Dago, Kamis, 13 Juli 2025
Oleh: Dongeng Bandung
Hari ini, Kamis, 13 Juli 2025, Dongeng Bandung diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan Festival Teater Ruang Publik (TERAP). Kawasan yang dipilih untuk kegiatan ini adalah Jalan Dago (Ir. H. Djuanda), mulai dari sekitar kantor PMI Jawa Barat sampai ke lokasi tiga gedung kembar yang sering disebut oleh kalangan peminat sejarah Bandung sebagai Drie Locomotieven. Secara jarak, tidak sampai tiga kilometer dan ditempuh dengan menggunakan angkot. Ngadongengnya hanya berlangsung di empat lokasi saja yang sebelumnya sudah dipilih oleh tim TERAP berdasarkan bahan-bahan dari website-nya Komunitas Aleut. Pemilihan lokasi juga disesuaikan dengan keseluruhan kegiatan lapangan yang berlangsung satu hari itu, di antaranya ke Cika-cika dan Babakan Siliwangi. Sore hari segenap rombongan TERAP dan Komunitas Aleut sudah berada di depan hotel The Jayakarta Suites, Bandung.
Dago
Asal-muasal penamaan Dago untuk ruas jalan dan sebuah kawasan di bagian utara Bandung tidak pernah jelas. Yang ada hanyalah dugaan-dugaan berdasarkan penelusuran belakangan ini saja. Misalnya yang paling terkenal adalah kisah yang disampaikan oleh seorang tokoh yang sering dijuluki Kuncen Bandung, Haryoto Kunto.
Dalam bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia, 1986), ada cerita dari masa pertengahan tahun 1800-an. Warga kampung di daerah sebelah utara Coblong, biasanya berangkat dini hari berjalan berbarengan untuk pergi ke pasar yang terletak di kota. Karena hari masih gelap, mereka berbekal obor untuk menerangi jalan, sedangkan kaum pria yang menemani perjalanan, masing-masing membekali diri dengan parang atau tombak, karena pada waktu itu jalanan di sekitar Coblong (Dago Utara sekarang) sampai ITB masih merupakan jalan setapak dikelilingi hutan belukar dan sangat sepi. Sebelum berangkat, warga biasanya saling menunggu satu sama lain atau dalam bahasa Sunda istilahnya padago-dago agar bisa berangkat bersama. Konon dari kegiatan padago-dago itulah lama kelamaan menjadi nama kawasan.
Masih dari Haryoto Kunto, kali ini dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984), konon ruas jalan setapak yang menghubungkan Bandung baheula dengan kawasan perbukitan utara – termasuk Dago – sudah lama ada dan menjadi penghubungan daerah Bandung dengan jalur jalan kuno dari masa Kerajaan Sunda. Jalur ini lebih kurang: Alun-alun – Merdikalio – Balubur – Coblong – Dago – Buniwangi – Maribaya (lewat Puncak Eurad) – dan akhirnya bertemu dengan jalur kuno yang menghubungan Sumedanglarang dengan Wanayasa di sekitar Subang sekarang.
Dalam buku ini ada satu informasi sangat singkat yang sering mengundang rasa penasaran, tapi sekaligus juga kebingungan, karena tidak pernah mendapatkan informasi tambahannya. Konon, Andries de Wilde, tuan tanah dan pengawas kopi Priangan yang terkenal itu, menikah dengan seorang mojang Priangan dan mendirikan sebuah vila indah di Kampung Banong, di daerah Dago Atas. Selanjutnya Haryoto Kunto menulis, mungkinkah nama Banong tersebut merupakan asal nama Bandong, seperti yang ditulis De Haan, dan yang akhirnya berubah menjadi Bandung?
Pada masa Hindia Belanda, kawasan Dago ke sebelah utara, sudah menarik perhatian sejumlah kalangan, terutama dari dinas pemerintahan dan para peneliti, serta beberapa individu peminat alam. Misalnya, pada tahun-tahun terakhir menjelang 1900, diketahui Raja Siam (Thailand) pernah berkunjung ke Curug Dago dan membuat prasasti yang baru ditemukan oleh masyarakat Bandung pada tahun 1980-an. Lalu tahun 1908, pemerintah Kota Bandung membangun sistem pemanfaatan air dengan membuat penampungan di kawasan Tahura sekarang serta saluran air bersih untuk warga kota, sebagian saluran air itu sekarang dikenal sebagai Gua Belanda Tahura Djuanda. Begitu juga dengan pemanfaatan aliran sungai Ci Kapundung untuk pembangkit listrik dengan membangun waterkracht (PLTA) di Bengkok (!) dan Dago.
