Momotoran Bandung-Bantul

Oleh : Ervan Masoem (@Ervan)

Agenda Momotoran Komunitas Aleut kali ini diadakan H+1 hari raya Idul Fitri. Bandung-Bantul jadi tujuannya. Bagi saya yang tidak mempunyai kampung halaman nan jauh, ini jadi kesempatan untuk merasakan bagaimana perjalanan mudik menggunakan sepeda motor.

Mesin motor mulai dinyalakan, kami menarik gas kendaraan menuju jalanan. Pasir Jaya, Cibiru sampai Cicalengka lancar saja. Ketika memasuki kawasan Nagrek jalanan mulai ramai dan padat. Kendaraan bermotor berjejalan seperti ribuan semut yang mengerubungi gula. Mantap!

Hari sudah berganti dan tengah malam sudah terlewati. Rasa kantuk dan lelah mulai menyerang ketika kami memasuki Kota Ciamis. Pertanda kami harus segera beristirahat untuk memulihkan tenaga. Kami pun mencari penginapan. Sepanjang jalur Banjarsari sampai Padaherang kami tidak menemukan satupun penginapan. Alhasil kami menjatuhkan pilihan pada masjid. Hanya hitungan jam kami melepas lelah serta kantuk, tapi badan lumayan terasa segar kembali.  Benar saja apa kata orang bilang, obatnya ngantuk yaitu tidur, seperti kalo rindu ya harus bertemu Hehe.

Perjalanan dilanjutkan setelah shalat subuh. Kali ini kami melewati jalur Kalipucang-Cilacap yang jalanannya beraspal mulus seperti jalanan lintas provinsi kebanyakan. Kami tidak memilih melewati jalanan yang biasa di lewati para pemudik. Kami memilih jalur pesisir selatan yang di anjurkan oleh Kementrian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat).

Kami pun menjajaki jalur pesisir selatan. Setibanya di Sumpiuh,Banyumas kami memutuskan mampir terlebih dahulu ke salah satu rumah pegiat Aleut: Riri. Melepas lelah dan bersilaturahmi. Kami disuguhi pecel kembang turi, lanting, dan kudapan lainnya. Jangan ditanya rasa pecel kembang turinya mantap dan pedas!

momotoran bantul

Muara pantai Logending. Foto: Ervan masoem

Perjalanan pun dilanjutkan melewati beberapa pantai seperti Logending, Meganti, Karangbolong, dan Suwuk. Jalur baru Kebumen-Purworejo dengan jarak kurang lebih 30 km bisa membawa motor kami menempuh kecepatan diatas 70/km. Jalannya yang landai dan beraspal tanpa cela namun kurang penerangan lampu, bengkel, dan pom bensin.

Sehabis jalan tersebut kami melewati jalan Daendels. Banyak orang mengira bahwa jalan sepanjang pesisir selatan ini digagas oleh Herman Willem Daendels. Tentu saja hal tersebut keliru karena jalan ini dibuat  oleh Daendels yang lain. Kedua Daendels tersebut hidup dalam masa yang berbeda pula.

Setelah melewati 310 kilometer sejak dari Bandung ditambah mampir ke Sumpih kami akhirnya sampai di rumah seorang teman di Bantul, sebut saja Teh Nurul. Lagi-lagi aneka makanan dan minuman disuguhkan, malam itu kami menginap di rumah Teh Nurul. Nuhun pisan Teh Nurul!!

Sebelum pergi tidur kami menyempatkan untuk mengobrol di halaman rumah Teh Nurul. Kali ini Mang Irfan bercerita tentang desa Mangir yang menolak tunduk terhadap kekuasaan Mataram. Perlawanan penduduk desa Mangir terhadap kekuasaan Mataram. Menurut versi Mataram bahwa sosok Ki Ageng Mangir adalah sosok pemberontak yang halal darahnya untuk dibunuh, maka dari itu Panembahan Senopati mengirim utusan yaitu anaknya sendiri Pembayun yang menyamar menjadi seorang penari ronggeng dengan harapan Mangir jatuh cinta dan menjadikan Pembayun istrinya. Persoalan menjadi rumit ketika Pembayun secara tulus jatuh cinta terhadap Mangir, padahal dia di tugaskan untuk membawa kepala Ki Ageng Mangir kehadapan ayahnya. Terdapat beberapa versi terbunuhnya Mangir. Ada yang menyebutkan ketika Mangir menghadap kepada Panembahan Senopati dia tunduk sujud lalu kepalanya dihantam batu.

