Ke Bandung-lah Sukarno Akan Kembali…

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Kota Bandung memiliki keterikatan yang sangat erat di dalam diri seorang Sukarno. Ya, meskipun ia lahir dan besar di daerah Jawa Timur, namun di Bandung-lah dirinya ditempa hingga menjadi sosok yang kini kita kenal.

Di Kota Bandung ia memulai kiprah politiknya. Awalnya ia dikenal masyarkat sebagai orator yang ulung. Kemudian, Sukarno memperluas kiprahnya dengan membentuk Partai Nasional Indonesia di Kota Bandung. Partai ini kemudian meluas hingga ke hampir seluruh pelosok Pulau Jawa. Di Kota Bandung pula ia mendekam di balik jeruji besi karena dianggap Pemerintah Hindia Belanda melakukan makar melalui pergerakan politiknya. Di Bandung, Sukarno menjadi Sukarno yang kita kenal melalui banyak sumber literasi.

Tak hanya soal politik dan pergerakan nasional, di Bandung inilah ia menemukan sosok wanita yang menjadi cinta sejatinya. Wanita yang bisa menjadi ibu, kawan, sekaligus isteri yang memang betul-betul dibutuhkan seorang Sukarno. Wanita ini bernama Inggit Garnasih.

Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung pada 17 Februari 1888. Ia terlahir dengan nama Garnasih saja. Kata Inggit yang kemudian menyertai di depan namanya berasal dari jumlah uang seringgit. Diceritakan bahwa Garnasih kecil menjadi sosok yang dikasihi teman-temannya. Begitu pula ketika ia menjadi seorang gadis, ia adalah gadis tercantik di antara teman-temannya. Di antara mereka beredar kata-kata, “Mendapatkan senyuman dari Garnasih ibarat mendapat uang seringgit.”

Sukarno pertama kali bertemu dengan Inggit saat ia indekos di Bandung. Sukarno yang pada saat itu masih menjadi menantu mentornya, Tjokroaminoto, dikirim ke Bandung untuk mengenyam pendidikan di THS (sekarang ITB). Tjokro menitipkan Sukarno kepada Haji Sanusi, seorang kawan yang merupakan anggota Sarekat Islam dan merupakan suami Inggit Garnasih.

Seiring berjalannya waktu, muncul benih-benih cinta di antara keduanya. Retaknya situasi rumah tangga masing-masing pasangan ini membuat benih cinta mereka kian bersemi. Hubungan Sukarno dengan isterinya, Utari, kian renggang karena sejak awal memang tidak pernah ada cinta di antara keduanya. Sukarno menikahi Utari semata karena ingin mengasuh anak mentornya setelah Utari kehilangan ibunya. Sedangkan hubungan Inggit dengan Haji Sanusi juga semakin renggang setelah Haji Sanusi lebih sering di luar rumah untuk berjudi bilyar.

Akhirnya Sukarno mengambil sikap. Ia mengembalikan kembali Utari kepada Tjokroaminoto, untuk kemudian menikahi Inggit. Sukarno sendiri pula yang langsung mengutarakan maksudnya kepada Haji Sanusi untuk melangsungkan pernikahan dengan isterinya. Tanpa adanya drama, akhirnya Sanusi setuju dan kemudian pasangan yang terpaut tiga belas tahun ini menikah pada tanggal 24 Maret 1923.

inggit-10

Inggit dan Sukarno (foto: Mooibandoeng)

Meskipun tidak berlatar belakang pendidikan yang tinggi seperti Sukarno, namun Inggit mampu merebut hatinya. Di dalam diri Inggit-lah Sukarno menemukan perempuan yang selama ini ia cari: sosok ibu, teman, dan isteri sekaligus. Inggit tahu persis kapan harus menjadi teman berbicara saat Sukarno membutuhkan teman untuk berdiskusi, kapan harus menjadi sosok pengayom Sukarno yang sedang rapuh, dan kapan menjadi sosok istri idaman Sukarno.

Untuk menyokong cita-cita politik Sukarno, Inggit bahkan rela berkorban. Di awal perjuangan, saat Sukarno belum memiliki uang untuk menjalankan kiprah politiknya, Inggit-lah yang menjadi tulang punggung keluarga sekaligus penyandang dana dengan berjualan jamu, bedak, hingga menjahit. Saat Sukarno ditahan, Inggit berkorban lebih keras lagi. Ia menurunkan berat badannya agar bisa menyusupkan surat kabar untuk Sukarno.

Pasangan yang terlihat ideal ini pada akhirnya menemui keretakan. Setelah hampir 20 tahun menikah, keduanya belum juga memiliki keturunan. Sukarno yang usianya lebih muda dari Inggit menginginkan keturunan, sesuatu yang Inggit tak bisa berikan. Maka, ia ingin menjadikan Inggit sebagai istri pertamanya, lalu menikahi Fatmawati, perempuan yang ia anggap sebagai anak angkatnya saat diasingkan di Bengkulu, untuk memperoleh keturunan.

Inggit menolak rencana ini. Sejak awal ia memang sudah punya pendirian: Inggit lebih memilih untuk berpisah dibandingkan harus dimadu. Dengan berat hati, Sukarno akhirnya menceraikan Inggit di Jakarta dengan disaksikan Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kiai Haji Mas Mansur. Setelah keputusan itu diambil oleh Sukarno, Inggit merasa ia harus kembali ke Bandung, ke tempat asalnya.

Meski bercerai di tahun 1943 dan menikah sebanyak 7 kali setelahnya, rupanya Inggit masih memiliki tempat di hati Sukarno. Ya, sepertinya sejak bercerai, ia belum lagi menemukan cinta sejatinya, karena cinta sejatinya tetaplah Inggit Garnasih yang tinggal di Bandung.

“Dan aku kembali ke Bandung, kepada cintaku yang sejati…” – Sukarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

 

Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2015/12/11/ke-bandung-lah-sukarno-akan-kembali/

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s