Pada tahun 1917, kelompok Bandoengsche Comite tot Natuurbescherming (Komite Perlindungan Alam Bandung) telah merancang pembangunan sebuah museum alam (konservasi alam) yang dinamakan Soenda Openlucht Museum(Museum Alam Terbuka Sunda), walaupun akhirnya tidak berlanjut karena kawasan tersebut keburu terbuka akibat warga di pedalaman membuka lahan-lahan luas untuk persawahan dan perladangan. Kawasan Dago kemudian berkembang masif setelah beberapa orang Belanda mendirikan bangunan-bangunan baru seperti Huize Dago yang kemudian menjadi Dago Thee Huis (Dago Tea House) atau Sanatorium Dago (sekarang kompleks PMI Jawa Barat) yang terletak tak jauh di sebelah utara lahan Hotel Jayakarta.
Sanatorium Dago
Di seberang hotel The Jayakarta Suite saat ini berdiri Gedung PMI milik Provinsi Jawa Barat dengan nama Gedung HMA Sampurna. Gedung ini bukanlah gedung lama, tetapi merupakan bagian dari sebuah kompleks sanatorium untuk penderita gangguan saraf yang didirikan tahun 1931. Ada juga satu berita di tahun yang menyebutkan sanatoium di Dago ini adalah sanatorium untuk militer. Berita lainnya umumnya menyebutkannya sebagai sanatorium khusus untuk orang Eropa.
Kisah ini dimulai dengan sebuah rencana dari Pemerintah Kota Bandung yang bekerja sama dengan perkumpulan Bandoeng Vooruit untuk mengembangkan kawasan di sebelah utara Dr. De Grootweg (sekarang Jalan Siliwangi). Yang pertama menyambut rencana ini adalah KB Han van Parapattan dari Batavia. Berdasarkan saran dari Ketua Bandoeng Vooruit, WH Hoogland, ia membeli tanah seluas 3 hektar dengan bayangan akan membangun sebuah landhuis atau rumah pedesaan yang memiliki panorama indah dan terbuka ke arah pusat Kota Bandung itu. Sudah terbayangkan sebuah istana desa dengan taman rusa, lapang tennis, kolam teratai, lengkap dengan sejumlah pavilunnya.
Ribuan kuli bangunan sudah sibuk membuat jalur-jalur jalan di sekitar Dr. De Grootweg. Selain Han, seorang tokoh Tionghoa dari Bandung, Poeij Kok Gwan, pemilik firma terkenal Gwan An, juga sudah membeli sebidang tanah di kawasan yang ketika itu juga dijuluki sebagai Boulevard para Jutawan. Ia bahkan sudah siap dengan rancangan rumahnya.
Bersamaan dengan itu, Dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman mendorong kelompok gabungan para dokter dari Batavia dan Bandung untuk membeli sebidang tanah untuk pembangunan sebuah sanatorium besar dan ultra-modern dengan dorongan dan bantuan dari WH Hoogland dan Bandoeng Vooruit. Semua cerita ini diberitakan oleh koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 22 Juli 1930.
Kurang sebulan setelah berita di atas, muncul berita lainnya, pada tanggal 27 Agustus 1930, mengenai kegiatan 40 orang yang terdiri dari ibu-ibu dan remaja putri beserta anggota padvinders (pandu) yang berjualan bunga-bungaan di Pasar Gambir, Weltevreden, untuk membantu pendanaan pendirian sanatorium militer di Bandung. Seluruh dana ini akan dikelola oleh perkumpulan perwira Ons Aller Belang.
