Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@SadnessSystem)
Gimmick : A trick or device intended to attract attention, publicity, or trade (oxforddictionaries.com)
Beberapa waktu yang lalu, Walikota Bandung sempat dikritik karena dianggap hanya menjalankan gimmick untuk menunjukan kesuksesannya. Gimmick yang dimaksud adalah kebijakan-kebijakan yang bersifat penampakan luar, bukan bersifat esensial. Hal ini menarik untuk dicermati, karena di era demokrasi ini pemimpin merupakan cerminan dari rakyatnya. Apabila walikota Bandung adalah jago gimmick, begitu pula dengan rakyat Bandung itu sendiri.
Bandung, berbeda dengan daerah lain seperti Yogyakarta atau Bali, tidak memiliki akar budaya yang kuat karena relatif masih berusia sangat muda. Kota Bandung baru berdiri sekitar 200 tahun yang lalu (tahun 1810). Itupun kurang tepat karena resminya Bandung masih berstatus kabupaten hingga diresmikan menjadi gemeente (kotamadya) pada tahun 1906. Sejak berstatus gemeente itulah Bandung mulai membangun identitasnya sebagai “Kota Eropa”. Tujuannya adalah untuk menarik para pensiunan pegawai Eropa dari berbagai kota di Nusantara untuk menghabiskan masa tuanya di Bandung alih-alih pulang ke kampung halamannya di Eropa. Agar para pensiunan itu merasa “tinggal di rumah sendiri”, Bandung dipermak sedemikian rupa agar lingkungannya menyerupai lingkungan Eropa. Usaha ini cukup berhasil karena nantinya selain mendapat julukan “Parijs van Java”, Bandung juga mendapat julukan “de Stad der Gepensioneerden” (Kota Pensiunan).
“Nederlanders, mengapa pulang ke Eropa? Tetaplah tinggal di Hindia! Kalian yang sudah pulang, kembalilah dan bermukimlah di Bandung!” (Walikota Bandung W. Kuhr dalam Majalah Mooibandoeng)
Hasilnya lihatlah lingkungan Bandung bagian utara yang tertata rapih dengan villa-villanya yang indah dan taman-tamannya yang semarak layaknya kota Paris di Pulau Jawa. Tapi jangan salah, karena semua itu hanya gimmick semata. Di balik bangunan-bangunan yang indah dan taman-taman itu adalah perkampungan-perkampungan pribumi yang kondisinya mengenaskan. Suasana perkampungan ini kerap luput dari perhatian karena pemerintah kolonial hanya mengangkat citra “keberhasilan” pembangunan mereka dibandingkan keadaan yang sebenarnya. Alhasil orang-orang sekarang seringkali berkata “aduh waas” ketika melihat foto-foto keindahan Bandung Tempo Doeloe, padahal kalau mereka hidup di masa tersebut mereka tidak akan tinggal di bangunan-bangunan megah itu melainkan di gubuk-gubuk non-permanen di perkampungan.
Oke jadi pemerintah kolonial sudah menjalankan kebijakan gimmick di Bandung, lalu bagaimana dengan rakyatnya? Well, gimmick tentu saja tidak selalu buruk. Bahkan gimmick sangat baik untuk kegiatan bisnis. Sebagai contoh, seorang reporter melaporkan penyelidikannya tentang kehidupan wanita Bandung dalam Koran De Sumatra Post tanggal 13 Maret 1914 sebagai berikut:
Di dalam rumah bambu itu sang wanita hidup dalam kemiskinan, walau memiliki pakaian bagus dan perhiasan. Ia tidak memiliki suami dan pekerjaan tetap. Pekerjaan sehari-harinya adalah bergaya dan merayu laki-laki.
Seorang wanita miskin yang tinggal dalam rumah gubuk, memiliki pakaian-pakaian bagus dan perhiasan! Bukankah itu suatu gimmick? Ternyata sejak baheula wanita Bandung memang terkenal jagonya gimmick, eh maksudnya bersolek. Tapi tidak cuma wanita Bandung saja, lihatlah orang-orang berpendapatan kecil yang nekat mencicil kendaraan mewah, makan-minum di café, berbelanja pakaian serta gadget mewah, dan lain-lain. Peduli amat hutang menumpuk, yang penting indeks kebahagiaan meningkat. Gaya hidup seperti ini memang tidak bisa digeneralisasi pada orang Bandung semata, tapi kurang lebih keadaannya seperti itu.
Masih kurang contoh praktik gimmick yang lain? Perhatikanlah perbedaan antara Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Orang-orang Yogyakarta atau Bali yang memiliki akar budaya kuat melakukan keseharian mereka tanpa motivasi lain kecuali menjalankan tradisi. Didatangi turis atau tidak, kegiatan dalam Keraton atau peribadatan di pura tetap berlangsung. Berbeda dengan di Bandung, penerapan budaya di sini baru sekadar pada kulit atau penampakan saja. Para pemain angklung atau permainan anak-anak tradisional hanya memainkan aksinya apabila didatangi turis. Nama-nama jalan di Bandung ditulis dengan aksara Sunda, tapi mungkin hanya 0,01 % warga Bandung yang memahami tulisan tersebut. Bahkan pada hari tertentu pemerintah harus memaksa warganya menggunakan pakaian dan bahasa tradisional. Berbeda dengan di Yogyakarta misalnya, dimana kita bisa menemukan tukang becak berpakaian lurik atau pelajar yang menggunakan bahasa Jawa hampir setiap harinya. Lain lagi apabila di Bali pohon-pohon diberi sarung karena memang adat mereka memuliakan pohon. Di Bandung, pohon diberi sarung karena… ya mungkin agar pohonnya tidak masuk angin.
Masih banyak contoh gimmick lainnya. Misalnya soal istilah “kota kreatif”. Apabila menempelkan TV LCD pada belakang angkot merupakan indikator kota kreatif, maka Bandung akan mendapat predikat sebagai kota paling kreatif sedunia. Memang ada beberapa komunitas dan tokoh kreatif di Bandung – termasuk walikota Bandung yang menurut saya sangat kreatif. Tapi untuk menyebut Bandung sebagai kota kreatif karena sebagian kecil warganya pintar bermain musik, membuat pakaian, atau mengolah bahan aci menjadi berbagai macam panganan, tampaknya kota ini perlu bekerja lebih keras lagi. Gimmick lainnya adalah istilah “hidup adalah udunan”. Ketika berbagai proyek dalam kota yang didanai uang CSR disebut sebagai udunan, maka itu adalah penyesatan. Adalah wajar sekali perusahaan-perusahaan besar yang berinvestasi di Bandung memberikan kontribusi pada lingkungan. Masa udah nyedot air tanah Bandung atau memberikan polusi udara tapi nggak memberikan kontribusi apa-apa buat Bandung? Tapi mbok ya kontribusinya jangan disebut sebagai udunan karena sejatinya hal itu merupakan kewajiban.
