Oleh Ridwan Hutagalung
Ini adalah kisah perjalanan putra Sunan Giri Prapen yang kedua dan ketiga, yaitu R. Jayengsari dan Niken Rancangkapti yang masih muda belia. Mereka lari dari istana Giri yang diserang musuh. Dalam pelarian ini mereka diiringi oleh santri Buras.
Perjalanan panjang ini mereka mulai dengan menumpang perahu tambangan di Kalimas. Lalu menuju Wanakrama, singgah di Sidacrema, lanjut ke Pasuruan, hingga mencapai Danau Grati (masih adakah danau ini?) yang banyak buayanya.
Rupanya dari Pasuruan, mereka agak memutar ke selatan, ke Singasari, Tumpang, dan memutar lagi ke Pasrepan, kemudian Tosari dan mendaki Gunung Tengger. Tampaklah oleh mereka lautan pasir dengan Gunung Brama di sebrangnya.
Seluruh dasarnya memang terdiri dari pasir tertutup abu yang keluar dari Gunung Brama. Oleh karena itu seluruhnya kelihatan putih metah. Bersih, tidak ada rumput dan kerokot atau semak yang dapat tumbuh di sana. Sewaktu gunung mengeluarkan api menjulang, padang pasir itu kelihatan putih sama sekali karena amat tebal pasirnya. Ditimpa sinar matahari bertambah putih mengilau. Gelombang-gelombang udara yang tampak di atas pasir bagaikan gelombang samudra. Orang tidak akan menyangka bahwa yang kelihatan itu bukan air laut, bahkan mengira yang terbentang luas itu benar-benar lautan di atas gunung.
Di Tengger, Jayengsari dan Rancangkapti ditemani oleh Ki Sudarga, wali desa yang mereka temui di Tosari. Ki Sudarga menyarankan agar mereka berkunjung ke Gunung Brama. Dengan melalui jalan sempit, sulit, bahkan menuruni jurang yang curam dan berbahaya, akhirnya mereka sampai ke lautan pasir.
Setelah menyebrangi lautan pasir, mereka mendaki menuju puncak Gunung Brama, lalu berjalan mengelilingi bibir kawahnya. Dari atas itu ngeri rasanya melihat ke dalam kawah yang luas itu. Kecuali kawahnya, terlihat banyak pula liang-liang terusan kecil-kecil yang senantiasa mengeluarkan asap berbau belerang terbakar. Merasa tak enak oleh bau-bauan itu, mereka pun segera turun.
Sampai di bawah, terlihat oleh mereka di sebelah timur ada sebuah gunung yang tidak seberapa tingginya, tetapi tampak elok. Menurut Ki Sudarga, tempat itu adalah Asrama Ngadisari, tempat pertapaan Ajar Satmaka, penghulu Gunung Tengger. Banyak sontrang dan endang (perempuan pelayan pendeta) yang cantik-cantik rupanya. Ajar Satmaka dan para pengikutnya masih terus menganut agama Buddha yang menyembah Sang Hyang Brama. Mereka tidak diganggu-gugat oleh para pembesar di Prabalingga.
Sebelum pulang ke Tosari, Jayengsari melahirkan hasratnya akan berkunjung langsung ke asrama Ajar Satmaka pada keesokan harinya. Pagi hari, setelah sarapan wajik jepen dan canthel serta ceriping linjik, ceriping singkong, dan ceriping kentang, kacang, gembili, ubi manis dan minuman temulawak panas dengan gula siwalan beserta dodol jagung, Jayengsari meminta Ki Sudarga menemaninya berkunjung ke Ngadisari menghadap Ajar Satmaka. Nyi Sudarga ikut serta pula membawa bekal kalau-kalau Rancangkapti lapar atau kehausan dalam perjalanan. Rombongan pun tiba di ladang padi milik pertapaan Ngadisari.
Mulai hari itu juga, tinggallah untuk sementara Jayengsari, Rancangkapti, dan santri Buras di pertapaan Ngadisari. Tentu saja ada banyak pelajaran yang akan mereka dengar dan dapatkan dari Ajar Satmoko. Di antaranya penjelasan tentang sesaji korban. Sekali setahun pada hari yang mulia orang-orang Tengger laki-laki perempuan tua-muda mempersembahkan korban berupa makanan dan pakaian kepada dewanya, yaitu Batara Brama. Mereka naik ke Gunung Brama dan sesudah sampai di puncaknya, maka semua yang mereka bawa dicemplungkan ke dalam kawah dipersembahkan kepada Sang Hyang Brama yang bersemayam di dalam api.
Ditulis ulang dari Serat Centhini Jilid I-B (Tardjan Hadidjaja & Kamajaya, 1979)
oleh Ridwan Hutagalung untuk Geotrek Bromo, 16-18 Maret 2012.