Pusara di Cikutra

Oleh: Uyung Achmar (@uyungachmar)

Pidi Baiq dalam novel Dilan Bagian Kedua: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991 (2015) menceritakan bahwa tokoh Milea sempat bertemu kembali dengan Dilan di Bandung pada tanggal 25 Juli 1992. Saat itu hubungan Dilan telah putus dengan Milea yang kemudian pindah ke Jakarta. Milea berada di Bandung pada hari itu untuk menghadiri pemakaman ayahnya Dilan.

Saat itu digambarkan bahwa Dilan telah didampingi seorang perempuan yang menurut Milea merupakan pacar baru Dilan. Lenyaplah kesempatan bagi Milea untuk bersatu kembali dengan Dilan. Belakangan, dalam novel Milea: Suara dari Dilan (2016) diketahui bahwa perempuan yang mendampingi Dilan selama prosesi pemakaman bukanlah pacar Dilan, melainkan hanya saudara sepupu. Pedih.

Catatan ini bukan untuk menelusuri kisah asmara Dilan dan Milea lebih lanjut. Pembahasan berikutnya justru lebih terkait dengan lokasi pemakaman yang menjadi latar kisah tersebut. Ayah Dilan, yang seorang tentara, dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Cikutra. Takdir Tuhan telah menggariskan bahwa lebih dari 25 tahun sejak tanggal pemakaman sang ayah menurut novel Dilan, Komunitas Aleut menyelenggarakan kegiatan Ngaleut Taman Makam Pahlawan pada 14 Januari 2018. Saya pun turut dalam kegiatan tersebut.Pagi itu, dengan tenang dan sedikit malu-malu, saya menghampiri sekumpulan pemuda-pemudi di luar pintu masuk TMP Cikutra. Sudah dapat dipastikan bahwa mereka adalah Komunitas Aleut. Setelah bersalaman dan mengisi buku daftar kehadiran, saya pun duduk sambil ngobrol dan menunggu peserta lainnya. Begitu semua peserta telah berkumpul, kami pun beriringan masuk ke dalam kompleks makam. Hitungan kasar saya menyimpulkan jumlah peserta ngaleut hari itu sekitar dua puluh orang.

Peserta Ngaleut Taman Makam Pahlawan | Foto: Upi/ Komunitas Aleut

Peserta Ngaleut Taman Makam Pahlawan | Foto: Komunitas Aleut

Sudah empat kali saya mengikuti kegiatan ngaleut. Berbeda dengan ngaleut-ngaleut sebelumnya yang pernah saya ikuti, kali ini panitia tidak menyediakan narasumber sebagai pemandu utama. Peserta dipersilakan untuk berkeliling sendiri untuk mengeksplorasi hal-hal menarik apa saja yang ditemukan, untuk kemudian didiskusikan pada saat sesi sharing di akhir kegiatan.

TMP Cikutra lumayan luas. Terbagi menjadi belasan blok dan bertingkat-tingkat. Rasanya tidak mungkin kita dapat menelusuri seluruh kompleks makam seharian. Panitia pun membagi peserta menjadi empat kelompok untuk menelusuri blok makam yang berbeda. Saya bersama empat peserta lainnya masuk di kelompok 3 yang bertugas mengamati bagian makam sisi atas sebelah kanan. Pada praktiknya, peserta ngaleut tidak terikat pada wilayah pengamatannya saja, tetapi bebas apabila penasaran untuk menelusuri wilayah lain.

