Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)
Judulnya memang mirip dengan lagu dari Efek Rumah Kaca, namun jangan bayangkan tulisan saya ini isinya sama dengan apa yang Cholil nyanyikan. Saya memilih judul ini karena kebetulan saja berima. Suatu penelitian yang saya lihat di acara ‘How To Win’ di History Channel menyebutkan bahwa sebuah kalimat yang berima jauh lebih menarik dibanding kalimat tak berima. Unik memang, tapi untuk diri saya sendiri penelitian itu ada benarnya juga.
Mari tinggalkan masalah pemilihan judul dan rima. Bulan Puasa Ramadhan seperti ini bagi saya identik dengan kenakalan remaja (dan juga anak-anak). Menurut Haryoto Kunto dalam Ramadhan di Priangan, bulan puasa di masa itu biasanya diisi beberapa remaja dengan gapleh (judi), membuat keributan (dengan petasan), dan kebut-kebutan. Belakangan ini sudah jarang sekali saya temukan ketiganya di Kota Bandung.
Seiring dengan dilarangnya peredaran petasan di Indonesia, jarang sekali saya dengar ledakan ‘mesiu kecil’ ini di daerah dekat komplek. Selain iklan sirup Marjan, dulu petasan juga jadi pertanda bahwa bulan Ramadhan sudah dekat. Saya tak tahu pasti mengapa petasan ini bisa sampai diidentikan dengan bulan puasa. Meskipun sebetulnya dijual juga di luar bulan puasa, tapi puncak penjualan petasan justru terjadi di bulan penuh berkah ini.
Saya ingat bagaimana dengan mudahnya anak kecil mendapatkan petasan. Dengan merogoh kocek Rp 2.000,00 hingga Rp 5.000,00, seorang anak kecil bisa mendapatkan segepok petasan korek. Disebut petasan korek karena untuk menyalakannya cukup menggeseknya ke tepi kotak korek api kayu. Petasan ini dimainkan dengan metode “bakar-tiup-lempar”. Segera setelah petasan dinyalakan (bakar), tiup ujungnya, dan segera lempar. Kesenangan akan hadir bagi mereka yang bermain, kekesalan muncul bagi mereka yang merasa terganggu akibat suara ledakan yang cukup memekakkan telinga.
Saat kecil saya jarang melihat judi gapleh di bulan puasa, tapi berbeda ceritanya dengan kebut-kebutan. Dulu di waktu ngabuburit, daerah Monju (Monumen Perjuangan, sekarang Monumen Perjuangan Rakyat) disulap menjadi trek dadakan oleh para pembalap liar. Atraksi ini tak hanya menyita perhatian warga Bandung yang tinggal di dekat Monju. Saat saya masih tinggal dengan almh. Eyang, saya ingat beberapa anak kost yang tinggal di kosan beliau pergi ngabuburit ke Monju. Abang-abang ini tak pernah bilang mau apa ke Monju saat ditanya oleh Eyang, tapi saya pernah curi dengar kalau mereka mau nonton balap liar di sana.
***
Mengutip apa yang Zen RS katakan di “Mengaji Buku Ramadhan di Priangan” bersama Komunitas Aleut kemarin, bulan Ramadhan adalah bulan di mana banyak hal lebih ditoleransi. Dalam hal ini, toleransi juga berlaku untuk kenakalan anak-anak. Entah apa yang mendasarinya, mungkin tolernasi akan kenakalan ini terjadi karena para orang tua teringat akan kenakalan yang dulu mereka lakukan di bulan puasa saat masih jadi anak-anak.
Haryoto Kunto dalam buku Ramadhan di Priangan menyebut anak-anak yang nakal ini sebagai ‘setan-setan kecil’. Meskipun membuat kesal mereka yang jadi korban, namun kenakalan ini membuat pembaca Ramadhan di Priangan terhibur. ‘Setan-setan kecil’ ini beraksi di tengah solat Tarawih di sebuah surau yang lantainya terbuat dari susunan bambu. Saat imam sedang memimpin solat, anak-anak nakal ini bergegas ke kolong surau untuk menusuk-nusuk kaki imam dengan lidi kecil. Kontan imam kegelian dan bacaan solatnya terganggu.
Menurut Bapak, sebagai salah satu pelaku di masa kecilnya, kenakalan yang diceritakan oleh Haryoto Kunto di atas disebut dengan nama heureuy tajug (bercandaan surau). Seperti namanya, kenakalan ini sering terjadi di setiap tajug. Kenakalan lain yang sering dilakukan di heureuy tajug lainnya adalah menyembunyikan pemukul bedug dan melempar petasan ke kolong tajug.
Di masa kecil saya di Bandung, tak pernah saya menemukan tajug atau masjid yang berdiri dengan konstruksi bambu ataupun tajug atau masjid yang bergantung pada bedug sebagai penanda waktu solat. Praktis cerita Haryoto Kunto dan Bapak hanya menjadi sekedar dongeng saja. Apakah itu menghalangi kenakalan anak-anak di masa saya? Tentu tidak. Zaman boleh berganti, tapi kenakalan terus berlanjut. Jika dulu anak kecil menyembunyikan pemukul bedug, di zaman saya, mikrofon masjid lah yang disembunyikan. Hehehe…
***
Kenakalan anak kecil dan remaja di bulan puasa pasti akan membuat kesal para korbannya. Namun ambil saja hikmah positifnya, bahwa kekesalan itu akan menjadi sebuah cerita menghibur bagi generasi berikutnya. Tanpa kenakalan, mungkin puasa hanya akan menjadi rutinitas semata bagi mereka yang sedang belajar berpuasa. Tak akan lagi ada kenangan yang bisa diceritakan untuk generasi berikutnya.
Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2015/06/23/kenakalan-remaja-di-bulan-puasa/