Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)
Setiap Ngaleut bertema daerah Pecinan dengan Komunitas Aleut, saya selalu mendengar sebuah pertanyaan yang sama berulang kali dari beberapa peserta: Di mana sebetulnya daerah Pecinan di Kota Bandung? Kami memang sering mengidentikan Pecinan di Kota Bandung dengan daerah Pasar Baru dan Cibadak, namun belum pernah sekalipun mengatakan kedua daerah ini adalah Pecinan Kota Bandung. Alasannya mudah, yaitu karena butuh penelitian mendalam untuk menentukannya.
Nah, kebetulan Hari Minggu kemarin saya diundang sebagai perwakilan Komunitas Aleut dalam acara Wisata Kawasan Pecinan yang diadakan Bandung Heritage. Asiknya lagi, Pak Sugiri Kustedja menjadi interpreter perjalanan Wisata Kawasan Pecinan ini. Pak Sugiri adalah pegiat Bandung Heritage yang sangat perhatian dengan kebudayaan Tionghoa di Kota Bandung.
***
Apa sih sebetulnya Pecinan itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan Pecinan sebagai berikut:
pecinan/pe·ci·nan/ n tempat permukiman orang Cina: pusat-pusat perbelanjaan berdampingan dng rumah-rumah model — yg sumpek.
Berdasarkan beberapa literatur yang saya baca, setidaknya ada dua alasan terbentuknya Pecinan. Alasan pertama adalah alasan sosial. berupa keinginan sendiri masyarakat Tionghoa untuk hidup berkelompok karena adanya perasaan aman dan dapat saling bantu-membantu. Ini sering dikaitkan dengan sifat ekslusif orang Tionghoa, tapi tidak bisa digeneralisasi karena sifat ekslusif ada pada etnis dan bangsa apapun. Contohnya di Fujian, Tiongkok yang terdapat Kampung Arab dan di Shanghai yang terdapat Kampung Yahudi.
Ada juga alasan kedua, yaitu alasan politis. Inilah yang melatari munculnya Pecinan di Indonesia. Pada zaman Hindia Belanda, pemerintah lokal mengharuskan masyarakat Tionghoa dikonsentrasikan di wilayah-wilayah tertentu supaya lebih mudah diatur. Kebijakan ini dikenal dengan nama Wijkenstelsel. Pemerintah Hindia Belanda menganggap kedekatan kaum pribumi dengan para warga Tionghoa membahayakan keamanan mereka.
Pecinan umumnya dapat ditemui di daerah pesisir utara Pulau Jawa yang usianya cukup tua seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Hal tak ditemui di Bandung. Ini disebabkan karena pada tahun 1835 Pemerintah Hindia belanda menambahkan satu aturan di dalam Wijkenstelsel yang memungkinkan wijk kelompok etnis Tionghoa untuk tinggal di luar Chineeschekamp yang telah ditentukan. Dikarenakan usia Bandung pada saat itu masih sangat muda, peraturan pengkonsentrasian etnis Tionghoa hanya berlangsung sangat singkat dan peraturan baru keburu berlangsung.
***
Menurut penuturan Pak Sugiri kemarin, Kota Bandung saat ini sedang mencari Pecinan di Kota Bandung. Agak sulit memang, mengingat berdasarkan sejarahnya tidak ada batas tegas tentang Pecinan di Kota Bandung. Namun berdasarkan penelusuran Pak Sugiri, ada dua kawasan yang layak menjadi kandidat Pecinan Kota Bandung. Kedua Kawasan itu adalah:
Cibadak
Siapa tak kenal Cibadak ini. Di sekitar akhir tahun 1990-an, daerah ini terkenal dengan nama Cibadak Mal atau lebih lazim disebut Cimol. Tentu saja cimol yang dimaksud bukanlah makanan yang terbuat dari tepung singkong itu. Saat mendengar kata Mal, jangan bayangkan mal dengan udara sejuk dari AC dan aroma yang sedap di hidung, kondisinya tak seindah itu. Sentra penjualan baju dan celana bekas ini tak ubah layaknya pasar kaget di daerah Gasibu sebelum revitalisasi terakhir. Para pembeli harus berjibaku dan berdesakan demi mendapatkan satu atau dua potong baju. Namun berhubung harganya yang sangat miring, para pembeli tak menghiraukan kondisi tersebut.
Itu Cibadak yang dulu. Sekarang Cibadak sudah jauh lebih bersih dan nyaman. Cibadak kini dikenal sebagai salah satu sentra tanda mata undangan atau pengajian. Pembeli yang berbelanja di sini tak perlu lagi berjibaku dan berdesakan. Di salah satu sisi Cibadak kita bisa menemui dua gapura bergaya Tionghoa. Gapura ini dipasang dalam rangka penghias Cibadak Culinary Night pertama yang berlangsung bulan Februari 2014 silam.