Tokoh terkenal

Di TMP Cikutra ada cukup banyak nama-nama yang pasti sangat dikenal warga Bandung dan sekitarnya. Kita mulai dengan Danudirja Setiabudi. Setiabudi dijadikan nama jalan yang menghubungkan Bandung dengan Lembang. Untuk yang belum tahu, nama asli Setiabudi adalah Ernest Douwes Dekker, jadi beliau terlahir sebagai bule. Nama Danudirja Setiabudi diberikan oleh Soekarno setelah memilih untuk menjadi warga Indonesia. Kiprah petualangan Douwes Dekker semasa muda sempat disinggung oleh Pramoedya Ananta Toer dalam roman Bumi Manusia, di mana Douwes Dekker diceritakan pernah ikut dalam Perang Boer di Afrika Selatan. Dalam pelajaran sejarah saat saya SMP, Douwes Dekker dikenal sebagai salah satu dari tiga serangkai (bersama Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara) yang mendirikan partai politik pertama di Hindia Belanda, yaitu Indische Partij. Setiabudi dikebumikan secara islam dan makamnya terletak di blok pemakaman islam.

Makam Para Tokoh | Foto: Uyung Achmar

Makam Para Tokoh | Foto: Uyung Achmar

Selanjutnya, ada makam Kolonel Masturi yang terkenal sebagai jalan alternatif dari/ menuju Lembang. Beliau merupakan mantan Bupati Bandung. Ada pula makam Abdul Muis, pahlawan nasional yang pertama kali dikukuhkan dalam sejarah Indonesia. Saya pribadi lebih mengenal Abdul Muis dengan novelnya Salah Asuhan. Sedangkan beberapa peserta ngaleut mengenal Abdul Muis sebagai nama terminal angkot di daerah Kebon Kalapa. Insya Allah semua benar.

Tokoh lain yang kami temukan yaitu Nurtanio. Tokoh penting perintis industri dirgantara di Indonesia yang sempat memproduksi beberapa jenis pesawat. Huruf N pada IPTN pada awalnya merupakan singkatan dari Nurtanio, sebelum diganti menjadi Nusantara. Nama Nurtanio di Bandung juga diabadikan sebagai salah satu nama jalan dan salah satu universitas di sekitar bandara. Masih terkait dengan dunia penerbangan, ada pula makam Sulaiman, yang namanya dijadikan pangkalan udara/ lanud di selatan Bandung, antara Kopo dan Soreang (backsound: lagunya Sheila Majid).

Kami juga menemukan makam ibu Emma Puradireja, yang menjadi nama rumah sakit bersalin/ ibu dan anak yang terletak di jalan Sumatera, dekat Taman Lalu Lintas. Ibu Emma ini sepertinya aktivis perempuan pada masanya. Adapun Puradireja, ayah dari ibu Emma, menurut John Smail dalam Bandung Awal Revolusi, merupakan pamong praja senior pada awal kemerdekaan yang sempat menjadi residen Priangan.

Baca : Ida Jacoba Andina Douwes Dekker

Mantan Pejabat Jawa Barat

Beberapa mantan Gubernur Jawa Barat juga dimakamkan di TMP Cikutra. Mantan Gubernur Jawa Barat yang saya temukan di sini antara lain Ipik Gandamana yang juga pernah menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada zaman Soekarno. Ada juga mantan  Gubernur Jawa Barat Mashudi yang pernah menjadi Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Mahasiswa yang pernah berkegiatan di Jatinangor pasti tahu daerah perkemahan Kiarapayung yang sekarang mempunyai nama resmi ‘Bumi Perkemahan Dr.(HC) Mashudi’.

Makam para pejabat di TMP Cikutra

Makam Para Pejabat | Foto: Uyung Achmar

Ada pula makam dua mantan Gubernur lainnya yaitu Aang Kunaefi dan juga Yogie Suardi Memed. Terkait nama Yogie SM, ada hal menarik yang perlu saya ceritakan (curhat). Pada saat sesi sharing, ternyata sebagian besar peserta ngaleut baru kali ini mendengar nama Yogie SM. Padahal nama ini sangat saya hafal saat masih SD sebagai Menteri Dalam Negeri (yang jadi Menlu-nya Ali Alatas, Menteri Penerangan-nya Harmoko, dan Menteri Kehakiman-nya Oetoyo Usman, hahaha). Barulah saya sadar bahwa ternyata sebagian besar peserta ngaleut kali ini berstatus mahasiswa yang lahirnya setelah reformasi. Di situ kadang saya merasa tua (hiks). Sekaligus kasihan karena mereka tidak pernah merasakan serunya membolak-balik RPUL untuk mencari tahu nama menteri, nama ibukota negara, plat nomor kendaraan daerah lain, dll. Padahal pasti mereka yang kasihan pada saya, yang tidak sadar kalau sudah tua.