Oh iya masih ada satu contoh gimmick lainnya. Dengan adanya media sosial sekarang ini, tampaknya tidak lengkap rasanya membersihkan selokan, melakukan kerja bakti, atau mengikuti kegiatan pemerintah tanpa mempublishnya ke media sosial dan… jangan lupa me-mention walikota Bandung. Untung-untung di-retweet oleh beliau.
Well… Intinya jujurlah pada diri sendiri. Apabila gimmick ini sudah menjadi bagian dari identitas kota Bandung ya tinggal diakui saja, tidak perlu dianggap sebagai dosa besar. Gimmick tidak perlu selalu diartikan dengan negatif, bahkan di sisi lain sangat bagus untuk suasana bisnis… Kedinamisan dan ke-gimmick-an adalah Bandung banget. Sekian dari saya, salam pangsit!
Like this.. Gahahahaha.. Emang sudah menjadi bagian dr budaya ya Yan..
Kalimat “karena sebagian kecil warganya pintar bermain musik, membuat pakaian.. ” kok kayak merendahkan sekali ya? Padahal udah terbukti Bandung jadi salah satu panutan musik indie maupun mainstream di Indonesia sejak dulu. Rock Indonesia awal berkembang di Bandung, band Indie pertamakali ada di Bandung (PasBand), komunitas musik yang paling bergairah se Indonesia juga rasanya hanya di Bandung. Yaah tapi ini hanya opini saja.
Kayaknya nggak ada yg salah dalam penulisan dan sama sekali tidak merendahkan,
Sebagian kecil adalah banyak (untuk ukuran kota)
Kalo disebut sebagian besar, musisi dan lain-lain yg disebut diatas harusnya jumlahnya lebih dari 50 persen warga bandung
Tulisan nu berhasil dari SadnessSystem,sangat thought provocative! tentunya dengan beberapa poin ketidaksetujuan,namun saya di bukan ingin mengungkapkan hal itu namun meminta penulis mem-follow up tulisan ini dengan seri tulisan yang berkaitan misalnya:
1.Komparasi kota Bandung sebagai “Kota Kreatif” dengan kota-kota kreatif anu mendunial seperti Berlin&Melbourne atau tidak usah terlalu jauh:Bali dan Jogja secara menyeluruh.Saya rasa hal tersebut menjadi sangat penting sebab mayoritas orang Bandung sendiri tidak mengetahui secara “pasti” mengapa kota ini disebut kota kreatif dan tidak mengetahui sejarah dan dinamika kota kreatif yang sebenarnya.
2.Membedah sejarah aktivitas/industri kreatif Bandung (ulah sejarah jaman hindia belanda wae atuh)
Salut untuk komunitas aleut sebagai komunitas belajar,terutama sejarah,yang menghasilkan buah-buah pemikiran dan pil-pil pencerahan.Moga-moga we kota Bandung tidak terus bergulir menjadikan gimmick sebagai budayanya tetapi akhirna bisa menumbuhkan akar budaya nu panceg jeung teu bobodoan
Menurut saya, tidak ada yang salah dengan perkataan tsb. Dr jutaan warga Bandung, berapa persen yg musisi dan pembuat pakaian?.
Juga jangan terlalu sempit soal musik. Bandung memang bergairah. Tapi Jogja, Jakarta, Malang juga sama bergairahnya.
Berapa persen yang kreatif? Saya tidak punya statistiknya. Dan mungkin karena saya belum terlalu banyak bergaul dengan komunitas di tempat lain (Yogya, Bali, dll.) maka saya bisa bilang di Bandung banyak orang yang kreatif. Saya saja membina belasan mahasiswa yang kreatif dengan usahanya masing-masing. Seriously.
Maap saya nulisnya yang paling bergairah menurut saya, bukan yang bergairah. Kalo yang bergairah memang banyak, di pulau Sumatera pun sangat bergairah.
Alah wong baju ama musiknya juga banyakan niru
Masih ada ga sekarang? Band top bdg masih band yang sama dr 15 tahun lalu.
Suka tulisan ini.
gimmick yang bisa diamati di bandung ini adalah membuat”perhatian” untuk menutup perhatian pada hal lain yang lebih mendasar. ngga apa-apa, asal index of happiness naik 🙂
Permisi, kebetulan tau sedikit yah, hehehe.
– Pohon yang disarungin itu dalam rangka ultah Bandung. Disarungin biar nga ngerusak pohonnya.
“Jadi pohon disarungin itu dalam rangka ulang tahun Bandung. Ultah di zaman saya harus lebih meriah, interaktif, dan dekoratif. Kita pakai bendera Kota Bandung yang warnanya hijau, kuning, biru,” ucap Wali Kota Bandung Ridwan Kamil di Pendopo Kota Bandung Jalan Dalem Kaum, Kamis (28/8/2014). http://news.detik.com/bandung/read/2014/08/28/172840/2675332/486/sambut-hut-bandung-ke-204-pohon-akan-disarungi-kain-bendera
– Soal angkotnya, mas pernah naik ke dalamnya nga? Saya pernah, kebetulan salah satu angkot yg saya naiki waktu itu ada LCD-nya. Tp nga cuma LCD di belakang, loh. Di dalam angkot ada LCD :p jadi para penumpang bisa nonton selama dibawa sampai ke tujuan~ Bisa… nge-charge HP juga disediain cuma-cuma :p dan wifi gratis :p (dan tempat sampah, bahkan ada angkot berkarpet). Emang masih uji coba, dan ga semua angkot (kebetulan banget ajah naik) dan isi dari LCD mayoritas masi either penjelasan pemKot tentang kebijakan, ajakan agar tidak membuang sampah sembarangan atau iklan dari usaha masyarakat sekitar. http://news.detik.com/read/2014/12/18/125904/2781284/486/keren-angkot-mang-abud-di-bandung-dipasang-internet-gratis-dan-cctv
Buat ngelurusin aja sih :p Kalo soal gimmick lainnya, wah, kurang tau yah
Kira-kira kenapa ya “Index of Happiness” itu harus tinggi? Apakah akan membuat kriminalitas turun, masyarakat lebih mudah diatur, kreatifitas dan gairah hidup meningkat?