Secara demografis, Cibadak layak untuk disebut sebagai Pecinan Kota Bandung. Diadakannya Cibadak Culinary Night yang bernuansa Tionghoa menjadi pertanda bahwa kawasan ini sudah dikenal warga Kota Bandung sebagai daerah Pecinan. Namun, betulkah demikian?
Menurut Pak Sugiri 95% penguni Cibadak merupakan etnis Tionghoa. Tentu saja ini sesuai dengan definisi Pecinan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal ini juga didukung dengan adanya tujuh kelenteng (tempat aktivitas dan rumah ibadah etnis Tionghoa) di sepanjang Jalan Cibadak. Namun menurut Pak Sugiri, terlepas dari dua fakta tersebut, Cibadak masih kurang pas untuk dijadikan sebagai Pecinan.
Satu alasan kuat Pak Sugiri mengenai ketidakcocokannya Cibadak untuk disebut sebagai Pecinan Kota Bandung adalah karena Cibadak merupakan kawasan yang masih muda sehingga tak ada peninggalan arsitektur lama. Kawasan ini baru mulai berkembang pasca kemerdekaan, yaitu pada sekitar tahun 1950-an. Kondisi ini tidak sesuai dengan kawasan Pecinan lain di pesisir utara Pulau Jawa yang terbentuk sejak era kolonial.
Jika Cibadak dirasa tidak cocok untuk dijadikan Pecinan, Pak Sugiri memiliki satu kawasan lain yang dirasa lebih cocok untuk disebut sebagai Pecinan Kota Bandung.
Kawasan Waringin
Kawasan ini terletak sedikit lebih barat dari Jl. Cibadak, tepatnya berada di sebelah selatan Pasar Andir. Dulunya, kawasan ini lebih dikenal dengan nama kawasan Yap Lun. Yap Lun, atau Yap Loen, adalah seorang pengusaha tekstil dan properti. Ia aktif pada banyak organisasi Tionghoa, THHK (pendidikan), Siang hwe (perdagangan), Hong Hoat Tong (paguyuban), dan anggota dewan regentschapsraad Bandoeng.
Yap Lun menjadi kaya raya ketika pecah Perang Dunia ke-1 (1914-1918). Ia kaya karena usaha impor kain dalam jumlah besar dari Jepang pada saat Eropa berperang sehingga Eropa tidak mampu menyuplai barang ke Hindia Belanda. Yap Lun menjadi developer Gg. Luna, di daerah jalan Waringin, Pasar Andir. Daerah itu disebut sebagai kompleks Yap-lun, Yaploenstraat, dan Yaploenplein. Di daerah itu terdapat sekitar 130 buah rowhouse ruko satu lantai khas Tionghoa.
Beberapa bangunan hasil karya Yap Lun masih bisa kita temukan dengan mudah di Jl. Gabus, Jl. Peda, Jl. Teri, dan sekitarnya. Penamaan jalan yang baru ini sempat mengusik pikiran saya. Mengapa harus diberi nama ikan asin? Namun setelah mulai memasuki kawasan ini, aroma yang ada langsung menjawab pertanyaan saya. Rupanya penamaan ikan asin diambil karena kawasan ini menjadi sentra penjualan ikan asin.
Sayangnya, kawasan ini lebih mirip seperti kota mati. Sepanjang mata memandang, tak ada satupun ruko yang buka selain dua tempat pangkas rambut pinggir jalan. Menurut Pak Sugiri, daerah ini menjadi daerah yang ditinggalkan karena secara tak lagi menguntungkan secara ekonomi. Kebanyakan bangunan di sini berubah fungsi menjadi gudang penyimpanan.
Dari aspek sejarah dan peninggalan, kawasan ini menurut Pak Sugiri sangat cocok untuk dijadikan Pecinan Kota Bandung. Namun, dibutuhkan upaya lebih untuk membangun kembali daerah ini. Selain karena sudah ditinggalkan penghuninya, daerah ini butuh perbaikan menyeluruh. Bangunan-bangunan yang dibangun Yap Lun butuh penanganan yang tak mudah agar bisa terus lestari. Begitu juga dengan lingkungan sekitar yang butuh perbaikan agar tak ada kemacetan dan bau yang menyengat hidung.
***
Kota Bandung kini sudah mempunyai dua opsi yang bisa dijadikan Pecinan. Setiap opsi memiliki nilai plus dan minus masing-masing. Cibadak memang tidak membutuhkan upaya ekstra dalam masalah perbaikan, namun daerah ini kurang cocok untuk dipilih menjadi Pecinan karena berusia terlalu muda. Waringin memang lebih cocok jika dilihat dari aspek sejarah dan peninggalan, namun dibutuhkan keseriusan dalam upaya membenahi kawasan ini.
Bagaimana dengan pembaca? Daerah mana yang lebih cocok untuk dijadikan Pecinan Kota Bandung?
Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2015/09/03/mencari-pecinan-kota-bandung/
Ping balik: Sisi Lain di Sekitar Pasar Andir | Take And Share
Ping balik: Sisi Lain di Sekitar Pasar Andir | Dunia Aleut!