Titim Fatimah, Cahya Sumirat dari Jalancagak, Subang

Oleh: Komunitas Aleut

Jumat sore itu, 22 Desember 2023, saya berjalan di belakang mengikuti kawan-kawan yang sudah duluan melewati gerbang utama dan memasuki area permakaman umum Istuning di daerah Jalancagak, Subang. Tujuannya adalah mengunjungi makam seorang tokoh seni, seorang sinden, yang pernah besar namanya pada tahun 1960-1970-an lalu: Titim Fatimah.

Kompleks makam yang cukup padat ini tidak terlalu luas, juga bila dibanding dengan lapangan yang ada di sebelahnya, mungking sekitar duapertiganya saja. Kompleks makam terlihat bersih dan terawat, jauh dari kesan kumuh. Pada satu sisi terdapat pohon yang ukurannya besar sekali, pasti usianya sudah tua sekali. Bisa jadi makam ini seusia dengan pohon itu.

Walaupun kami tidak mempunyai informasi detail letak persis makamnya, tapi ternyata tidak terlalu sulit juga mencarinya. Dengan bekal sebuah foto dari google, kami tinggal membandingkan lingkungannya saja, dan … itu dia, yang ada empat tiang tapi tanpa atap. Letaknya tidak jauh dari jalan gang di perkampungan, dan dekat pula dengan pintu keluar masuk di sebelah kiri gerbang utama.

Satu per satu kami mendekati makam yang berpagar besi ini. Di keempat sisi pagar ada tiang-tiang yang harusnya berfungsi sebagai penahan atap, tapi malah atapnya yang sudah tidak ada. Entah atap seperti apa yang dulu melindungi makam ini, dan entah kenapa pula atapnya sekarang tidak ada. Di area makam tidak ada seorang pun, tidak ada yang bisa ditanya.

Makam Titim Fatimah dan kedua orang tuanya. Foto: Komunitas Aleut.

Di dalam pagar ada tiga buah makam, yang paling kiri terbaca pada nisan, namanya Hj. Amsuri binti Rinah, tanggal wafat 26 Januari 194(?). Di bawahnya masih ada tulisan yang sudah kabur, tidak terbaca, sepertinya “Jalan Cagak Subang.” Makam di sebelah kanan kondisi nisannya sama saja, sulit terbaca, namun bila diurut, sepertinya terbaca Damri Sumarta bin Subapraja (?), keterangan wafat dan seterusnya sulit dibaca. Nisan kedua makam ini dilapisi oleh kaca gelap tebal yang menambah kesulitan pembacaan. Badan makam dilapisi oleh porselen putih.

Makam Titim Fatimah terletak di tengah, di antara dua makam tadi, namun kondisinya agak lebih baik. Makam ini berlapis keramik abu-abu dengan nisan dari marmer hitam dan tulisan emas yang mudah dibaca: Sinden Ternama Tercinta / Titim Fatimah / binti / D. Sumarta. Di bawahnya ada keterangan lahir dan wafat yang tak terbaca karena terhalang semak-semak yang tumbuh dari tengah pusara, akarnya tertanam kuat, batangnya sudah besar.

Kami tidak dapat membayangkan seberapa tenar nama Titim Fatimah dahulu, tapi di internet ada yang membuat judul tulisan bahwa beilau adalah sinden favorit Bung Karno, dan sering diundang untuk tampil di istana negara. Ya tentunya sekaliber selebritis tempo kinilah ya.., apal agi katanya baru keluar dari kendaraan pun beliau sering dielu-elukan oleh masyarakat. Artinya kehadirannya di satu tempat bisa membuat heboh waktu itu.

Tapi kenapa kondisi makamnya seperti ini sekarang? Agak sedih melihatnya… Ya mungkin sebegini saja kemampuan kita menghargai sejarah yang istilahnya sering diulang-ulang dengan mudah oleh mulut kita, Jasmerah..

Sampul kaset Titim Fatimah album Mojang Priangan produksi Media Records. Koleksi Komunitas Aleut.

Ensiklopedi Sunda susunan Ajip Rosidi dkk (Pustaka Jaya, Bandung, 2000) memuat entri Titim Fatimah. Disebutkan bahwa nama aslinya adalah Siti Fatimah, kelahiran Deli, Sumatra Utara, 1936 dan wafat pada 24 Maret 1995, tanpa keterangan lokasi.