Singkat, padat, dan jelas.
Dipenuhi dengan sejarah dan bukti aktual, penulis cukup cerdas dalam membangun argumen yang menyimpulkan
“Bandung is a gimmick city”.
Bagus tulisannya mas, saya apresiasi untuk pemikiran yang jujur dan objektif tanpa terlihat menjatuhkan siapapun.
Salam
Enya kitu pisan … !!! Hade lah tulas-tulisna…
Boleh jadi justru cara spt ini yg bs menumbuhkan smangat menggunakan budaya asliny sbg identitas di tengah memudarny keminatan warga atas budayanya sndr. Anyway, bgs jg tulisanny brow
Entah saya yang masih ngantuk karena ketika membaca tulisan ini saya baru saja bangun tidur tetapi sejauh pemahaman saya nampaknya tulisan ini hanya bentuk negatif dari sebuah gimmick di kota Bandung. Kenyataannya gimmick yang dilakukan bisa membawa citra kota Bandung yang beberapa tahun lalu sempat memilki julukan kota sampah menjadi kota yang jauh lebih indah sekarang dan diperbincangkan di berbagai media baik konvesional maupun internet di seluruh Indonesia. Ada hal dasar yang menjadi isu utama yang kedepannya akan menjadi modal kuat untuk membangun kota Bandung, yaitu sense of belonging warga Bandung terhadap kotanya. Hal ini terlihat dari kotornya kota Bandung,kerusakan fasilitas2 kota. Dengan adanya Gimmick2 membuat keinginan warga Bandung untuk peduli kembali menguat termasuk salah satunya tulisan-tulisan berupa saran dan kritik yang menginginkan kota Bandung menjadi lebih baik. Hal dasar lainnya seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi juga tetap harus diperhatikan dan seperti yang kita tahu itu merupakan problem yang komplex dimana butuh waktu yang panjang untuk menyelesaikannya. Jadi apa harus nunggu kota Bandung makmur dan maju dulu baru bisa “didandani”?
Setuju sama akang ini
Analisanya menarik. Beberapa fakta terdengar benar adanya, tetapi juga terkesan terlalu sinistik.
Kritik dan cara pandang yang cerdas begini sangat perlu sebenarnya untuk koreksi dan introspeksi. Tetapi lebih bagus sisi motivasinya untuk berbuat lebih baik juga perlu ditekankan, sehingga pembaca yang sifatnya cepat ‘gumunan’ (cepat-cepat mengagumi) sesuatu yang menggelitik juga tahu mana yang lebih baik, dan tidak sekedar berhenti pada sikap “halaahhh gitu aja ternyata…” Tetapi juga tergerak untuk sampai pada sikap, “Harusnya begini lho…”
Cheers 🙂
3 tahun lalu sempat ke bandung dan numpang parkir di sabuga karena bawa rombongan kunjungan ke ITB. Masya Allah..parkirnya full dengan mobil-mobil mewah kirain ada acara apaan? sampe beberapa bis rombongan gak bisa keluar karena terlanjur parkir di dalam. Ternyata lagi ada acara bursa kerja disana. Aneh sih…pada bawa mobil mewah tapi buat cari kerja..
apa korelasinya masbro dengan topik diatas
Duh, Bandung. Trying too hard to impress. Mudah-mudahan pak walkot gak lupa masi banyak sisi bandung yang amburadul. Kuliah di bandung dan merasakan sendiri bandung yang macet, kumuh, dan sisi lainnya yang berantakan. Belom saya nulis juga di blog tentang bandros (bandung tour on bus) yang sangat berbahaya dan tak layak beroperasi menurut saya.
Ini bagus sekali.. Hahahaha..
Funny and fun on its own way
“….lihatlah orang-orang berpendapatan kecil yang nekat mencicil kendaraan mewah, makan-minum di café, berbelanja pakaian serta gadget mewah, dan lain-lain. Peduli amat hutang menumpuk, yang penting indeks kebahagiaan meningkat. Gaya hidup seperti ini memang tidak bisa digeneralisasi pada orang Bandung semata, tapi kurang lebih keadaannya seperti itu.” <– Kalau ini sepertinya bukan monopoli warga Bandung. Di mana-mana ada yang seperti ini. Di Jakarta sepertinya malah lebih banyak.
Saya dari Papua, numpang kuliah di Bandung selama tiga tahun. Saya sangat mencintai kota ini, penuh kesan. Ada satu hal yang paling berkesan bagi saya adalah setiap shalat di musholla Ciwalk yang terletak di parkiran, dari situ kita bisa lihat menghampar perumahan warga yang berdesak-desakan di pinggir kali dan di sepanjang lereng di belakang gedung Ciwalk yang semakin megah, sungguh kontras, kemegahan dengan kelusuhan. Ini hanya contoh satu tempat, masih banyak tempat serupa di seluruh penjuru kota Bandung.
Saya setuju dengan tulisan ini. Harapan saya, perbaikan ‘penampilan luarnya’ hendaknya dibarengi dengan perbaikan substansial berupa kesejahteraan masyarakat lokal. Atau paling tidak membuka peluang bagi masyarakat Bandung untuk berkembang dengan tidak melupakan jati dirinya. Semoga.
-Salam rindu dari Papua-
Soal kontras dan ketimpangan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat INDONESIA nampak masih membutuhkan perjuangan sungguh2 dan usaha yang pantang putus asa. Terus berjuang, terus berusaha, MERDEKA LAHIR BATIN.
Keren artikelnya, emang bener ini yg saya rasakan setelah 2 tahun tinggal dibandung, secara visual kota ini keliatan “wah” banget ketimbang kota kelahiran saya yogyakarta. Tapi tetap saja ada yang janggal.
wahhh..tepat ini 😀 trotoar granit (licin) namun yg penting keren…halte “brazil” yg hanya di copy paste dsbnya…..gimmick city memang benar :p
Namanya juga jualan. Yang and pertama adalah impresi. Perbaikan yang fundamental bisa sambil jalan.
