Si Cantik, Dago 141

Oleh: Hani Septia Rahmi (@tiarahmi) dan Atria Dewi Sartika (@atriasartika)

“Perlu keberanian besar untuk menemukan sebuah keberuntungan kecil.”

Kalimat itu mungkin cocok dengan penemuan kami hari itu, 4 November 2013, di saat hujan menyapa. Langit memang tertutup awan gelap, namun tidak membuat sekitar kami menjadi terlalu gelap. Kondisi itu yang mendorong keberanian kami untuk melangkah ke rumah itu. Rumah yang sudah cukup sering menghadirkan rasa penasaran kami.

IMG_20131104_150258

Letaknya tidak persis di depan jalan Ir. H. Juanda atau yang lebih kita kenal dengan nama jalan Dago. Ia menjorok ke dalam, 100 meter. Beberapa mobil terparkir di dekat pintu gerbangnya. Jalan menuju teras depan halaman rumah tidak seperti rumah lain yang tertutup paving block sehingga menutupi wilayah resapan air, melainkan terdiri atas bebatuan yang memadat karena sering dilewati. Selebihnya, halaman rumah tersebut ditutupi beberapa tumbuhan yang umurnya, kami duga, sudah cukup tua. Ada satu pohon menjulang tinggi dan sekumpulan tanaman talas berukuran besar yang menyita perhatian kami.

IMG_20131104_150347

“Pasti umurnya lebih tua daripada saya”; “Wah tanaman ini tua sekali. Apa sudah sampai seratus tahun ya?”; itu adalah pikiran-pikiran yang berkelebatan di kepala kami.

Kesan pertama ketika kami melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah ini adalah seram. Ya, rumah ini bahkan sering disebut “rumah hantu” oleh beberapa orang. Itu mungkin efek umum yang diberikan indra pelihatan kita ketika melihat bangunan tua dengan  halaman depan yang tak terurus. Semakin mendekati teras rumah bangunan tersebut, efek seram tersebut berganti dengan rasa takjub dan senang dapat melihat bangunan bercat warna putih tersebut dari dekat. Kaca-kaca patri masih terpasang jelas pada kusen pintu, jendela, dan loster rumah tersebut.

Ketika salah seorang dari kami, Atria, ingin mengabadikan dalam bentuk foto, mendadak pintu rumah tersebut terbuka. Seorang laki-laki paruh baya keluar dan bertanya: “Apa yang sedang kalian lakukan?” tanyanya dengan wajah serius. Kehebohan kami yang sibuk memotret seketika berhenti. Rasa kaget dan cemas bercampur aduk menjadi satu. Iseng kami bertanya, “Sekarang, rumah ini difungsikan untuk apa, Pak?” beliau langsung menjawab, “rumah hantu!” Kami langsung terdiam, namun tidak lama kemudian, Pak Iwan, nama laki-laki tersebut, tersenyum. Kami pun akhirnya tertawa salah tingkah.

Kami dengan segera memberikan penjelasan bahwa kami ini adalah penggemar bangunan tua yang ada di kota Bandung serta penggiat di Komunitas Aleut. Lambat  laun, suasana pun mencair sehingga kami dapat leluasa bertanya banyak hal tentang rumah tersebut. Sayangnya, kami tidak diizinkan masuk karena kedatangan diikuti nyamuk hutan yang kelaparan. Alhasil, obrolan kami dilakukan di teras rumah, tanpa duduk, ditemani gerimis kecil serta nyamuk-nyamuk yang masih setia menggigiti kami.

Dari hasil obrolan singkat ini, banyak informasi yang berhasil kami dapatkan mengenai rumah tua tersebut dan wilayah sekitarnya, yakni Dago. Pak Iwan, yang ternyata adalah pemilik rumah tersebut, menjelaskan bahwa kawasan Dago dulunya merupakan kawasan vila. Kawasan vila yang dimaksud bukan konsep komplek vila (1) yang sekarang menjadi tren, melainkan sebuah rumah yang dikelilingi oleh kebun atau pekarangan yang cukup luas. Salah satu contoh vilanya adalah rumah tersebut. Menurut izin bangunan yang keluar pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, bangunan ini berdiri sejak tahun 1914. Berarti, rumah di Jl. ir. H. Djuanda 141 ini telah berdiri enam tahun lebih awal dibandingkan Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS Bandoeng) yang diresmikan pada 3 Juli 1920. Ketika bangunan Aula Barat dan gedung fisika THS baru didirikan, dilakukan pengambilan foto dari udara, rumah ini ikut terekam dalam foto tersebut; informasi ini dituturkan oleh Pak Iwan kepada kami.

