Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Malam ini, saya baru selesai membaca tulisan Chika Aldila tentang pengalamannya saat NgAleut Basa Bandung Halimunan. Tulisan ini menarik dan menggoda saya untuk menambah cerita tentang salah satu titik perjalanannya. Titik itu adalah mata air Ciguriang di Kebon Kawung.
Dalam tulisan Chika, pengguna mata air Ciguriang adalah warga Kebon Kawung yang akan disunat. Tapi sebetulnya ada satu pengguna Ciguriang lainnya yang bernama tukang dobi atau tukang binatu atau nama kerennya adalah tukang laundry.
Ada beberapa hal menarik tentang tukang dobi di mata air Ciguriang. Pertama, mereka baru bisa menggunakan mata air Ciguriang setelah membayar satu sen. Kedua, mereka bekerja pada malam hari hingga pagi hari. Jadi mereka obor dan satu sen sebelum bekerja di mata air Ciguriang.
Lalu, seperti apa cara mereka mencuci baju? Apa menggunakan mesin cuci atau mencuci dengan papan gilas?
Nah, cara kerja mereka tentunya berbeda dengan binatu sekarang. Saat itu, mereka mencuci dengan membantingkan baju ke batu. Sambil mencuci dan membanting baju, mereka kerap menyanyikan lagu-lagu berbahasa Sunda yang kadang-kadang terdengar oleh warga Kebon Kawung yang akan tidur.
Oh iya, tukang dobi di mata air Ciguriang berasal dari berbagai pelosok di kota Bandung. Mereka datang berombongan ke mata air Ciguriang. Walaupun demikian, ada warga asli Kebon Kawung yang telah turun-temurun menjadi tukang dobi di mata air Ciguriang.
Sayangnya, tempo kini tukang dobi di Ciguriang tinggal cerita saja. Sudah jarang orang Kebon Kawung melihat tukang dobi mencuci baju dan mendengar nyanyian tukang dobi di mata air Ciguriang pada malam hari.
Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2016/04/06/laundry-tempo-dulu-di-ciguriang/