Satu lagi tentang pembangunan fundamental adalah, seberapa akur PemKot dengan DPRD. Sering dengar proyek2 Bandung didanai CSR swasta dan BUMN/BUMD?. Sebenarnya yang harus penulis cari tahu adalah berapa budget pembangunan kota Bandung.
Jika telah diketahui jumlahnya, dan ternyata memang tidak mencukupi, maka segala gimmick tertulis memang perlu adanya. Dalam rangka memukau calon investor.
Walau tulisan ini ada benarnya, tapi perguruan tinggi teknologi dan seni muncul pertama di Bandung. Setuju bahwa Bandung diciptakan sebagai sebuah kota bernuansa modern. Jadi kalo dijuluki creative city ya ngga salah. Hanya penerapannya yang masih terasa gimmick.
“Hasilnya lihatlah lingkungan Bandung bagian utara yang tertata rapih dengan villa-villanya yang indah dan taman-tamannya yang semarak layaknya kota Paris di Pulau Jawa. Tapi jangan salah, karena semua itu hanya gimmick semata. ” it’s called kesenjangan sosial, dude. Dan ingat itu bukan cuma marak di Bandung, they are all over Indonesia. You should’ve known better.
“Tapi untuk menyebut Bandung sebagai kota kreatif karena sebagian kecil warganya pintar bermain musik, membuat pakaian, atau mengolah bahan aci menjadi berbagai macam panganan,” –iya, kenapa kesannya merendahkan sekali ya? Seolah itu hal yang kalah penting dari ilmu-ilmu lain seperti ILMU JURNALISME SINIS seperti tulisan bapak disini.
Sejujurnya saya setuju dengan Pak Ridwan Kamil dimana beliau dan tim nya berbondong2 membangun taman-taman disekitar Bandung. Tapi bukan dia, siapa lagi? Siapa lagi yang bisa berpikir visioner (dan punya power unt merealisasikannya) kalau “kota yang indah akan membuat warganya bahagia. Dan jika warganya bahagia, kreatifitas akan meningkat therefore produktifitas pun akan meningkat” how about that, Mr? Emang kamu mau tinggal di kota acak-adut? Apalagi berwisata? Gue sih ogah. Sorry.
Lagi pula beliau juga bukan cuma membangun taman-taman cantik di sekitar Bandung. Pemkot pun berencana membangun 11 apartemen rakyat yang affordable sehingga penduduk yang kurang beruntung bisa mendapat tempat tinggal yang lebih layak dari gubuk-gubuk kumuh seperti yang anda sebutkan tadi. Ya mudah-mudahan eksekusinya lancar, kita doakan saja. Saya baru tahu satu itu, mungkin ada lbh banyak lagi proyek-proyek serupa yang bukan cuma gimmick.
Yups jgn ke bandung, sbg warga bandung saya juga sudah tidak butuh wisatawan yg bikin kota macet, so like tulisan ini
Tulisan ini juga gimmick kok.. ga usah dibawa terlalu serius sih…
thats the way it is.. Keun we pupujieun as long its good mah.. ge pan sloganna mayorna ge ATM (Amati, Tiru, Modifikasi),. tiap kota memiliki kulturnya sendiri, Bandung kota kecil yang dipenuhi oleh budak ngora nu teu daek cicing,, kombinasi kuat antara budaya pop culture dan budaya tradisional sunda yg tersisihkan.. Tidak terlalu hiruk pikuk seperti jakarta dan tidak terlalu tradisional seperti kota lain.. Tp memang msh berupa kemasan atau packaging yg dipoles.. (A trick intended to attract attention) karena eksplisitnya mah pa wali lagi nge-SALE Bandung, so he promote..
Ceuk sayah mah klo mau fairplay cekidot ajah gmn apakah Janji-Janji Kampanye dapat terealisasi as what he promises? ceuk sunda na mah “rek kumaha2 ge jelema mah pasti diomongkeun, hade ku hadena..goreng ku gorengna” (as long u r human being, no matter what you do, good or bad it must be talking-talking by people surround you haha..
saran saya mah,. jgn terlalu mercusuar kang.. mulutmu harimaumu.. step by step aj,, uh bibeh!!! ;p
di kota sekecil bandung dengan penduduk yang saya pikir luar biasa padatnya, butuh untuk menyatukan visi dan misi agar menjaga kota menjadi lebih baik, maka dari itu “gimmick” tercipta, bagi anda gimmick bagi saya sebagai warga bandung itu adalah harta bersama yang memang dibuat dari uang pajak kita, agar kita ikut menjaganya
“..Ternyata sejak baheula wanita Bandung memang terkenal jagonya gimmick, eh maksudnya bersolek…” tah mun ieu rumasa .sepertinya bukan mojang bandung saja, tetapi mojang dan jajaka priangan. saya kuliah di yogya(th 97). kost saya dulu d yogya,penghuninya 2 orang sunda (saya dan mojang tasik), 18 org non sunda.awal2 nge kost yg pertama dibeli 2 orang sunda:lemari baju beserta isinya nyaris penuh serta tape/radio. yg pertama dibeli org non sunda : komputer, motor , baju seadanya masih di travel bag,ada yg sampe lulus gak beli lemari baju :). tos tradisiii , pariasi penduduk indonesia
Sebagai bentuk tulisan opini, saya menyukai tulisan ini. Namun, rasanya masih jauh dari kategori faktual. Berikut alasan saya.
“Bandung, berbeda dengan daerah lain seperti Yogyakarta atau Bali, tidak memiliki akar budaya yang kuat karena relatif masih berusia sangat muda.” – Budaya itu kan berasal dari masyarakat. Dalam konteks Kota Bandung, budaya yang dominan adalah budaya Sunda. Karena itu, argumen penulis tentu saja salah karena menilai Kota Bandung tidak memiliki akar yang kuat hanya karena usia kotanya relatif muda dibanding dua kota lainnya (bahkan Bali itu bukan kota, melainkan pulau dan ini membuat perbandingan penulis tidak ‘apple-to-apple’). Padahal, masyarakat dan budaya Sunda yang dominan memengaruhi masyarakat Kota Bandung telah ada lebih lama dari keberadaan kotanya.