Image_7
Foto angkasa ITB tahun 1925 (Tropen Museum).

 IMG_20131104_150358

Pembangunan perumahan di kawasan Dago mulai berlangsung marak sekitar tahun 1920-an, ketika THS Bandoeng didirikan. Sehingga saya menarik hipotesis bahwa rumah di Jl. Djuanda No. 141 ini merupakan salah satu bangunan paling tua yang tersisa di kawasan Dago.

Hal lain yang menarik dalam obrolan singkat yang kami peroleh adalah rumah ini memilki kembaran dalam ukuran yang lebih kecil di depannya yang difungsikan sebagai kantor (perlu dilakukan pengecekan kembali). Sekarang, kembaran rumah putih cantik ini sudah tidak ada bekasnya. Berganti dengan model rumah minimalis (di Jl. ir. H. Juanda 143). Sungguh sangat kami sayangkan!

Untuk penggunaan di masa pendudukan Jepang, tidak ada informasi yang bisa kami kumpulkan tentang bangunan ini. Pascakemerdekaan, terjadilah nasionalilsasi aset-aset milik Belanda. Menurut Bapak Iwan, rumah ini dijual oleh pemiliknya kepada bank (keterangan ini perlu di-crosschek lagi) sebelum mereka kembali ke tanah nenek moyangnya melalui Tanjung Priok. Kemudian orang tua Pak Iwan membeli rumah ini dari bank sebagai rumah tinggal sekitar tahun 1966. Ayah Pak Iwan termasuk anggota Angkatan Siliwangi yang ikut membantu pertahanan di Bandung. Sebelum membeli rumah tersebut, Pak Iwan dan keluarga tinggal di wilayah Bandung Selatan.

Sekitar tahun 1990-an, seorang kakek dari Belanda pernah mengunjungi rumah ini. Sang kakek bercerita bahwa dia lahir di rumah tersebut. Menurut penuturan Pak Iwan, orang Belanda berusia sekitar 70 tahun itu, mengaku bahwa ia lahir di kamar depan rumah tersebut. Kenangan manis dari kakek Belanda tentang rumah tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan ini mungkin tahun depan benar-benar hanya akan jadi cerita belaka. Informasi dari Pak Iwan, tanah rumah tersebut telah dibeli oleh swasta. Entah bangunan komersial apa lagi yang akan berdiri di tempat itu. Namun, Pak Iwan menambahkan bahwa beliau tengah berusaha memindahkan komponen-komponen dari rumah itu dan membuat replikanya di tempat lain.

Setidaknya, usaha Pak Iwan untuk mempertahankan beberapa bagian rumah itu di tempat lain dapat menggugah kita untuk sadar bahwa upaya pelestarian bangunan peninggalan kolonial itu tidaklah mudah. Biaya perawatan yang mahal serta letaknya yang di kawasan bisnis Dago dengan Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak murah, memperberat usaha untuk mempertahankan bangunan ini agar tetap ada. Terlebih lagi, rumah tinggal di Jl. ir. H. Juanda No.141 bukan termasuk ke dalam 100 bangunan cagar budaya yang dilindungi seperti yang tertera dalam “Peraturan Daerah Kota bandung No. 19 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya”.

Menurut saya, langkah lebih bijak jika perhatian pemerintah bukan hanya tertuju pada bangunan cagar budayanya saja melainkan juga kawasan sekitarnya. Pajak yang tinggi yang ditetapkan pemerintah untuk rumah tinggal kami rasa tidak pada tempatnya. Aturan pajak ini seolah dilakukan untuk menyulitkan individu yang memiliki lahan tersebut dan memudahkan swasta mengambil alih kepemilikan lahannya.

Kami berharap setiap kawasan masih menyisakan satu rumah tua untuk menjadi sebuah warisan bagi generasi penerus. Sebab bangunan-banguan seperti ini bisa menjadi media pembelajaran dan bukti sejarah yang tak terbantahkan. Seperti yang dilakukan di perkebunan yang dikelola oleh Bosscha di Pengalengan yang masih menyisakan satu “Bumi Hideung” untuk menjadi bukti tentang apa yang dulu dilakukan oleh Bosscha bagi para pekerjanya. Semoga setelah ini pemerintah lebih bijak dalam menyikap sejarah dan bukti sejarah yang ada.

Kita tidak bisa mengapresiasi atau belajar seseuatu jika kita tidak mengapresiasi ataupun mempelajari lingkungan sekitarnya

Catatan :

(1)   Konsep vila sekarang yang dimaksud adalah kumpulan beberapa vila dalam suatu komplek yang terletak di dataran tinggi atau pegunungan

Iklan

Satu pemikiran pada “Si Cantik, Dago 141

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s