Oke. Kembali ke penelusuran makam. Kami menemukan makam J.S. Badudu, seorang pakar bahasa Indonesia. Saya mengenal nama J.S. Badudu dalam rubrik/ artikel mengenai bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam majalah intisari edisi jadul tahun 80-an milik ayah saya. Ketika J.S. Badudu meninggal tahun 2016 lalu, barulah saya tahu bahwa selama ini beliau masih hidup dan tinggal di Bandung.

Makam para tokoh di TMP Cikutra 2

Makam Para Tokoh (2) | Foto: Uyung Achmar

Temuan makam berikutnya adalah Otje Djundjunan. Mantan walikota Bandung ini merupakan suami dari Popong Otje Djundjunan alias Ceu Popong yang kehilangan palu saat sidang DPR 2014 lalu. Ada pula makam Himawan Sutanto yang namanya dulu harus saya hafal sebagai Ketua Kwartir Nasional saat saya masih SD dan mengikuti lomba Pramuka. Ada pula makam Osa Maliki, salah satu ketua PNI, partai yang pecah kepemimpinan di saat-saat akhir orde lama Soekarno.

Baca: H.O.S Tjokroaminoto dan Pengaruhnya di Priangan

Mencari Lembong

Rasa kagum, bangga, dan gembira karena berhasil menemukan makam tokoh-tokoh terkenal selalu berubah menjadi haru dan pilu tiap melihat nisan tak bernama. Beberapa kali kami menemukan makam dengan tulisan ‘Tidak Dikenal’. Ada yang disebutkan nama kesatuannya, ada yang tidak. Tahun yang tertulis pada nisan berbeda-beda, antara 1945-1946, saat-saat revolusi fisik. Terbayang bagaimana perjuangan para pahlawan tak dikenal tersebut demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tanpa pamrih. Dan mereka gugur jauh dari keluarga, tanpa ada yang tahu namanya.

Terdapat pula deretan puluhan makam dengan tanggal kematian yang sama, yaitu 23 Januari 1950. Saat itu terjadi peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di mana sisa-sisa Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) Belanda unjuk kekuatan di Bandung. Banyak korban berjatuhan di pihak Tentara Negara Indonesia (TNI). Salah satunya Letkol Lembong, yang diabadikan menjadi nama jalan di simpang Braga. Patungnya juga terletak di halaman depan Museum Mandala Wangsit Siliwangi, Jalan Lembong. Lalu di manakah makam Lembong?

Deretan Makam Korban APRA | Foto: Uyung Achmar

Deretan Makam Korban APRA | Foto: Uyung Achmar

Semua makam dengan tanggal gugur sekitar 23 Januari 1950 telah saya telusuri dan nama Lembong tidak ada. Oh iya, Lembong kan orang Minahasa! Dan daritadi saya keliling di blok pemakaman muslim. Teringat saya pada teman SMA ada yang namanya Limbong tapi orang Batak, dan teman kantor saya ada yang namanya Palembangan tapi orang Toraja (semuanya nasrani dan namanya mirip-mirip walau beda wilayah). Pergilah saya mengelilingi seluruh blok makam kristiani, dan nama Lembong masih tidak ada.

Malam harinya barulah saya mendapat pencerahan. Dalam buku Jalan Lembong: Sketsa Gerilya Adolf Gustaaf Lembong (2016), Petrik Matanasi mengutip media Preangerbode 19 Juni 1950 bahwa atas permohonan keluarga, makam Lembong dan seorang ajudannya yang turut gugur telah dipindahkan dari Bandung ke pemakaman umum Menteng Pulo di Jakarta. Tidurlah saya dengan nyenyak.