“Di balik bangunan-bangunan yang indah dan taman-taman itu adalah perkampungan-perkampungan pribumi yang kondisinya mengenaskan.” – Pertama, wajar saja jika kondisi pribumi saat itu ‘mengenaskan’ karena tentu saja dalam suasana penjajahan, pribumi dipinggirkan oleh masyarakat kolonial. Kedua, apabila dibawa ke konteks Kota Bandung hari ini, masalah pemukiman kumuh bukanlah masalah eksklusif Kota Bandung. Sebut saja kota-kota besar di Indonesia dan bahkan dunia, akan selalu ada masalah kesenjangan dan pemukiman kumuh. Tidak adil menuduh Bandung melakukan gimmick karena memiliki pemukiman kumuh/kesenjangan ketika seluruh kota lainnya juga menghadapi masalah yang sama.
“Seorang wanita miskin yang tinggal dalam rumah gubuk, memiliki pakaian-pakaian bagus dan perhiasan! Bukankah itu suatu gimmick? Ternyata sejak baheula wanita Bandung memang terkenal jagonya gimmick, eh maksudnya bersolek.” – Bahwa sejak dahulu prostitusi sudah ada di Indonesia, termasuk di Bandung (yang terkenal dengan istilah ‘mojang’-nya dan juga sebutan kota ‘kembang’) memang tidak bisa dielakkan. Namun, lagi-lagi ini bukan masalah yang hanya terjadi di Kota Bandung. Dan lagi-lagi, sangat tidak adil apabila menilai Bandung hanya dari sudut pandang tersebut. Jika penulis menggambarkan wanita Bandung sebagai pesolek penuh ‘gimmick’, mungkin penulis perlu diingatkan dengan nama-nama seperti Ibu Dewi Sartika dan Ibu Inggit Garnasih yang mampu menghasilkan karya nyata dan bukan ‘gimmick’ semata.
“Lain lagi apabila di Bali pohon-pohon diberi sarung karena memang adat mereka memuliakan pohon. Di Bandung, pohon diberi sarung karena… ya mungkin agar pohonnya tidak masuk angin.” – Contoh ini konyol (apalagi karena penulis katanya ‘sesepuh’ komunitas pecinta Bandung) karena selain untuk memeriahkan ulang tahun Kota Bandung, kain (berwarna hijau,kuning, dan biru) yang dililitkan pada pohon-pohon di Kota Bandung adalah bendera Kota Bandung yang sering dilupakan orang. Artinya, pemerintah kota punya tujuan dalam melakukan hal tersebut dan bahkan bisa dikatakan cukup baik karena salahsatu tujuannya kembali mengingatkan identitas (bendera) kotanya pada masyarakat Kota Bandung. Selain itu, mengatakan bahwa warga Bandung hanya menampilkan kebudayaannya hanya di depan turis juga sangat tidak tepat dengan fakta bahwa sanggar-sanggar kesenian di Bandung tetap ‘ngamumule’ (menjaga) budaya Sunda terlepas ada/tidak adanya turis. Apalagi budaya bukan hanya berbentuk fisik, tetapi juga perilaku. Julukan warga Bandung yang ramah dan ‘someah’ merupakan bukti bahwa setiap hari warga Bandung mengamalkan budayanya. Lagipula, apa salahnya apabila pemerintah mendorong pelestarian budaya dan bahasa Sunda? Sepertinya setiap daerah berusaha melakukan hal yang sama.
“Masih banyak contoh gimmick lainnya. Misalnya soal istilah “kota kreatif”.” – Tanpa banyak perlu mendebat, predikat tersebut selain ‘klaim’ warga dan pemerintah kota Bandung, juga merupakan predikat yang diberikan orang luar Bandung. Tentu saja mereka yang memberi penghargaan dan predikat tersebut punya alasan. Jadi, jika ingin menggugat hal ini, gugatlah yang memberikannya.
“Gimmick lainnya adalah istilah “hidup adalah udunan”. Ketika berbagai proyek dalam kota yang didanai uang CSR disebut sebagai udunan, maka itu adalah penyesatan.” – Saya rasa ini hak penulis untuk tidak setuju dengan penggunaan istilah “udunan” oleh walikota terhadap penggunaan CSR para perusahaan. Namun, penggiringan opini bahwa hal tersebut adalah ‘gimmick’ belum tentu tepat juga.
Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa tulisan ini lebih merupakan sebuah justifikasi penulis atas ketidaksukaannya terhadap individu tertentu (dugaan saya Pak Ridwan Kamil) yang menggunakan sejarah Kota Bandung yang tidak seimbang (kalau bukan asal comot) dan perbandingan yang kurang ‘apple-to-apple’ terhadap kota lainnya.
Apabila penggunaan sosial media oleh walikota / pejabat menurut penulis merupakan ‘gimmick’, saya rasa itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Saya pribadi melihat sosial media sebagai alat yang netral dan penggunaannya (menjadi positif atau negatif) tergantung cara pemanfaatannya. Apakah menurut penulis Ridwan Kamil menggunakan sosial media untuk gimmick, itu terserah pendapat penulis.
Saya pribadi tidak setuju dengan pernyataan bahwa Kota Bandung (baik pemkot maupun warganya) memiliki sifat gimmick.
Terima kasih Kang Ryzki atas kritikan terhadap Kota Bandung yang sama-sama kita cintai. Semoga Kota Bandung semakin berkembang ke arah yang lebih baik.
Ilman Dzikri
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UI 2012
Wakil II Jajaka Kota Bandung 2014
You are losing the point here… saya tidak bermaksud mendiskreditkan RK, bukankah saya udah bilang kalo gimmick itu udah ada dari jaman kolonial dulu… Toh menurut saya kalau gimmick itu sudah menjadi bagian dari budaya Bandung ya tinggal diperkuat saja, jangan dipungkiri. Btw menurut saya RK adalah walikota terbaik yang pernah dimiliki Bandung.
Ryzki Wiryawan
Saya tertarik dengan komentar Mas Ilman Dzikri. Beberapa poin kritis juga menarik. Tapi membuat saya ingin mengkritik balik.
“Bandung, berbeda dengan daerah lain seperti Yogyakarta atau Bali, tidak memiliki akar budaya yang kuat karena relatif masih berusia sangat muda.” – Budaya itu kan berasal dari masyarakat. Dalam konteks Kota Bandung, budaya yang dominan adalah budaya Sunda. Karena itu, argumen penulis tentu saja salah karena menilai Kota Bandung tidak memiliki akar yang kuat hanya karena usia kotanya relatif muda dibanding dua kota lainnya (bahkan Bali itu bukan kota, melainkan pulau dan ini membuat perbandingan penulis tidak ‘apple-to-apple’). Padahal, masyarakat dan budaya Sunda yang dominan memengaruhi masyarakat Kota Bandung telah ada lebih lama dari keberadaan kotanya.