Pramoedya Ananta Toer mempunyai pendapat lain tentang terbunuhnya Ki Ageng Mangir, sebuah keniscayaan bagi Ki Ageng Mangir untuk begitu saja tunduk kepada Raja Mataram. Itu bukanlah watak aslinya. Mangir sebelum mati pasti melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan. Bukan mati secara sia-sia di atas bongkahan batu, di bawah injakan kaki kuasa Panembahan Senopati!

Kisah tersebut menjadi pengetahuan baru bagi saya tentang kelicikan yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan yang berkuasa saat itu. Hari sudah semakin malam semangat ngobrol dan curhat  sebenernya masih ada tetapi kantuk mulai melanda kamipun terpaksa berangkat tidur untuk persiapan perjalanan esok hari.

Pagi hari kami sudah bersiap-siap untuk perjalanan pulang. Personil momotoran kali ini bertambah satu, Dengan bergabungnya Teh Nurul menjadi enam orang. Oh iya dari Bandung kami pergi dengan 4 motor, satu motor berboncengan dan sisanya mengendarai secara solo.

Melewati Alun-alun Kota Yogyakarta yang sedang ramai oleh orang-orang. Sepeda motor kami terus membelah jalanan Jogja dari arah selatan  menuju arah Magelang di utara.

Setelah sebelumnya kami pergi menggunakan jalur selatan, untuk perjalanan pulang ke Bandung kami menggunakan jalur bagian tengah. Jika sebelumnya ditemani oleh jalanan pantai dan muara, di jalur Temanggung-Wonosobo-Purbalingga kami di temani pegunungan yang hijau seperti Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan kami pun menyempatkan menginap di wisata Guci yang letaknya di bawah kaki Gunung Slamet. Setelah semalam menginap kami melanjutkan lagi perjalanan, yang menjadi tujuan selanjutnya adalah Majalengka.

Perjalanan menuju perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat lebih menantang dari jalanan sebelumnya. kami terlebih dahulu melewati sungai Ci Pamali yang menjadi batas antara kerajaan Sunda dan Majapahit.

momotoran bantul 1

Tanjakan di gunung lio Salem, kabupaten Brebes. Foto: komunitas Aleut

Kami juga melewati bekas longsoran besar yang terjadi di Salem, Kabupaten Brebes bulan Februari lalu. Setelah melewati longsoran, kami dihadapi oleh turunan yang sangat curam dari arah sebaliknya pun tanjakan membuat motor-motor tidak kuat menanjak.

Sebenarnya ketika sampai Majalengka perjalanan akan langsung di lanjutkan sampai Bandung akan tetapi karena kondisi badan sudah lelah, kami kembali menepi untuk mencari penginapan. Beruntulnglah lewat info teman-teman di grup whatsapp kami pun mendapatkan penginapan.

Perjalanan ke Bandung dilanjutkan di hari keempat. Cimalaka menjadi pilihan kami untuk di lewati, Gunung Tampomas menjadi kejutan selanjutnya saat di perjalanan. Coba saja jika melewati Sumedang kota lalu ke Tanjungsari mustahil bisa melihatnya dari dekat. Gunung Tampomas terlihat menjulang tinggi dari arah pedesaan yang kami lewati. Melalui jalur Subang, Lembang akhirnya kami kembali ke kota Bandung.

Baca juga artikel lainnya dari mengenai catatan perjalanan

(komunitasaleut.com – erv/upi)

 

Iklan

2 pemikiran pada “Momotoran Bandung-Bantul

  1. Ping balik: Menuju Mangir, Menyusur Pantai Selatan Jawa | Dunia Aleut!

  2. Ping balik: Secuil Kisah Momotoran Bareng Komunitas Aleut | Dunia Aleut!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s