Oleh : Nandar Rusnandar (@nandarali)
Pagi ini Minggu,3 November 2013, saya sudah siap untuk mengikuti kegiatan @KomunitasAleut. Air minum, alat tulis, dan sweater pun sudah masuk tas.
Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 wib. Saya masih di dalam angkot, meeting point kegiataan hari ini di Jl. Dago, tepatnya di pertigaan tugu pengeboran (PDAM). Jam 07.45 akhirnya saya tiba di lokasi, ternyata banyak teman-teman yang sudah menunggu. Saya kena tegur karena belum mengonfirmasi keikutsertaan saya dalam kegiatan hari ini, hehehe, maap maap..
Memang untuk mengikuti kegiatan Aleut, sebaiknya calon peserta mengonfirmasi paling lambat sehari sebelumnya agar para pengelola kegiatan punya bayangan besaran jumlah peserta dan membantu mereka juga menyusun kegiatan. Seperti biasa sebelum kegiatan dimulai, setiap anggota diwajibkan mengenalkan diri dan asal (tempat kuliah atau pekerjaan) agar dapat saling mengenal dengan lebih akrab.
Yang menarik pada kegiatan minggu ini adalah tidak adanya sistem pemanduan seperti yg biasanya dilakukan pada setiap kegiatan. Sekarang berbeda, para peserta dibagi ke dalam dua kelompok dan saya termasuk kelompok satu. Kami dianjurkan untuk menggali informasi dari orang-orang sekitar yang mengenal objek yang kita datangi. Wahh.., ini menarik sekali jadi bisa mendapatkan tambahan informasi langsung dari masyarakat.
Kelompok satu pun memulai perjalanannya. Objek pertama yang kita temui adalah Drie Kleur, yang artinya Tiga Warna, yang saat ini sedang direnovasi. Gedung ini dulunya berfungsi sebagai kantor dan tempat tinggal, arsiteknya adalah A.F. Aalbers.
Gedung Drie Kleur alias Tiga Warna.
Oh iya, salah satu koordinator kelompok satu ternyata ada yang kuliah di jurusan Biologi, namanya Mentari. Dia banyak menjelaskan tentang tanaman. Nah, di depan gedung Tiga Warna ternyata ada banyak tanaman hias dan pohon-pohon, salah satunya adalah pohon Spatodhea campanulate alias bunga mangkuk (campanulate=mangkuk) karena bentuknya yang seperti mangkuk sehingga dapat menampung air hujan. Dalam bahasa Sunda, namanya Ki Acret atau Ki Ceret, karena selalu ada muncratan air hasil tampungan dari bunga itu.
Ki Acret atau bunga mangkuk atau Spatodhea campanulate.
Perjalanan pun dimulai. Kami menyusuri Jl. Sultan Agung, ternyata jalan ini dulunya adalah lokasi vila-vila Belanda. Masih terlihat dari beberapa gedung besar yang bentuknya sama. Itu pun cuma ada beberapa yang masih utuh, selebihnya sudah direnovasi, bahkan ada yang sudah diganti menjadi gedung baru.
Kata Vecco, salah satu kordinator kami, kalau kita mau ngebedain gedung yang dibangun pada tahun 1920 s.d. 1930 itu, salah satunya bisa dilihat dari bahan konstruksinya, yaitu terbuat dari batu kali. Dan saya liat hampir semua bangunan lama di jalan ini menggunakan batu kali.
Saya juga lihat banyak bangunan vila yang sudah dialihfungsikan menjadi café, distro, atau agen travel . Tetapi kata Vecco, lebih baik dialihfungsikan sebagai sesuatu yang menghasilkan tetapi dengan tidak merubah konstruksi bangunannya, jadi bangunan itu akan tetap terawat.
Ini adalah salah satu vila yang beralih fungsi menjadi café dan distro
Vila yang telah berganti menjadi agen tour and travel.
Setelah melewati Jl. Sultan Agung, kami semua masuk Jl. Trunojoyo. Di jalan ini banyak saya lihat vila yang sudah berubah. Menurut saya kurang indah karena tidak memakai estetika bangunan zaman dulu lagi. Orang Belanda bikin satu bangunan vila itu memperhitungkan keseimbangan dan keserasian bangunanya, tapi sekarang karena pemilikan bangunan terbagi-bagi dan selera pemilik masing-masing berbeda, maka bangunan itu jadi terlihat tidak serasi dan aneh, hehe.
Satu bangunan lama yang sekarang terbagi tiga pemilikan berbeda dan masing-masing membuat perubahan sesuai seleranya.
Oh ya, tampaknya ciri-ciri vila zaman dulu itu bangunan-bangunannnya sama, makanya di jalan ini juga masih terlihat bangunan-bangunan dengan bentuk yang sama. Bangunan di bawah ini masih mempertahankan penggunaan batu-batu hiasan dari masa lalu, sementara bagian atapnya masih kokoh dengan cat yang baru.
Kami juga menemukan bangunan vila yang unik karena tertutup oleh gedung yang dibangun di depannya, akibatnya keunikan bangunan ini tak tampak oleh orang-orang yang melewatinya. Mungkin dulu vila unik ini berhalaman luas sampai ke jalan raya. Andai bangunan di depannya tidak ada, maka akan terlihat uniknya bangunan ini. Dengan posisi berada di persimpangan, bentuk bangunan ini tampak mengikuti alur jalan, seperti melingkar.
Seorang rekan memotret bangunan unik ini dari balik pagar.
Masuk ke Jl. Bahureksa disambut oleh bangunan-bangunan yang tertata bagus. Bahkan di sini lebih banyak bangunan peninggalan lama yang masih dipertahankan.