Tentang argumen ini : Berdasarkan sejarah perkembangan Kota Bandung. Didirikan tahun 1810, Bandung adalah 100% kota bikinan pemerintah kolonial. Dibuat untuk mengakomodir distribusi hasil perkebunan di sekeliling Bandung (sekarang KBB, Kabupaten Bandung, Cimahi, Subang dll.). Demografi awal Kota Bandung hingga tahun 1960 an adalah demografi yang kosmopolit secara kultural. Orang Eropa, Pribumi (Sunda, Jawa, Bali, Bugis), China, Arab dan/atau India. Mungkin tidak sekosmopolit Cirebon, Jakarta, atau Semarang, tapi cukup kosmopolit. Kini, budaya Sunda seperti apa yang dominan di Bandung?. Yang dilestarikan di Bandung (which is very positive) oleh kebanyakan sanggar dan aktivitas adalah revitalisasi budaya Sunda yang ada sebelumnya di tempat lain (angklung, karinding, sisingaan dll), bukan merupakan proses berkebudayaan yang berakar dan konstan ada di Kota Bandung. Apalagi jika kita melihat fakta bahwa sekarang mayoritas atraksi yang dijual Bandung adalah produk budaya populer dan/atau Barat (musik indie/metal/pop-punk, clothing company dan distro, cafe dan resto, Pasar Baru, Kawasan Braga dan Gedung Merdeka)
“Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa tulisan ini lebih merupakan sebuah justifikasi penulis atas ketidaksukaannya terhadap individu tertentu (dugaan saya Pak Ridwan Kamil) yang menggunakan sejarah Kota Bandung yang tidak seimbang (kalau bukan asal comot) dan perbandingan yang kurang ‘apple-to-apple’ terhadap kota lainnya.”
Tentang pernyataan ini : Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional (saya juga dulu mahasiswa HI), dalam belajar sebuah pemikiran, ada yang namanya metode idiosinkratik. Dimana dalam mencerna sebuah pemikiran, apalagi memberikan kesimpulan tentang pemikirnya, memerlukan identifikasi karya-karya sebelumnya, identifikasi proses berpikirnya. Melabeli “asal comot” itu agak gimana ya.. hahaha
Salam manis
INdra
saya setuju bgt dgn bahasan kang Ilman Dzikri..
heueuh… kitu pisan…!!!
walikota skrg masi lbh baik dr sebelumnya … nanaon ge kudu salengkah salengkah ulah sok ngarawu ku siku … pokona mah maju terus bangun bandung kasih saran … jangan cm mengeluh kaya orang ga waras
Karek nyaho ayeuna uing mah aya angkot make LCD iklan. Edan kitu lur!
Tulis dan kasih saran yg baik saja lah….ndak usah sinis….hayang najong ka nu nulis
Sebenarnya saya sudah tidak berniat membaca karena aura tulisannya negatif. Sedangkan kritis tidak harus selalu mengkritik. Dan kritik tidak selalu memiliki makna yang negatif. Seharusnya memperkaya dan menambahkan apa yang sudah ada
Sampai di kalimat: “Berbeda dengan di Bandung, penerapan budaya di sini baru sekadar pada kulit atau penampakan saja. Para pemain angklung atau permainan anak-anak tradisional hanya memainkan aksinya apabila didatangi turis.”
Aduh. Mungkin nama terkenalnya objek wisata Saung Angklung Udjo.
Kalau hanya sampai disini kemampuan analitisnya, lebih baik membuat artikel yang lebih membangun dan positif.
Terimakasih.
Warga Bandung
Lahir dan besar di Bandung
Insan pariwisata sekaligus pengusaha di Bandung
Kebetulan pernah tinggal di rumah gedong di Utara Bandung yang keluarganya masih belajar silat, tari dan kecapi.
Di mana letak salahnya ? Apakah permainan angklung adalah budaya warga Bandung ? Warga Bandung mana yang bermain angklung di waktu senggang atau waktu-waktu tertentu ? Apabila ada turis ingin melihat permainan angklung apakah akan dibawa ke kampung Coblong atau Sekeloa ? Tidak, pastinya mereka dibawa ke Udjo.. Karena hanya di sanalah angklung dimainkan…
Tulisan kritis yang bagus. Perbandingan contoh kota bisa dibuat lebih seimbang apple to apple dengan mengambil contoh lain yang punya sejarah serupa Bandung misalnya Malang atau Medan atau Surabaya atau kota lain yang memang dari awalnya dibangun pemerintah Hindia Belanda. Mengambil Bali dan Jogja sebagai bandingan sangat tidak seimbang.
Hampir di seluruh dunia sekarang tradisi dilangsungkan untuk dipertontonkan, terutama di dunia Barat. Apakah itu juga bentuk gimmick atau upaya pelestarian budaya?
Apresiasi dengan tulisannya yang mencoba memberikan sudut pandang lain atas keberhasilan pembangunan Kota Bandung (yang tentunya seharusnya memang dipertimbangkan juga dari segi happiness penduduknya ya).
Saya mau ikut sedikit berpendapat.
Dalam dunia perencanaan kota, ada istilah namanya city branding. City branding ini adalah upaya membangun identitas sebuah kota.
Terlepas dari budaya yang memang tidak sekuat Bali dan Jogjakarta, menurut saya semua pemimpin kota justru harus mengcreate branding dari katanya masing-masing, not as simple as gimmick, karena citra yang dibangun itu jadi representasi kotanya. Dalam hal ini menurut saya Ridwan Kamil berhasil membangun city branding Kota Bandung, yang bikin wisatawan atau bahkan investor selalu melirik Kota Bandung. Dan lagi, kebijakan-kebijakan lain nya misalnya transportasi publik, upaya untuk membangun Bandung jadi silicon valley nya Indonesia, menjadi nilai plus dari kebijakan2 beliau.. Harapan saya semoga pembangunan yang direncanakan tidak pernah mengexcludekan mereka yang kurang mampu.