Ayah Titim, Damri Sumarta, yang berasal dari Jalancagak, Subang, adalah pegawai di sebuah perkebunan di Deli, itulah sebabnya kelahiran dan masa kecil Titim dilewatkan di sana. Menjelang usia sekolahnya Titim, keluarga ini sudah kembali ke Jalancagak. Di sini Titim disekolahkan di Vervolgschool. Sejak kecil Titim sudah memperlihatkan ia memiliki bakat ngawih.

Setiap kali Titim ngawih, ayahnya mengiringi dengan permainan kecapi. Titim kecil pun mulai kenal berbagai bentuk kesenian Sunda, termasuk kliningan. Ia selalu menonton bila ada pertunjukan kliningan, dan melalui tontonan itulah Titim mendapatkan pelajaran tambahan untuk ngawih. Dalam usia remaja, ia sudah banyak hafal lagu-lagu yang biasa dibawakan oleh para sinden. Bersama rombongan kesenian dari kampungnya, Titim mulai sering ikut manggung.

Idolanya masa itu adalah pesinden Upit Sarimanah (1928-1992) yang berasal dari Purwakarta yang sudah populer lebih dulu. Keinginannya untuk berjumpa langsung dengan idolanya baru dapat terwujud pada tahun 1952 di Garut ketika rombongan Seni Sunda Studio RRI Jakarta pimpinan Tuteng Johari (1914-1964) tampil di sana. Kepada Tuteng disampaikannya keinginannya untuk belajar ngawih secara langsung kepada Upit Sarimanah. Tuteng yang sempat ngetes suaranya mendorongnya untuk menyaingi Upit.

Beberapa minggu kemudian, Tuteng mengundangnya ke RRI Jakarta. Titim senang sekali akhirnya dapat memperdengarkan kemampuan ngawihnya lebih luas melalui siaran RRI. Suaranya ternyata mendapatkan apresiasi baik dari para pendengar siaran, termasuk dari sastrawan Sunda terkenal Mas Atje (M.A.) Salmun (1903-1972), yang kemudian memberikan nama Titim Fatimah sebagai pengganti Siti Fatimah untuk nama panggungnya.

Benar saja ramalan Tuteng Johari, Titim mampu bersaing dengan Upit Sarimanah. Keduanya menjadi sinden yang sangat populer dan selalu laku keras dalam pertunjukan. Bila mereka tampil, jalanan bisa macet saking banyaknya orang datang untuk menonton. Jumlahnya bisa ribuan. Begitu pula honor mereka, jauh di atas penyanyi nasional seperti Titik Puspa.

Titim dan rombongan keseniannya mulai sibuk memenuhi undangan pentas ke seluruh pelosok Jawa Barat. Ia juga memproduksi berbagai rekaman komersial dalam bentuk piringan hitam dan kemudian pita kaset. Lagunya yang paling terkenal kala itu adalah Tjahja Sumirat karya Oman Suganda. Lagu ini kemudian direkam dalam bentuk piringan hitam dengan iringan Seni Sunda Bhineka Tunggal Ika pimpinan Inen Saputra. Judul lagu ini kelak digunakan pula sebagai nama kelompok pengiring Titim Fatimah.

Dalam buku Eddy D Iskandar, Bandung; Tonggak Sejarah Film Indonesia ada cerita bahwa Titim Fatimah ikut tampil dalam Si Kembar produksi Gema Masa Film (1961) karya sutradara Agus Muljono dengan para pemain Ahmadi Hamid, Marlia Hardi, Fifi Young, . Dalam film ini Titim muncul sebagai pesinden bersama Mimi Mariani (Troely Callebaut). Ia membawakan lagu Karawitan dan Kulu-kulu, sedangkan Mimi membawakan lagu Kerja Bakti. Hidup Titim sepenuhnya mengandalkan dunia seni suara. Dari penghasilannya itu ia dapat membeli rumah di Kramat Sentiong, Jakarta, yang menjadi tempat tinggalnya sampai akhir hayatnya pada 1995. Pada masa akhir karirnya, ia mendirikan sebuah sekolah dasar di kampungnya di Jalancagak, Subang. Namanya SD Titim Fatimah, kelak sekolah ini diserahkan untuk dilanjutkan oleh pemerintah, dan ternyata masih aktif sampai sekarang, bahkan menjadi sekolah favorit, tanpa mengubah nama asalnya.

SDN Titim Fatimah di Jalancagak, Subang. Foto: Komunitas Aleut.