Bangunan di Jl. Bahureksa.
Tak disangka, kami menemukan suatu bangunan yang bentuknya masih asli serta bisa berinteraksi dengan pemiliknya langsung. Bangunan ini memiliki nama Dulce Domum yang dalam bahasa Indonesia artinya “Rumah Cinta”. Romantis yah, hehehe.
Beruntung kami dapat melihat bangunan ini dari dekat.
Ada tambahan informasi dari Vecco, katanya tempat tinggal orang Belanda zaman dulu itu biasa mempunyai nama-nama. Nama yang dipasang di rumah-rumah mereka biasanya nama anak perempuan pertama. Tapi waktu saya tanyakan tentang Dulce Domum kepada pemiliknya, ternyata nama ini adalah nama tempat.
Salut kepada pemilik Rumah Cinta ini, dia mempertahankan setiap bagian rumahnya. Terlihat dari pintu, kaca patri, dan kotak surat jadul yang masih menempel di pintunya. Pemilik Rumah Cinta ini adalah pemilik tangan ketiga. Dia ingin menjual rumah itu seraya berharap semoga pemilik berikutnya tidak mengubah bentuk aslinya.
Pintu rumah Dulce Domum.
Ini adalah kaca patri yang masih asli dari zaman belanda
Perjalanan masih berlanjut hingga tiba di daerah Gempol. Di sini ada toko/pejual roti yang sudah lama. Kami mampir ke toko ini sebentar dan setelah itu lanjut menyusuri gang. Saya melihat sebuah rumah kecil yang bahan bangunannya sebagian besar berbahan kayu, dari bentuknya tampak seperti rumah adat Jawa. Ternyata kata Vecco, rumah ini adalah rumah buat pejabat-pejabat pribumi yang bekerja di pemerintahan pada saat itu, yaitu di Gedung Sate. Jadi bagi pegawai rendahan pribumi diberi tempat tinggal yang kecil dan terbuat dari kayu, sedangkan bagi pegawai dengan kedudukan lebih tinggi diberi tempat tinggal yang permanen dan lebih bagus.
Konon, sebelum dibikinkan rumah-rumah kecil ini, pegawai-pegawai rendahan tinggal tidak beraturan, mungkin juga dengan membangun bedeng-bedeng. Namun demi keindahan dan estetika, maka dibikinlah rumah-rumah kecil yang ditempatkan di belakang gedung-gedung para pegawai yang punya kedudukan tinggi. Dengan begitu suasana permukiman tampak lebih indah teratur, rapi, dan nyaman dihuni. Katanya, penempatan seperti ini juga biar gampang untuk memanggil para pegawai rendahan bila dibutuhkan. Makanya ada sebagian gedung yang di belakanya terdapat pintu kecil, selain buat evakuasi, pintu ini juga berfungsi buat memanggil pembantu-pembantu.
Kalau kita mendengar istilah pintu darurat pasti kita ingat yang adanya di gedung-gedung bertingkat. Ternyata zaman dulu juga sudah dipikirkan oleh orang-orang Belanda agar di setiap kompleks rumah itu selalu ada brandgang. Gang ini adalah jalur evakuasi bila terjadi kebakaran atau bencana alam. Ciri-cirinya umumnya di jalan seperti ini terdapat jalur air.
Kami menyusuri salah satu brandgang, ada yang masih punya jalur air, ada pula yang sudah jadi gang biasa. Salah satu brandgang di Gempol ini ternyata bisa tembus ke Jl. Banda. Ada sesuatu hal menarik yang saya temukan di Jl. Banda ini, saya melihat ada dua rumah dari zaman Belanda yang masih bagus dan di sebelahnya ada rumah dengan bentuk sama tetapi sedang dipugar. Saya lihat banyak bagian rumah ini yang dihancurkan. Perkiraan saya, rumah ini akan dibikin tempat usaha, karena tampak seperti diperluas juga lahannya.
Rumah yang masih mempertahankan kondisinya
Rumah yang sedang direnovasi untuk penampilan baru.
Perjalanan hari ini berakhir di sebuah taman di Jl. Wira Angunangun. Kami berkumpul dan berbagi pengalaman tentang apa saja yang sudah kami lihat sejak pagi tadi. Semua mengutarakan kekaguman pada orang-orang zaman dulu yang dalam membangun rumahnya tidak hanya memperhatikan masalah keamanan dan kenyamanan, tetapi juga estetikanya diperhitungkan baik-baik.
Namun banyak juga catatan teman-teman yang menyayangkan bahwa vila-vila yang indah dan nyaman ini hanya tertinggal sedikit saja. Mungkin mahalnya pajak atau biaya perawatan bangunan-bangunan tua ini membuat banyak pemilik sekarang yang ingin menjual atau menjadikannya sebagai tempat usaha. Dalam beberapa hal mungkin pilihan merenovasi seperti yang sudah kami lihat tadi terasa lebih baik, karena bangunan aslinya masih dapat terlihat. Ya, daripada bila dihancurkan sama sekali?
Ini sajalah kisah perjalanan saya bersama @KomunitasAleut hari ini, paling tidak saya bisa menyaksikan langsung bahwa rumah yang nyaman dan indah itu tidak harus selalu mewah, yang penting adalah keserasian dengan lingkungan sekitar. Keberadaan bangunan seimbang dengan keadaan sekitarnya, kenyamanan hunian sangat diperhatikan, begitu juga keamanan dan keselamatannya. Hari ini saya sadar apa artinya masa lalu. Terima kasih banyak buat @KomunitasAleut.