Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)
Dari Sumedang Larang, Kian Santang memacu mobilnya melintas Jatinangor dan masuk Tol Cileunyi. Rupanya tim intel berhasil melacak keberadaan Prabu Siliwangi di sebuah bukit di daerah Baleendah. Kemacetan, jalanan terjal berbatu dan becek pun harus dilalui Kian Santang dalam perburuannya menaklukan Sri Baduga Maharaja yang keukeuh nggak mau masuk Islam.
Prabu Kian Santang tertunduk lemas. Nampaknya ada kesalahan informasi, karena yang dia dapatkan hanya sebuah gundukan sampah.
Entahlah. Yang pasti jika Descartes mah bersabda, “Aku berpikir maka aku ada”, maka saya berkata, “Aku berpikir maka aku mengada-ada”.
Cerita di prolog tadi memang sunguh fiktif. Tapi sebenarnya saya punya itikad baik untuk membantu Dadang Naser dalam memajukan pariwisata Kabupaten Bandung, salah satunya dengan mempromosikan situs Gunung Munjul di Baleendah ini. Tentunya lewat pengemasan menarik dengan menjual suatu cerita. Dan nampaknya saya pembuat cerita yang terlalu kreatif dan bodoh.
Intinya, sebenarnya sangat mudah membuat cerita, memanipulasi data sejarah. Apalagi kalau punya yang namanya kuasa dan modal.
Gunung Munjul: Petilasan Kian Santang dan TPS Liar
Minggu ini Komunitas Aleut mengadakan aktivitasnya dengan judul “Ngaleut Ciparay”. Dengan sepeda berknalpot, Aleutian mengeksplorasi tiga destinasi ‘kurang perhatian’ di Kabupaten Bandung; Situ Sipatahunan, Gunung Munjul, dan Culanagara.
Nah, untuk Gunung Munjul sendiri sebenarnya hanya sebuah bukit yang kalau dalam bahasa Sunda disebutnya ‘pasir’. Sudah ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 2012, namun bukit di Kampung Munjul, Kelurahan Manggahang, Kecamatan Baleendah ini sangat tidak terawat.
| Lihat: Pikiran Rakyat Online – Situs Gunung Munjul Tidak Terawat
Ini termasuk kemajuan atau kemuduran kah? Bukankah ini bukti kalau masyarakat makin modern karena mampu berpikir rasional? Areal situs yang dipercaya sebagai tempat patilasan Kian Santang ini, tanpa merasa risih dapat kualat, malah jadi tempat pembuangan sampah liar bagi warga sekitar. Petilasan sendiri berarti suatu tempat yang dikeramatkan karena pernah menjadi lokasi yang pernah disinggahi atau didiami oleh seorang tokoh publik di masa lalu yang dianggap penting. Mitos hanya tinggal cerita picisan, mengotori tempat keramat siapa peduli.
Lewat cerita takhayul, masyarakat baheula bisa lebih enviromentalis. Dan untuk masyarakat kekinian kudu pakai apa coba? Ditulis di hukum pidana pun masih banyak yang mengacuhkan. Meski disamakan dengan hewan lewat coretan “TONG MICEUN RUNTAH DI DIEU ANJING!”, tetap saja banyak yang menghinakan dirinya lewat buang sampah seenaknya.
Kasihan benar Gunung Munjul, karena mungkin sebentar lagi akan tertandingi dengan gunung sampah di sebelahnya. Dan sungguh beruntung Prabu Kian Santang nggak perlu tutup hidung pas dulu nilas di sini.
Tautan asli: http://arifabdurahman.com/2015/03/25/singgahnya-kian-santang-di-tumpukan-sampah/