Titim Fatimah, yang di masa remajanya mengidolakan Upit Sarimanah, ternyata tumbuh berdampingan menjadi dua sinden paling legendaris, atau mengutip Ubun R. Kubarsah dalam tulisannya untuk forum diskusi di Pikiran Rakyat: dua sosok pesinden yang mampu mengangkat citra dan kedudukan seni kawih sinden menjadi kesenian rakyat nu diajenan, dan keduanya menjadi pesinden legendaris, yang sangat fenomenal hingga sekarang ini.

Menurut sebuah berita dari pasundanekspres.co bertanggal 19 Januari 2021, Pemkab Subang sempat menyelenggarakan Pasanggiri Sinden Titim Fatimah pada 2002, kemudian 2004, lalu vakum hingga diadakan lagi pada 2016 dan 2018. Sementara itu, pemerintah RI pada masa Presiden Megawati Sukarnoputri pernah memberikan penghargaan Satya Lencana Kebudayaan melalui Bupati Subang pada tahun 2003.

Pada halaman yang sama juga disebutkan bahwa Pemkab Subang pernah menjanjikan akan memenuhi usulan keluarga agar makam Titim Fatimah dijadikan situs budaya, namun sampai berita itu diturunkan rupanya janji itu belum juga terlaksanakan. Waduh, jadi inget satu spot di Museum Subang yang sepertinya akan difokuskan untuk koleksi peninggalan Titim Fatimah, namun masih kosong melompong, hanya ada satu lukisan saja yang terpajang di situ.

Saat berkunjung ke makam ini, teringat kembali satu kegiatan belakangan ini yang cukup intensif dikerjakan oleh Komunitas Aleut, yaitu digitalisasi musik Sunda. Piringan hitam dan kaset-kaset lama kami rekam menggunakan perangkat audio analog dan komputer ke dalam format digital. Kebanyakan rekaman Sunda lama ini kondisinya sudah tidak lagi mulus, sehingga harus dibersihkan dulu secara maksimal sebelum direkam ke komputer. Begitu juga dengan sampul-sampul albumnya, harus dibersihkan dulu sebelum discan.

Lewat pekerjaan itulah nama Titim Fatimah sering muncul. Suara dan gambarnya selalu muncul melalui komputer dan perangkat audio kami, suaranya begitu akrab, meliuk-liuk ke nada tinggi, kadang terasa nafasnya begitu panjang. Pemilik suara luar biasa itu, kini ada di depan kami, jauh di dalam tanah, mungkin sudah musnah pula. Jiwa raganya sudah kembali ke haribaan-Nya.

Entah berapa banyak sekarang ini orang yang masih mengenangnya, menikmati suaranya, membayangkan popularitasnya dahulu, lalu mencari tahu perannya dalam dunia kesenian Sunda, atau mencari tahu tentang perjalanan hidupnya dan pengaruhnya bagi orang-orang lain di masa hidupnya, atau pun setelahnya.

Kedatangan kami ke pusara ini tentu saja merupakan salah satu bentuk pengaruh itu, dan karena itu kami perlu memberikan penghormatan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Saat ini, hanya sebatas inilah kemampuan kami.

Sampul kaset Titim Fatimah album Macan Ucul produksi Gema Record. Koleksi Komunitas Aleut.

Salinan lirik Cahya Sumirat karya Oman Suganda:

Paingan atuh paingan teu tebih ti sangka ati..

Engkang kagungan panyawat.. panyawat langkung lantip

Teu kaop lepat saeutik Engkang babarian bendu

Saruping mundut lantaran hoyong pirak sareng abdi

Da Engkang mah rupi nu teu sayaktosna.

Panon poe tunggang gunung sinar layung ngenclong kuning den mas

Gumilang kunang-kunangan

Dumeling lir beunang nyangling ngawang-ngawang narawangan

Gandrung… lenglang taya aling-aling.

Kulungkung kumelengkung gumilang ku mendung Asri den mas

Laligar ratna komara… ngancik dina cahya manis

Kawas malik ge salaka..

Kawas melik ge salaka lalangse peurih hapsari

Peurih hapsari.

Sinar layung mendung nguyung panggendam panghudang sari

Cahaya panghudang rasa.. rasa tumitis jasmani

Sinar tepung Atma sukma (gandrung)

Ginulur jempling nyaring.

Meleber mawar ngahiur (gandrung)

Angin silir ngahiliwir

Sumebar nyebarkeun sekar meleber Ambar kasturi

Mun kersa keur kasukaran…

Hegar ligar pikir ketir dunungan.

***

You may also like...

2 Responses

  1. azkal says:

    bang boleh tanya-tanya soal catatan ibu titim fatimah ?

Leave a Reply to KomunitasAleut! Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *