Jejak Langkah Sanghyang Heleut

IMG-20180716-WA0028

Sanghyang Heleut / Foto Komunitas Aleut

Oleh : Rulfhi Alimudin Pratama (@rulfhi_rama)

Asap knalpot menyembur ke muka. Hitam pekat, bau, perih di mata. Sialnya waktu itu saya memakai helm tanpa kaca. Jadi bisa dibayangkan asap tersebut langsung menyerempet pori-pori kulit di muka. Ini lebih buruk dari bau kentut. Alasan inilah yang membuat saya tidak menyukai jalan Citatah, Padalarang. Jalan ini sudah dikuasai oleh truk-truk berbadan besar mengangkut batu kapur yang tak sungkan kentut.

Tak hanya soal truk yang kentut sembarangan. Jalanan ini sering kali di dera kemacetan. Ruas jalan tak lagi sepadan dengan volume kendaraan yang melintas. Jadi masalah utama. Kami berada di jalanan ini tepat ketika matahari sedang terik-teriknya. Alhasil cucuran peluh tanpa air mata membasahi sekujur badan.

Saat itu saya dalam perjalanan bersama rekan-rekan Djelajah Priangan dan Komunitas Aleut menuju Sanghyang Heleut. Perjalanan dalam rangka kegiatan ngaleut momotoran. Sanghyang Heleut terletak di dekat PLTA Saguling. Tempat yang eksotis dengan batu dan air yang hijau. Air tersebut kadang bisa menjadi biru ditangan para selebgram.

Untuk kedua kalinya saya menginjak kaki di sini. Yang pertama bersama Aleut dua tahun silam. Namun sayang, saat itu malamnya hujan, sehingga air disana menjadi keruh. Maka saat kunjungan kedua ini saya berharap air tersebut hijau dan enak dipakai ngojay.

IMG-20180716-WA0029

Perjalanan menuju Sanghyang Heleut / Foto Komunitas Aleut

Perlu waktu sekitar 2-3 jam lebih untuk tiba di parkiran Sanghyang Heleut dari Bandung jika melewati Padalarang. Untuk sampai di lokasinya sendiri perlu jalan kaki melewati jalan setapak sekitar 1-1,5 jam. Saya cukup pangling dengan suasana di sana. Banyak perubahan yang dilakukan demi menunjang wisata Sanghyang Heleut. Parkir tersedia dengan luas, penitipan helm dan jasa pemanduan dari warga lokal.

Jika ingin menggunakan jasa pemanduan, kamu harus mengeluarkan kocek 20ribu/perorang. Saya kira ada baiknya kalian menggunakan jasa mereka. Toh, dengan menggunakan jasa mereka secara langsung kita sudah membantu perekonomian setempat. Saya pun cukup kagum dengan pengelolaannya. Meskipun dikelola swadaya oleh masyarakat, tapi setiap pos sudah ditempatkan sesuai tempatnya. Tidak ada saling berebut wisatawan, saya dibuat nyaman.

Pipa kuning menyambut saya. Saya harus menyebrang lewat kolong pipa, dan naik tangga yang hampir vertikal. Beberapa teman yang takut akan ketinggian berjalan sangat hati-hati dan peperekeut. Setelah melewati pipa kuning dan naik tangga. Kami mulai masuk ke daerah hehejoan.

Jalan setapak khas pedesaan menyambut saya dan rombongan. Melangkah lebih jauh ke dalam rimbunnya hehejoan. Pipa kuning mulai tak terlihat, kami masuk ke kebon pisang. Melewati sungai. Sungai yang saat itu debit airnya sedang kecil. Tak jauh dari sungai terdapat sebuah warung. Warung tersebut kami jadikan tempat beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.

Setelah memulihkan tenaga di warung ini kami melanjutkan perjalanan. Warung ini menjadi penanda bahwa perjalanan menuju Sanghyang Heleut setengah jalan lagi. Kami pun bergegas melanjutkan perjalanan.

IMG-20180716-WA0033

Warung sebagai tempat jajan dan ngalempengkeun suku / Foto Komunitas Aleut

Kami tiba di lokasi sekitar pukul tiga sore. Beberapa teman ada yang langsung persiapan nyebur, dan ada juga yang leyeh-leyeh di warung. Saya sendiri memilih berleyeh-leyeh sebentar di warung sebelum ngojay. Setelah dirasa istirahat cukup, saya menuju area yang biasa dipakai untuk ngojay. Di area ini disediakan penyewaan pelampung seharga 10ribu/pelampung.

Saya lirik Aip, Gista buat mendapatkan persetujuan sewa pelapung. Kami pun menyewa pelampung. Seorang teman perempuan kami bernama Della sudah berada di atas batu. Batu yang biasa dipakai sebagai arena lompat tidak indah.

