
Lukisan di Museum Geusan Ulun mengenai penyerahan mahkota Binokasih oleh empat Kandaga Lante | Photo Komunitas Aleut
Oleh : Warna Sari (@rie1703)
Homer adalah seorang pengarang Yunani kuno yang menuliskan kisah-kisah dari masa klasik sekitar abad ke-8 dan abad ke-7 sebelum Masehi. Dua bukunya yang terkenal adalah “Iliad” dan “Odyssey”. Dalam “Iliad”, Homer bercerita mengenai pengepung kota Troy yang berlangsung selama 10 tahun oleh gabungan kekuatan-kekuatan di Yunani.
Pangkal peperangan terjadi karena Pangeran Paris dari Troy melarikan Ratu Helen, istri Raja Sparta, Menelaus. Tindakan tadi memicu peperangan antara kerajaan-kerajaan sekutu Sparta melawan Troy. Salah satu panglima dalam pasukan Sparta adalah Achilles yang kemudian berhasil membunuh panglima perang Troy yaitu Pangeran Hector yang merupakan kakak dari Pangeran Paris.
Sumedang Larang Penerus Kerajaan Sunda
Kisah tragedi yang hampir sama yaitu perang karena berebut pasangan, kemudian terjadi di wilayah Kerajaan Sumedang Larang pada abad ke-16 Masehi. Menurut “Carita Parahyangan”, Prabu Raga Mulya atau Prabu Suryakancana adalah Raja Pajajaran terakhir. Pada tahun 1579 Prabu Raga Mulya memberikan mahkota kerajaan yaitu “Mahkota Binokasih Sanghyang Pake” kepada Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang yang baru saja diangkat menggantikan ibundanya, Ratu Pucuk Umun. Penyerahan mahkota kerajaan itu kemudian menjadi simbol bahwa Sumedang Larang sebagai penerus kekuasaan Kerajaan Sunda.Mahkota Binokasih diserahkan oleh empat orang Kandaga Lente (satu jabatan yang tingkatnya lebih tinggi dari cutak/camat) yang terdiri dari Jayaperkosa (Sanghyang Hawu), Nangganan (Batara Dipati Wiradjaja), Sanghyang Kondanghapa dan Batara Pancar Buana. Mereka datang ke Sumedang menyampaikan amanat Prabu Raga Mulya, yaitu untuk berbakti kepada Kerajaan Sumedang Larang (Geusan Ulun) sebagai penerus Kerajaan Sunda. Sejak saat itu Sumedang Larang yang semula merupakan vassal/kerajaan bawahan Pajajaran/Sunda telah menjadi kerajaan yang merdeka dengan wilayah kekuasaan meliputi seluruh wilayah Sunda terkecuali Cirebon, Banten dan Jayakarta.
Perselisihan Sumedang Larang dengan Cirebon
Suatu ketika berangkatlah Prabu Geusan Ulun ke Demak Bintoro untuk memperdalam ilmu agama dengan diiringi ke empat bekas Kandaga Lante yang telah diangkat menjadi pembantunya yang setia. Usai berguru di Demak rombongan Prabu Geusan Ulun melakukan perjalanan pulang dengan terlebih dahulu singgah ke Cirebon untuk bersilaturahmi dengan Pangeran Giri Laya (Raja Cirebon). Seperti juga dengan anggota Kerajaan Sunda, Kerajaan Sumedang Larang juga memiliki ikatan kekerabatan dengan Cirebon. Ayah Prabu Geusan Ulun yaitu Pangeran Santri adalah keturunan dari Sunan Gunung Jati pendiri Kesultanan Cirebon. Pangeran Giri Laya menerima kedatangan Prabu Geusan Ulun dengan baik. Sikap Prabu Geusan Ulun yang ramah, ditambah dengan ketampanannya mempesona rakyat dan keluarga kerajaan Cirebon. Semua orang merasa segan dan memberikan pujian kepada tindak-tanduk Prabu Geusan Ulun. Saat Prabu Geusan Ulun memasuki pendopo kerajaan, para menak dan Pangeran Cirebon terpesona melihatnya.