Baca : Halim Perdanakusumah, Berjuang dari Udara

Bonus Kawilarang

Saya tidak kecewa karena gagal menemukan Lembong di TMP Cikutra. Ketika menelusuri blok pemakaman kristiani, saya justru menemukan yang lebih hebat lagi: makam Alex Evert Kawilarang. Saking senangnya, saya sampai setengah berteriak “Seriusan nih Kawilarang makamnya di sini?!” Harap maklum, saya baru tiga tahun tinggal di Bandung dan selama ini saya pikir beliau dimakamkan di Sulawesi Utara.

Makam A.E. Kawilarang | Foto: Uyung Achmar

Makam A.E. Kawilarang | Foto: Uyung Achmar

Kawilarang ini merupakan sosok hebat. Pimpinan saat menumpas pemberontakan-pemberontakan, menggagas berdirinya Kopassus, pernah jadi Pangdam di banyak tempat, dan gosipnya pernah nampar Soeharto. Untuk yang nampar Soeharto sih saya pribadi belum terlalu percaya, karena belum membaca/ mendengar pengakuan langsung dari Kawilarang ataupun saksi mata yang melihat. Ibarat hadits, sanad-nya masih lemah. Anggap saja desas-desus, seperti gosip bahwa seorang Jenderal dikabarkan telah dikebiri saat sedang tugas di Timor-Timur. Tidak jelas fakta kebenarannya. Dho’if. Hehe.

Btw, Kawilarang ini sebenarnya sudah pernah jadi Brigadir Jenderal. Namun karena keterlibatannya dalam PRRI/Permesta, pangkatnya diturunkan ketika beliau tobat. Itulah mengapa pangkat pada nisannya masih Kolonel.

Salah Duga

Di TMP Cikutra kemarin saya sempat senang melihat nisan bertuliskan Zulkifli Nasution. Saat itu saya mengingat nama tersebut sebagai Bapak Intelijen Indonesia. Saat sharing, saya ungkapkan temuan tersebut, dan segera disadarkan peserta ngaleut yang lain bahwa itu mah Zulkifli Lubis, bukan Nasution. Haha. Tengsin. Salah orang ternyata, beda nama.

Saya juga menemukan makam bernama Alfred Simanjuntak yang awalnya saya pikir adalah pencipta lagu ‘Bangun Pemudi Pemuda’. Ternyata beda orang, walau namanya sama. Ada juga beberapa makam yang namanya Toha/ Thoha/ Toa yang gugur di 1946. Tapi rasanya tidak mungkin bahwa orang tersebut adalah Mochammad Toha yang meledakkan gudang mesiu di Dayeuhkolot. Mochammad Toha yang jadi nama jalan kan korban ledakan gudang mesiu ya, sepertinya jenazahnya sulit untuk dimakamkan.

Saya juga baru tahu bahwa Jenderal Moestopo (ada kampusnya yang terkenal di sekitar Senayan, Jakarta) juga dimakamkan di TMP Cikutra. Ah, sayang kemarin luput dari pengamatan. Boleh jadi masih banyak pahlawan lokal maupun nasional lainnya yang bisa jadi ada di TMP Cikutra.

Saya pun masih penasaran mengenai sejarah dan lokasi makam para tokoh yang menjadi nama jalan di Bandung, seperti: Moh. Ramdhan, Dr. Djundjunan (apakah masih kerabat dengan Otje Djundjunan dan Ceu popong?), Surya Sumantri, PHH Mustofa, Holis, Nana Rohana, dll. Apabila pembaca sekalian mengetahui, sudilah kiranya untuk berbagi.

Hatur nuhun komunitas aleut.

Bacaan asyik terkait:

http://www.santijehannanda.com/2014/05/14/riwajat-penghidupan-dan-perdjoangan-douwes-dekker/

http://www.academia.edu/29255782/Jalan_Lembong_Sketsa_Gerilya_AG_Lembong

(uyg/upi)

 

Tinggalkan komentar