Sebelum ngojay, saya, Aip dan Gista melakukan pemanasan. Cebar-cebur biar basah dan beradaptasi dengan air. Setelah dirasa cukup, saya naik ke batu tersebut. Pemandangan di atas batu jelas sangat berbeda ketika saya berada di bawah. Berkali-kali saya melihat ke bawah berkali-kali juga nyali saya menciut dan tuur asa leklok.

Saya tentu akan malu jika harus turun lagi. Aip mendahului saya untuk meloncat. Berbekal niat dan rasa tak karuan saya pun meloncat. Saya merasakan tubuh saya terhempas dan bersentuhan dengan dinginnya air Sanghyang Heleut. Ceburrrr.

Rasanya lega. Akhirnya kesampaian juga cita-cita untuk meloncat dari atas batu. Kami bersantai di sini sekitar satu jam. Setelah dipuaskan dengan alam Sanghyang Heleut, kami pun bergegas pulang sebelum matahari terbenam. Kami tiba di parkiran sekitar pukul enam sore.

Bang Ridwan yang menginisiasi rute pulang bertanya kepada warlok mengenai jalan lain selain memakai jalan raya Padalarang. Warlok memberi tahu bahwa ada jalan baru yang bisa dipakai, nantinya keluar dari Kota Baru Parahyangan. Kami putuskan untuk memakai rute ini.

Ketika perjalanan motor saya berada di barisan paling belakang. Kami melewati perkampungan, pesawahan, kampung lagi, sawah lagi, kampung lagi. Sampai kuda besi saya berhenti di tengah tanjakan. “kunaon maneh ereun?” ujar saya pada si kuda besi. “hayang nginum, tatadi urang haus” jawabnya. “engke deui atuh, kagok”. “ari hayangna ayeuna kumaha?” Saya lihat sekitar, tak ada warung minum.

Tegar dan Palex yang berada dekat saya menepi. Tegar bertanya pada saya, “kunaon motor teh?” Biasanya hanyang nginum. Saya pun turun ke lébak. Mencari warung minum buat si Byson. Setelah bertanya pada bapak-bapak di warung, akhirnya saya menemukan warung tersebut. Tegar menyusul saya untuk memastikan apakah saya sudah menemukan warung minum apa belum.

Setelah saya berikan minum. Si Byson kembali cenghar, ia berkata “nuhun ah.” Saya pun melanjutkan perjalanan, namun kami sudah tertinggal jauh dari rombongan. Kami pun harus bergegas guna kembali bersama rombongan.

Kota Baru Parahyangan menjadi patokan kami mencari jalan. Ketika kami bertanya pada warlok yang sedang berada di dekat warung. Dia menunjukan bahwa kami harus memutar arah dan setelah tanjakan belok kanan. Kami mengiyakannya.

Kami putar arah. Kami pun menemui sebuah belokan di samping kanan. Tapi kami ragu. Jalan ini tampak mengarah ke arah hutan. Beruntunglah ada mobil yang berhenti dan memberitahu bahwa belokan menuju Kota Baru Parahyangan bukan yang ini, tapi masih berada di atas lagi. Kami pun segera memacu kendaraan. Kali ini belokan kedua cukup lebar, karena tidak ada orang lagi yang bisa ditanya kami putuskan untuk masuk saja. Baru beberapa meter jalan, terdapat truk truk pasir yang sedang parkir. Saya pikir mungkin di depan sedang ada perbaikan jalan. Jalan di portal kayu tapi motor masih bisa lewat. Sampai ada teriakan dari bapak-bapak loreng.

“Woi dek kamana? Eta mah buntu, ka galian pasir.”

Saya menjawab “bade ka Kota Baru Parahyangan.”

“Sanes nu ieu jalanna, jalanna nu luhur deui.”

“Oh muhun atuh pak, nuhun.”

Kami ternyata salah belok. Kami pun kembali putar arah. Akhirnya kami menemukan belokan yang dimaksud. Jalannan yang di cor beton. Kami melintasi jalan ini. Kami berharap dapat bertemu dengan rombongan di depan. Ditengah perjalanan, Tegar memastikan dahulu posisi rombongan berada di mana. Ternyata rombongan tidak keluar dari Kota Baru  Parahyangan, tapi keluar dari sebuah jembatan apung. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Kota Baru Parahyangan dan bertemu di perempatan Batujajar.

Saya pikir selalu ada cerita di balik setiap perjalanan. Entah tersesat, habis bensin, semua mesti dinikmati. Dengan kejadian-kejadian seperti itu membuat saya lebih mudah mengingat setiap perjalanan.

IMG-20180714-WA0023

Foto sebelum melakukan jalan kaki menuju Sanghyang Heleut / Foto Ervan

Tautan Asli di sini

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s