. Keterangan ini sesuai dengan berita di Pikiran Rakyat yang menyebutkan bahwa pembangunan Teras Braga dimulai November 2019. (https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/pr-01321291/butuhkan-dana-rp-600-juta-pembangunan-teras-braga-dimulai-november-2019).
Untuk mengetahui apa yang terjadi, saya menuju rumah paman dan bibi saya yang ada di Kampung Cibantar. Karena akses Gang Cikapundung tadi tertutup, saya melewati gang di sebelah Kopi Toko Djawa dan menelusuri Kampung Afandi sebelum berbelok dan sampai di satu rumah tua peninggalan tahun 1930-an di Kampung Cibantar.
Menjelang senja itu, kami mulai berbincang seputar keluarga dan Idul Adha yang baru lalu. Tentu saja, perbincangan banyak hal ini ditemani oleh secangkir kopi. Dalam percakapan, saya mulai menyinggung tentang pembangunan di mulut Gang Cikapundung. Dengan cukup antusias, paman saya bercerita. Menurutnya, pembangunan itu didanai oleh program CSR dari satu perusahaan dan sudah mendapat dukungan penuh dari masyarakat setempat, walaupun sempat mendapat penolakan dari tokoh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Bandung, tapi paman saya tidak menyebutkan nama.
Paman saya berpendapat, penolakan ini tidak berpengaruh karena masyarakat mendukung adanya perubahan tersebut. Karena didorong oleh kepentingan masyarakat itulah, paman saya bersama panita yang disebut panitia 8 mempertahankan argumennya dan mendukung renovasi di sana. Pembelaan atas kepentingan masyarakat ini juga dilakukannya saat mempertahankan Gang Afandi yang akan “ditutup” beberapa waktu lalu. Dalam kejadian tersebut, masyarakat setempat tidak setuju jika gang yang mempunyai sejarah panjang di Braga ini ditutup oleh pengusaha. Mereka melakukan perlawanan untuk mencegah penutupan, dan usaha ini berhasil sehingga gang tersebut masih bisa diakses sampai sekarang.
Sebagai orang yang lahir di Kampung Cibantar, ada keterikatan batin yang kuat antara paman saya dengan Braga. Beberapa perubahan di Braga diingatnya sebagai memori yang mengganggu. Pria yang mempunyai 4 orang anak ini memberi contoh bagaimana Pelmorin (begitu beliau mengejanya), satu tempat peninggalan perusahaan distributor mobil bernama Fuch en Rens disulap menjadi Braga City Walk. Selain itu, dia menyayangkan kehancuran bangunan peninggalan toko bunga Abundantia yang disulap menjadi akses jalan menuju Hotel Gino Feruci. Dengan begitu bagi paman saya, pelindungan cagar budaya adalah perlindungan pada bangunan-bangunan saja.
“Cagar Budaya itu bangunan, bukan gang. Di manapun, satu gang tidak ada yang jadi cagar budaya sampai dilarang untuk diubah. Kami kan hanya mengubah bentuknya saja tanpa mengubah fungsi gang. Kasus ini berbeda dengan rencana penutupan total Gang Afandi. Di kasus itu, gak ada pihak TACB yang membantu,” ungkapnya.
Menurutnya, pembangunan di mulut Gang Cikapundung ini sudah sesuai dengan semangat penetapan Kampung Braga sebagai kampung wisata. Menurutnya, perubahan yang sedang dilakukan ini bisa membuat mulut gang Cikapundung menjadi etalase dan memberikan citra positif kepada Jalan Braga dan warga yang ada di dalam.
“Bisa dibanyangkan, sebelumnya ada beberapa toko dan warung makan. Keberadaan tempat tersebut sangat kumuh dan terasa sempit jika para pelanggan memenuhi warung makan di sana. Pembangunan ini menjadi solusi, karena warung-warung akan dipindahkan ke lantai atas, sedangkan lantai bawah tetap berfungsi sebagai jalan,” jelasnya.
Karena malam larut, saya berpamitan pulang. Saya kembali menyusuri perkampungan dan keluar ke Braga melewati gang yang sama.
Percakapan ini membuat saya merenungkan beberapa hal. Pertama, sepertinya masyarakat sekitar Braga belum menyadari bahwa daerah tempat tinggal mereka sudah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya dan tentang apa definisi Kawasan Cagar Budaya.
Masalah ini muncul karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang cagar budaya secara lebih lengkap. Misalnya, menurut UU Nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya, sudah jelas bahwa cagar budaya tidak hanya merupakan dengan bangunan saja, tapi juga benda, struktur, situs, dan kawasan, seperti halnya Kawasan Braga.
Apakah masalahnya ada dalam sosialisasi? Tanpa sosialisasi yang memadai, kasus seperti ini akan terus saja terjadi di sekitar kita.
Lalu, sebetulnya bagaimana seharusnya atau apa yang harus dilakukan ketika kita atau warga akan membuat perubahan-perubahan di dalam kawasan cagar budaya?
Satu hal lagi, dengan masalah ini, konsistensi pemerintah dalam memperhatikan cagar budaya di Bandung menjadi taruhan. Ketidakkonsistenan bisa membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat berkurang.
Akhirnya, ini menjadi tugas bersama antara pemerintah dan TACB untuk memberi pengetahuan supaya pemahaman masyarakat akan cagar budaya bisa meningkat dan berimbas pada meningkatnya kesadaran mereka terhadap lingkungan sekitar. Hal ini bahkan bisa menjadi semacam sinergi antara pemerintah, TACB, dan warga untuk bisa memelihara dan mempertahankan cagar budaya, termasuk melestarikan Kawasan Braga sebagai Kawasan Cagar Budaya di Kota Bandung.
***
Ditulis oleh:Hevi Fauzan, Komunitas Aleut, Manajer Konten di Simamaung.com, Sertifikasi Tim Ahli Cagar Budaya 2019 dari Provinsi Jawa Barat. Hevi Fauzan dapat dihubungi via akun Ig dan twitter @pahepipa.
Agak disayangkan ya. Andai warga sekitar tahu Cagar Budaya yang dimaksud, mungkin mereka akan menolak perubahan ini. Bener juga pendapat Mang Hevi di bagian terakhir tentang sosialisasi.
Saya rasakan seperti itu. Masih ada gap pemahaman cagar budaya antara masyarakat, pemerintah, dan TACB. Sosialisasi ini sebenarnya jadi kunci, yang bisa mengarahkan supaya masyarakat tahu dan berkonsultasi kepada TACB, dan pemerintah jika melakukan sesuatu atas cagar budaya.
Ping balik: Braga; Kawasan Cagar Budaya Kota Bandung yang Terus Terganggu | Bandung Blogger
Ping balik: Braga City Walk - Setiap Gedung Punya Cerita