Saya rasa tulisan ini mungkin tak sepenuhnya salah. Namun penggiringan artikelnya bernada sinis seolah-olah pembangunan yang berlangsung menuju ke arah yang negatif. Ujung-ujungnya pembaca pun dapat merasakan bahwa tulisan ini merupakan suatu bentuk ketidaksukaan penulis terhadap pihak tertentu.
Saya setuju dengan pendapat pak Ahmad “nanaon ge kudu salengkah salengkah ulah sok ngarawu ku siku …”
Langkah Pak RK sudah tepat. Pak RK menggiring publik melalui gimmick terlebih dahulu karena gimmick lah hal di permukaan yang paling mudah dimengerti masyarakat. Seolah-olah gimmick adalah perangkat sebagai “prior knowledge” masyarakat untuk dibawa pada program yang lebih substansial.
Hal substansial merupakan hal yang tak bisa dipaksakan dalam waktu setahun atau dua. Hal substansial perlu dipahami scara sinergis antara aspek2 perkotaan dan kemasyarakatan. Misalnya aspek2 ekonomi, sosial, budaya itu dsb.
salah satu hal substansial yang sudah diupayakan yakni penggarapan lahan Gedebage. Apabila pembangunan di Gedebage sudah rampung maka mungkin bisa terjadi pemerataan kemakmuran dan kemajuan ke bagian selatan dan timur Bandung. Kemajuan Bandung tak lagi berkonsentrasi di utara tetapi juga merambah ke area lain. Secara diplomatis RK jg melakukan langkah2 besar seperti sukses menggelar KAA, dan mempererat hubungan sister city contohnya. Saya percaya Bandung sedang mencicil hal besar. Hal-hal besar muncul dari serangkaian tindakan2 kecil yang progresif, great things takes time.
menurut saya mah ga ada yang salah sama tulisan ini, toh kalau memang mengkritik atau ada yang lebih sarkas bilang tulisan ini bernada sinis, ya jangan kesinggung juga tarimakeun weh kalo memang bener kenyataan nya sepeti ini, kalo memang Bandung seperti yang di tuliskan ya harusnya pemerintah dan warganya aktif atuh menuju yg lebih baik,kalo misal boleh saya umpamakan Bandung itu ibarat Persib yang penuh pemain bintang tapi prestasi tidak ada atau main jelek (omat umpama ieu mah nya, kan Persib udah juara) ya wajar saja kami yang duduk di tribun berteriak penuh kesal ke pemain , pelatih atau bahkan manajer, tapi nya biasa weh…jadi tulisan ini menurut saya nya wajar weh ga usah rariweuh teuing cuma buat introspeksi Bandung ini
nuhun
Anggi
lahir di puskesmas puter , besar di Kp cikapayang,
saya pikir tulisan ini tidak salah, hanya sekedar opini, dan sejalan dengan kenyataannya bahwa penulisnya pun sesungguhnya berasal dari suatu komunitas gimmick yg menyebut diri mencintai bandung namun pada intinya hanya sekelompok orang muda yg mencoba memenuhi kebutuhan akan perhatian, kebutuhan untuk diapresiasi dan dihargai, sebagaimana halnya definisi gimmick di atas: “A trick or device intended to attract attention, publicity..”
Penulis M. Rizky W. pun jelas melakukan gimmick dlm tulisan ini utk menunjukkan eksistensinya melalui kata2 yg terasa sinis, karena di zaman ini, kata2 lembut dan kalimat kritik yg ‘sopan’ dengan solusinya, tidaklah semenarik kalimat2 eksplosif dan ekstrim dalam meraih perhatian masyarakat.
Patut dihargai bahwa gimmick yg dijalankan penulis artikel cukup berhasil karena kemudian banyak yg mulai melirik siapa itu komunitas elut dan siapa pemuda2 yg berkecimpung di dalamnya..
it’s a nature of a human being, especialy young folks yg sedang dalam pencarian jati diri dan kebutuhan utk diapresiasi – melalui strategi2 gimmicknya.
Anda benar.
Bravo gimmick people! 😉
Terserah deh anda2 org pinter mau ngomong apa. Memang salah kalo kami senang mempercantik diri? sense kami terhadap keindahan sudah terbentuk dari sananya. Mau dibilang gimmick kek apa kek, kami cukup bahagia tinggal di bandung yg jadi lebih indah berkat pak RK, bahagia walopun kami gak punya duit. Suku lain sering sinis karena kami sering bersolek, sementara kami selalu berpikir positif sama orang, selalu ramah karena naluri kami: pengen disenangi orang, tdk mau dianggap sombong. Be wise guys, don’t be so fussy on us
Tapi jigana penulis pohoeun loba kampus/sakola nu bogaeun LSS,poho teu nya?
Reblogged this on Aludrablog.
Bahkan pada hari tertentu pemerintah harus memaksa warganya menggunakan pakaian dan bahasa tradisional. Berbeda dengan di Yogyakarta misalnya, dimana kita bisa menemukan tukang becak berpakaian lurik atau pelajar yang menggunakan bahasa Jawa hampir setiap harinya.
Hmm,,,, di Bandung ge sapopoe make basa sunda nu asli urang bandung mah sarua siga urang Jogja, Lantaran di Bandung loba masyarakat ti LUAR Bandung nu hayang Usaha, Diajar di kota Bandung nu ku akang disebut “Gimmick City” wajar lamun pamarentah ngayakeun poe wajib make baju jeung basa sunda, sangkan kabeh masyarakat nu CICING di kota Bandung bisa apal BUDAYA SUNDA.
Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung
nu kitu teh ngaranna CITY BRANDING
tujuanna memang buat menarik wisatawan ke kota bandung
eweuh nu salah jeung Gimick oge nu penting mah teu Korupsi
suka sekali dengan tulisan saudara Rizky Wiryawan. redaksinya mengenai bandung yg dari dulu jago gimmick cukup membuat tersedak. paris van java yang sejuk memang ikon “kreatif” yang terisi (harapannya) oleh orang2 dengan pola pikir modern tapi tidak meninggalkan akar budaya. gaya hidup hedon memang realita yang sering kita temui di sekitar kita, tdk hanya di bdg. parahnya karena ketimpangan status sosial menyebabkan seseorang berusaha terlihat eyecatching biarpun miskin. ah yasudahlah memang gimmick itu membawa “efek psikologis” yang bikin index of happiness jadi naik, walaupun masyarakat pedesaan yang tinggal di gubuk2 dan surau2 dengan suasana asri dan bebas polusi tidak bisa ditandingi indeks kebahagiannya. lalu jika menilai secara visual bandung saat ini, sudah okee banget dipermak oleh sang arsitek. sayangnya sejauh ini masyarakat gampang impresif ketika melihat seseorang jadi bahan perbincangan. akibat latahnya seseorang menilai seorang sosok, dia bisa gelap mata dan cenderung memandang secara subjektif, dan tidak mengindahkan cara2 berpikir seperti saudara Rizky. hidup gimmick!!!