Ketika Pangeran Geusan Ulun bertukar pikiran dengan Pangeran Giri Laya, permaisuri Ratu Harisbaya menyajikan santapan. Saat melihat Prabu Geusan Ulun, sang permaisuri terpikat dan jatuh hati dengan ketampanannya. Prabu Geusan Ulun kemudian lebih memilih bermalam di masjid untuk lebih menenangkan pikiran. Hingga pada suatu malam ketika Prabu Geusan Ulun tengah tidur terdengar bunyi langkah seseorang yang mendekatinya. Ternyata orang yang datang itu adalah Ratu Harisbaya. Sehingga membuat Prabu Geusan Ulun sangat terkejut. Sang Prabu kemudian memanggil keempat patihnya untuk berunding mencari cara menasehati Ratu Harisbaya yang memaksa untuk dapat ikut pergi dengannya. Ratu Harisbaya bahkan mengancam akan bunuh diri jika kehendaknya tadi tidak terlaksana. Mbah Jayaperkosa memberikan saran agar Ratu Harisbaya lebih baik diboyong saja ke Sumedang Larang. Menurutnya dibawa atau tidaknya Ratu Harisbaya ke Sumedang tetap saja akan menimbulkan keributan. Akhirnya malam itu juga Prabu Geusan Ulun, keempat patihnya, dan Ratu Harisbaya pergi secara diam-diam di tengah malam ke Sumedang Larang tanpa berpamitan terlebih dulu kepada Pangeran Giri Laya.
Pagi hari di Keraton Cirebon terjadi kegemparan dengan raibnya Ratu Harisbaya. Setelah dilakukan pencarian ternyata rombongan Prabu Geusan Ulun juga ikut lenyap. Sehingga timbul kecurigaan bahwa Ratu Harisbaya telah dibawa pergi ke Sumedang. Pangeran Giri Laya kemudian memerintahkan pasukan untuk mengejar Prabu Geusan Ulun. Pasukan yang melakukan pengejaran menemukan jejak berupa bau wangi khas dari pakaian Ratu Harisbaya. Tempat itu kemudian dikenal dengan sebutan Darmawangi.
Sementara itu rombongan pelarian Prabu Geusan Ulun sudah tiba di Kutamaya, ibu kota Kerajaan Sumedang Larang saat itu. Kabar pengejaran pasukan Cirebon yang berniat akan menyerang Sumedang Larang diterima Jayaperkosa. Berita itu segera ia teruskan kepada ketiga teman yang lain dan mereka kemudian datang menghadap kepada Prabu Geusan Ulun untuk merundingkan keadaan bahaya ini. Prabu Geusan Ulun kemudian memutuskan bahwa pasukan Cirebon harus dihadang di perbatasan kerajaan untuk mencegah jangan sampai wilayah Sumedang Larang dijadikan medan pertempuran.
Saat itu Mbah Jayaperkosa berkata kepada Sang Raja. “Paduka yang mulia! Hamba berempat sanggup menghadapi musuh. Gusti jangan khawatir dan jangan gentar, diam saja di keraton. Hamba akan memberi tanda yaitu dengan menanam pohon hanjuang di sudut alun – alun. Nanti, jika perang sudah selesai, lihatlah! Jika pohon hanjuang itu gugur daunnya itu adalah pertanda bahwa hamba telah mati di medan perang. Namun jika pohon itu tetap segar dan tumbuh subur itu suatu tanda bahwa hamba unggul di medan perang,”.
Keempat pembantunya kemudian menunggu datangnya pasukan Cirebon di suatu tempat yang kemudian dikenal dengan nama Dago Jawa. Melihat pasukan Cirebon yang datang dalam jumlah besar keempat patih memanjatkan doa memohon perlindungan kepada Yang Maha Kuasa. Terjadilah pertempuran yang sengit. Dengan kesaktiannya keempat patih Sumedang meminta banyak korban prajurit Cirebon. Hingga akhirnya prajurit Cirebon yang tersisa memilih mundur namun terus dikejar oleh keempat patih Sumedang. Mbah Jaya Perkosa yang telah banyak membunuh lawan semakin bersemangat dan terus mengejar lawannya. Tapi disadari Jayaperkosa kemudian terpisah dari ketiga teman dan pasukannya. Setelah ditunggu sekian lama Mbah Jayaperkosa tidak kunjung kembali. Ketiga patih lainnya memutuskan pulang kembali ke Sumedang Larang dan mengabarkan bahwa Jayaperkosa telah gugur kepada Prabu Geusan Ulun. Mendengar berita tewasnya Jayaperkosa, Prabu Geusan Ulun yang sedih dan bingung akhirnya memerintahkan agar semua rakyatnya segera meninggalkan Kutamaya. Sang Raja saat itu lupa untuk melihat pertanda pada pohon hanjuang di sudut alun-alun Kutamaya.
Prabu Geusan Ulun dan rombongannya kemudian sampai di daerah bernama Batugara. Di tempat ini permaisuri Prabu Geusan Ulun yang bernama Nyi Mas Gedeng Waru jatuh sakit hingga akhirnya wafat. Melihat kondisi Batugara yang dirasa tidak cocok untuk mendirikan ibu kota. Rombongan Prabu Geusan Ulun meneruskan perjalanannya menuju ke lereng sebuah gunung. Dari lereng gunung ini dapat melihat dan mengawasi keadaan sekitar dengan jelas. Diputuskanlah untuk mendirikan ibu kota kerajaan di tempat ini. Daerah ini kemudian disebut sebagai Dayeuhluhur.
