Oleh: Hevi Abu Fauzan (@hevifauzan)
Sabtu, 20 Juni 2015, siang tadi saya mengunjungi rumah almarhum Haryoto Kunto bersama Komunitas Aleut. Rumah beliau yang terletak di Jalan H. Mesri cukup dekat dengan halaman dan parkiran Stasiun Bandung sebelah utara. Sekitar jam 10, kami tiba di rumah beliau. Sebuah rumah jaman dahulu yang mengalami perbaikan sebagai bagian dari pemeliharaan koleksi buku-buku almarhum yang akrab dipanggil Pak Hari itu.
Bagi saya pribadi, penulis yang tersohor dengan sebutan Kuncen Bandung tersebut adalah seorang inspirator. Belasan tahun yang lalu, Saya membaca beberapa tulisan beliau di Harian Pikiran Rakyat yang selalu bapak saya bawa setiap sore dari kantor. Dua buku terkenal beliau, yang menjadi acuan bagi mereka yang akan mempelajari Kota Bandung, pernah saya lalap masing-masing dalam satu malam. Saya ingat, di pertengahan 90-an, saya melalap satu buku Wajah Bandung Tempo Dulu di suatu malam minggu, setelah saya meminjamnya dari perpustakaan sekolah.
Di masa itu, saya lebih senang meminjam buku bergenre sejarah dan sastra lama. Selain dua buku tersebut, buku novel lama seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, dll, adalah buku yang sering saya pinjam dari perpustakaan. Buku yang saya pinjam tersebut sebenarnya memperlihatkan ketertarikan saya kepada dunia humaniora, yang dipandang sebelah mata oleh orang tua saya, dibanding dunia eksakta yang di level selanjutnya tidak saya fahami.
Tulisan-tulisan Pak Hari tentang Bandung jaman dahulu memang sangat mudah dicerna. Dengan menggunakan bahasa yang sederhana, pria yang meninggal pada tahun 1999 karena mengalami gagal ginjal itu bercerita tentang kehidupan sehari-hari warga Bandung, warga pendatang, dan keunikannya. Dalam buku-bukunya, aroma kehidupan Kota Bandung tercium sangat dekat, karena masih dapat kita temui sekarang di beberapa sudut kota.
Lupakan saja buku-buku sejarah yang sulit untuk dipelajari karena ditulis sangat kaku dengan mencantumkan tanggal, tempat, dll-nya. Buku pak Hari menjadikan tanggal dan tahun sebagai pemanis saja. Selebihnya, kehidupan sosial masyarakat Bandung mengalir seperti sungai yang mencari muara.
Teman-teman saya yang mencintai sejarah Kota Bandung yang saya temui, misalnya dari Komunitas Aleut, juga terinspirasi oleh buku-buku Pak Hari. Bahkan, seperti yang saya dengar, keberadaan Aleut sendiri digagas oleh buku-buku beliau yang belum ada tandingannya dalam menerangkan kehidupan Kota Bandung, terutama pada masa Hindia Belanda masih berkuasa itu.
Dua buku itu membuka wawasan saya akan sejarah Bandung tempo dulu dan membuat saya pribadi kemudian lebih mencintai Kota Bandung. Terakhir-terakhir, saya memutuskan untuk mengambil program master untuk studi sejarah Kebudayaan Islam di Universitas Islam Negeri Bandung. Langkah saya untuk suka pada sejarah salah satunya diwarnai oleh buku dan tulisan-tulisan Pak Hari yang saya baca.
Mungkin, ada ratusan orang di luar sana yang mengalami hal yang sama, terinspirasi tulisan Pak Hari.