Saya lahir di Bandung, besar di Bandung, dan tinggal di Bandung.
Saya senang Bandung sekarang jauh lebih tertata dan indah. Tapi saya pribadi pun setuju dengan penulis.
Saya belajar arsitektur kota ketika kuliah, jadi saya mengerti dgn istilah “citra kota”. Dalam hal citra tsb saya rasa cukup berhasil dr segi perbaikan/revitalisasi infrastruktur kota. Namun ada yg seringkali terlupakan, yaitu perkara sustainability. Entah hanya perasaan saya atau memang beberapa hasil revitalisasi itu tidak awet. Misalnya di jalan kepatihan yg sudah bagus2 ditata ternyata kini bak tanamannya sudah banyak yg rusak, dan kayunya copot. Atau tempat sampah (baik desain plastik maupun monster) juga banyak yang rusak. Kesalahan desain? Atau kesalahan penggunanya? Bisa jadi keduanya.
Masih banyak warga Bandung yg sekadar senang tp tidak turut memeliharanya. Memang, semuanya balik lg ke diri masing2. Jika memang cinta Bandung, ayo jaga. Bukan hanya index of happiness sj yg harus ditingkatkan, tp juga sense of belonging.
Opini bisa saja disanggah, tp setidaknya tulisan ini bisa jadi pembuka pikiran “ah Bandung mah ga gitu” dan diaplikasikan ke bentuk aksi nyata, bukan gimmick semata.
Fika,
Pernah ikut merancang salah satu taman kota di Bandung
kamu tuh cuman IRI
udah itu aja
Rasanya video wawancara Don Bosco Selamun dengan Ridwan Kamil (https://www.youtube.com/watch?v=_4orsWEkxGQ) cukup menjawab rencana kerja RK untuk Bandung dengan ke-‘gimmick’ annya yang dibahasa di artikel ini…
Opini yang amburadul dari awal sampai akhir. Jika baca tulisan ini sekilas, “seolah” bercerita tentang sejarah dan budaya, padahal isinya adalah opini semata. Opini yang didasari oleh pikiran yang ngawur….contoh kecil “…..Bandung dipermak sedemikian rupa agar lingkungannya menyerupai lingkungan Eropa” ….. yang ngebangun saat itu kan orang belanda, ya pasti nuansanya nuansa eropa, masa yg ngebangun bule eropa nuansanya cina ato jepang…. “ini contoh kecil menggiring pemikiran kita bahwa saat itu bandung seolah sedang gimmick”, banyaaak kali opini yg menyesatkan di tulisan ini, termasuk opini ttg wanita sunda, ente salah menilai wanita sunda, coba ente masuk ke pemukiman padat/kumuh di Bandung, ente perhatiin deh sono, yg jualan pisang goreng, martabak, cimol, batagor dll. apa bakal disebut gimik juga ?
Bukan bandung ajjh kali yang ente bilang gtu, masih banyak saya dah coba keliling jakarta, bali, yogyakarta ada yang kampung juga tidak di perhatikan.. Emang dirimu bisa ubah bandung langsung semua oke.. Tidak brow.. Semua butuh proses.. Walkot dan lain2 nya pun butuh proses buat ngerubah semuanya.. Kita suport dan bantu ngerubah bandung lebih baik.. Ini yang buatnya juga gimmick kali biar kontroversial jadi di baca.. Ahk sok aya aya wae lain ngadukung, malah ngajurumkeun.. Aing orang bandung cuy!!! Bandung juara, persib juara.. Nuhun ahk
Baru baca artikel ini, dari dulu pengen baca tapi gak sempat, ditambah lagi ada rasa dalam hati “ah, paling sentimen negatif”. Tapi skrg sudah ada waktu untuk membaca, dan saya rasa tulisan ini jujur apa adanya. Saya 100% setuju, dulu juga ingin menulis argumen yg sama tapi saya rasa tulisan ini sudah baik dan representatif.
Saya juga cenderung melihat RK hingga saat ini memang as a gimmick person entah itu normal sebagai metode utk city branding atau apalah, tapi kadang dia gak sadar melihat posisinya apakah sbg pejabat publik atau selebritis.
Kadang juga lihat akun twitternya berasa kayak tebar pesona atau emang dia orangnya narsis atau emang tipikal sebagian orang sunda suka show off. Entahlah.
Sekarang Bandung lagi show offnya dgn taman tematik, bangunan KAA, apapunlah. Keren sih. Tapi, jgn salahkan wisatawan datang & bikin macet. Salahkan yg katanya caretaker kota bandung tapi tidak mengantisipasinya.
Ping balik: Mojang Bandung di Khazanah JKT48 | Arip Blog
Ping balik: tumpek ruwek | sapereaude
Ping balik: Bandung Setelah Peringatan KAA — arifsetiawan
puluhan kali ke bandung… saya gak tersentuh sama sekali… beda saat masuk yogya, malang, surabaya (sekarang), bali, kota2 di madura atau bahkan jayapura… bandung rasanya seperti cireng di”packing” ekslusif.. seindah apapun tetap cireng.. segumpal aci digoreng… n bapak saya yg sudah sepuh, saat pertama menginjak kaki di bandung (keluar stasiun bandung) : “gak koyo’ nang TV, bau sampah, semrawut..”
Ping balik: Antara Depok dan Bandung | Perihal Memaknai Perjalanan
urang mah lahir ,gede di bandung .nya ari digogoreng Ku urang dengeun mah lemah cai urang nya teu ngeunah atuh euy…cing ayeunmah balikeun mun urang ngagogoreng temp at kalahiran silaing ,kumaha perasaan silaing…
yg pasti ….kenapa industri strategis(PT.DI,PINDAD,LEN ,DLL),pusat latihan,pusat pendidikan(pusenkav,pusenif,pusdikmin ,DLL),kantor pusat kereta api,kantor pus at pos giro,DLL.adanya di bandung………?