Jayaperkosa yang mengejar sisa pasukan Cirebon kemudian kembali ke tempat pasukannya menunggu. Namun ia tak menemukan siapapun di tempat yang dijanjikan untuk bertemu. Kemudian dia pergi menuju Kutamaya namun tempat itu sudah kosong ditinggalkan penduduknya. Jayaperkosa semakin kecewa karena tanda berupa pohon hanjuang yang ditanamnya dahulu tumbuh sumbur dan tidak mendapat perhatian. Dalam keadaan marah Jayaperkosa melihat asap di lereng gunung sebelah timur. Dengan sekali hentakkan kaki Jayaperkosa telah sampai di lereng gunung yang dituju. Tempat Mbah Jayaperkosa menginjakan kakinya itu sekarang disebut sebagai Gunung Pangadegan.
Jayaperkosa kemudian menghadap Prabu Geusan Ulun, dia berkata. “Gusti! Mengapa kerajaan Gusti tinggalkan? Tidakkah Gusti percaya kepada hamba?” Prabu Geusan Ulun menjawab dengan suara pelan. “Oh, Eyang! Engkaulah tulang punggung Sumedang Larang. Kami merasa bingung saat mendengar berita bahwa Eyang tewas di medan perang. Saya ingin menyelamatkan rakyat dengan pergi meninggalkan Kutamaya. Dari tempat ini kami dapat melihat jelas ke arah manapun sehingga musuh yang datang dari jauh juga dapat terlihat,”. Kemudian Mbah Jaya Perkasa berkata, “Mengapa Gusti tidak melihat pertanda dari pohon hanjuang yang hamba tanam?” “Maafkan kami Eyang. Ketika itu kami lupa untuk melihat pertanda itu”. “Lalu dari siapa Gusti mendengar kabar bahwa hamba telah gugur?” “Mbah Nanganan yang mengabarkannya” jawab Sang Prabu. Mendengar jawaban Prabu Geusan Ulun itu, Mbah Jayaperkosa semakin murka. Saat itu juga Mbah Nanganan ditikamnya hingga meninggal dunia. Jasad Eyang Nanganan kemudian ditendangnya hingga sampai ke daerah Citengah. Sedangkan Jayaperkosa lebih memilih untuk “ngahyang” di sebuah kabuyutan yang terletak di puncak Gunung Rengganis.
Versi lain penyebab perang antara Cirebon dengan Sumedang Larang menurut menurut cerita salah seorang penjaga Museum Geusan Ulun bahwa Ratu Harisbaya yang berasal dari Madura sebenarnya adalah cinta pertama Prabu Geusan Ulun yang ketika muda bernama Pangeran Angkawijaya. Mereka sama-sama belajar agama Islam di Demak. Mereka kemudian berpisah dan setelah bertahun-tahun kemudian berjumpa lagi di Cirebon saat itu Harisbaya sudah menjadi istri Pangeran Giri Laya. Akhirnya benih-benih cinta lama bersemi kembali. Jadi Ratu Harisbaya tidak secara tiba-tiba jatuh hati dan menginginkan lari dengan Prabu Geusan Ulun.
Akibat Perang Sumedang Larang-Cirebon
Akibat dari perselisihan antara Cirebon dengan Sumedang Larang yang diakibatkan perebutan pasangan ini kemudian berakibat buruk bagi Sumedang. Sebagai syarat perdamaian dan agar Prabu Giri Laya menjatuhkan talak kepada Ratu Harisbaya, Prabu Geusan Ulun harus menyerahkan wilayah Sindangkasih (Majalengka) kepada Cirebon.
Kehilangan wilayah kekuasaannya menyebabkan Sumedang Larang semakin lemah. Saat itu Sumedang juga harus menghadapi serangan Banten yang saling berebut wilayah dan pengaruh di bekas Kerajaan Sunda. Sumedang Larang yang semakin tak berdaya akhirnya meminta perlindungan kepada Mataram. Maka terhitung sejak tahun 1620, Sumedang Larang tak lagi berdiri sebagai kerajaan namun menjadi wilayah bawahan Mataram.
Saat itu Pangeran Suriadiwangsa yang menggantikan kedudukan Prabu Geusan Ulun sejak tahun 1601, datang ke Mataram dengan tulus ikhlas untuk berada dibawah panji Mataram. Sehingga wilayah kekuasannya kemudian dinamai “Prayangan” (kurang lebih artinya tulus ikhlas). Konon dari sebutan itulah muncul sebutan Priangan. Pangeran Suriadiwangsa yang merupakan anak Ratu Harisbaya kemudian memperoleh gelar Pangeran Dipati Rangga Gempol (Rangga Gempol I). (rie/upi)