Oleh: Muhammad Ryzki Wiryawan
Guru kudu boga angkeuh : “Aing keur murid, lain murid keur aing”. Murid kudu boga angkeuh : “Aing keur guru; lain guru keur aing, da aing teh nu guru”
Minggu kemarin, Komunitas Aleut! mengadakan acara telusur sekolah jadul di Bandung. Namun ada yang kurang, yaitu tidak mengunjungi bekas Sakola Menak, atau nama resminya MOSVIA (Middlebarre Opleidingsschool voor Indlandsche Ambtenaren) yang kemudian berubah menjadi OSVIA. Semacam sekolah IPDN kalau sekarang, menghasilkan pegawai-pegawai negeri yang disipakan untuk mengabdi kepada masyarakat. Berikut ada sedikit kisah mengenai pengalaman seorang siswa OSVIA bernama Moehamad Hasan, yang saya sarikan dari sebuah artikel yang dimuat dalam buku Gedenkboek MOSVIA 1879-1929. Aslinya memakai bahasa Sunda, tapi supaya bisa lebih gampang dimengerti, saya terjemahkan ke bahasa Indonesia. (Hese oge gening,,, hehe)
…
Jaman dulu yang jadi menak itu selalu berdasarkan keturunan. Contohnya Bupati, selalu diganti sama anaknya. Begitu pula camat dan petinggi lainnya; anak camat akan menggantikan posisi camat, anak petinggi jadi petinggi.
Lalu apakah mereka cakap? Bisa Nulis? … Mungkin bisa kalau cuma aksara Jawa, tapi keterampilan Eropa seperti yang sekarang tidak ada yang punya. Dari sana muncullah sekolah Kabupaten, pertama kali ada sekolah, muridnya terdiri dari anak-anak menak di kota (dayeuh) dan anak Lurah dari desa. Tapi awalnya susah sekali menemukan anak yang mau disekolahkan, bahkan harus setengah dipaksa; Bahkan ada Lurah yang menyerahkan anak orang lain yang diaku sebagai anaknya, karena katanya sayang kalau anaknya yang disekolahkan.
Sejak itu Kanjeng Dalem (Bupati) mengangkat pejabat (Menak) dari siswa-siswa sekolah, siapa-siapa yang sudah lumayan pintar menulis, diangkat jadi kepala Cutak (Wedana), atau Camat. Siswa sekolah saat itu bahkan sudah ada yang punya anak. Setelah itu, Gouvernement mulai membangun sekolah di banyak tempat. Orang-orang mulai mengerti kegunaan sekolah dan mulai memasukkan anaknya ke sekolah.
Pada tahun 1880, berdirilah Sakola Menak di Bandung, yang hanya menerikma siswa anak-anak Menak kelas atas, seperti : Dalem, Patih, Wadana dan lain-lain. Ini juga awalnya tidak banyak yang mau, bahkan ada cerita Guru-gurunya harus berkeliling ke desa-desa untuk mencari calon siswa.
Sejak terlihat manfaat keluaran Sakola Menak, orang-orang berebutan memasukkan anaknya ke sini, apalagi sejak ditambahkan pelajaran hukum, kelasnya ditambah, dan dibuat dua afdeeling (bagian); Afdeeling A dan B, serta diganti namanya menjadi “Opleidingsschool voor Inlandsche Ambtenaren”. Setiap tahun berpuluh-puluh yang mau masuk, tapi tempat yang tersedia hanya belasan, sehingga sisanya terpaksa pulang lagi.
Foto Bersama tahun 1913
Bagaimana tidak pada mau masuk, dilihat dari budi pekerti siswanya yang baik, pengajarannya yang bagus, baik pelajarannya, makan dan tidur ada waktunya, setiap sore kamar siswa dironda, takut-takut ada yang kurang rajin belajarnya. Bahkan sampai jajan pun diatur, tidak boleh lebih dari 1,5 Gulden sebulan. Supaya tidak cepat habis, ada siswa yang sengaja membungkus uang-uang tersebut, besarnya 5 sen setiap bungkus sebanyak 30 buah, setiap hari diambil sebungkus supaya cukup sebulan.
Pengajaran di Sakola Menak sangat luhur dan bagus, ditambah siswanya yang pintar-pintar, ucapan sangat disaring dan dijaga, jangan sampai ada yang salah, karena nantinya mereka anak jadi Ambtenar (Pegawai Negeri), harus disiplin (stipt eerlijk), pengertian, baik budi, baik bicara, memiliki perlakuan adil, seperti yang disebut Al Qur’an.
Grup Pengajar tahun 1895
Pemimpin Sakola Menak adalah Directeur dan guru-guru, semuanya pilihan, sangat serius, giat bekerja, menjunjung kemanusiaan, dan jauh dari sikap sombong. Semboyannya adalah “Ieu sakola aing, murid anu aing, bereum hideung tanggungan aing, gorengna wiwirang” (Ini sekolah saya, murid saya, merah atau hitam adalah tanggungan saya, kalau buruk memalukan). Contohnya adalah tuan Directeur Borggreve, dan istrinya, yang sangat mati-matian dalam mengurus siswa. Kalau ada siswa yang sakit, maka akan dibawa ke rumahnya, malah sekali waktu beliau sendiri yang menggotong siswa dari kamar ke rumahnya, memakai kursi panjang. Suatu waktu ada 6 murid yang sakit dan dirawat di rumahnya, semuanya diurus mulai dari obatnya, makanannya, mengikuti anjuran dokter.
Saking bagusnya pengajaran di Sakola Menak, sampai-sampai siswanya tidak cuma berasal dari Jawa Barat, ada yang dari Sumatra, bahkan Borneo, dikirim ke Bandung untuk belajar di sini. Banyak siswa yang melanjutkan sekolah ke Sekolah Hukum di Batavia, setelah lulus menjadi Voorszitter Landraad. Ada yang sekolah ke Eropa, pulangnya mendapat gelar Meester. Ada juga yang masuk ke militer, penghasilannya kini mencapai ratusan Gulden.
Banyak juga lulusan Sakola Menak yang berhasil menjadi B.B. (Binnenland Bestuur – Pangreh Praja), banyak yang jadi Bupati, pangkat pribumi tertinggi, menguasai kota, jadi kepala sekalian pejabat pribumi, membina Hamba-hamba Allah se-kabupaten, memantau apakah ada yang kekurangan, merasa kurang nyaman, dan lain-lain. Sehingga yang memegang jabatan ini biasanya jadi paling unggul, paling untung; Berbuat satu kebajikan akan dibalas oleh Gusti Pangeran sebanyak jumlah bawahannya. Apabila bawahannya ada sejuta orang, dan dia membaca kulhu sekali, maka oleh Allah diganjar seperti telah membaca kulhu sejuta kali.
Klub Musik tahun 1910
nuhun, kaangge pisan infona. Lanjutkan!!!!
Hatur nuhun! 🙂