Belum ditemukan kapan Sanatorium Dago ini resmi dibuka atau beroperasi, namun berita dalam koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi tanggal 6 Januari 1932 tercantum berita yang menyebutkan bahwa Dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman, seorang dokter perempuan, telah membuka sebuah sanatorium untuk para penderita gangguan saraf. Sementara pembangunan berlangsung, sanatorium sementara ditempatkan di Oude Merdikaweg 16, di tempat tinggal para dokter sanatorium. Diceritakan pula bahwa sanatorium ini dilengkapi dengan perangkat dan peralatan paling modern dengan sistem operasional berdasarkan standar Eropa. Sanatorium baru ini dibangun untuk memenuhi peningkatan jumlah pasien yang tidak lagi dapat ditampung di Oude Merdika.
Sanatorium baru didirikan di lahan pribadi milik Dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman di kawasan peristirahatan dan wisata Dago, dekat dari Bandung. Dalam kawasan itu didirikan sebuah bangunan besar dan 11 bangunan lainnya. Pada lahan kosongnya dibangun taman, lapangan tenis, area bermain anak, dan hutan pinus. Untuk fasilitas tambahan, ada unit sendiri untuk terapi warna dan cahaya, serta pemandian busa karbon dioksida seperti yang terdapat di Kissingen en Nauheim, Jerman. Pemandian ini untuk terapi pengobatan arteriosklerosis, pengerasan pembuluh darah arteri akibat penumpukan plak di dinding arteri.
Sisa-sisa kompleks Sanatorium Dago masih dapat ditemui di tempatnya semula. Sama sekali sudah tidak lagi utuh, sebagian hilang, sebagian tersisa rangka-rangka bangunannya, tapi jejaknya masih dapat dilihat, mulai dari Gedung PMI HMA Sampurna ke arah utara, sampai lokasi pom bensin. HMA Sampurna yang dijadikan nama salah satu gedung itu merupakan penghargaan kepada Ketua PMI yang menjabat pada periode 1995-2000. Website PMI Jawa Barat, tidak memuat informasi detail bagaimana mereka pengelolaan kompleks gedung eks Sanatorium Dago bisa beralih ke PMI.
Hanya ada informasi bahwa PMI Jawa Barat baru terbentuk pada tahun 1956 dengan ketua Kosasih Kartasasmita dan sekretaris Chaidir Gazali. Saat itu kantornya di Jalan Nias No.2, kemudian pada tahun 1965 pindah dan berbagi tempat dengan PMI Kota Bandung di Jalan Aceh No.79. Baru pada tahun 1977 PMI Jawa Barat menempati lokasinya sekarang di Jalan Ir. H. Djuanda No.436-A, Bandung.
Selain Dago, ternyata dalam peta-peta lama terpampang juga nama-nama kampung atau kawasan yang masih hidup sampai sekarang, seperti Coblong, Pojok, Elos, dan Simpang. Lalu di sebelah timur ada Cigadung, Sekeloa, Ciheulang, Haurpancuh, dan ke timur lagi, Cibeunying. Di sebelah Simpang barat ada Lebakgede, Lebaklarang, Cisitu, Balubur, Cipaganti, Cihampelas, dst. Nama-nama ini sudah bertahan lebih dari seratus tahun dan masih terus memberikan kemungkinan untuk penelusuran riwayat daerahnya. Bayangkan bilsa semua diganti karena semangat kekinian, misalnya menjadi nama-nama dengan imbuhan hills, permai, asri, square, indah, dst dst.. Asa lain di Bandung.
Sekarang kita ke Coblong dulu. Mengenai daerah ini sudah pernah ditulis oleh Alex Ari di sini. Dalam tulisan itu disinggung dua makna coblong, yang pertama bermakna gorong-gorong, yang kedua bermakna wadah air berukuran kecil yang terbuat dari tanah liat. Keduanya bisa berhubungan dengan pembangunan instalasi pembangkit listrik di Bengkok dan Dago (Cikalapa) serta pembuatan penampungan dan saluran pipa-pipa air di wilayah itu. Dalam buku karya Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Bandung Raya, ada cerita mengenai bupati Wiranatakusumah IV yang senang menyamar dan blusukan ke kampung-kampung. Salah satunya adalah mengunjungi Kampung Coblong dan menginap di sana. Dari sinilah didapatkan cerita tentang bagaimana warga kampung sering padago-dago untuk bersama-sama mengadakan perjalanan ke Dayeuh Bandung.
Simpang
Di selatan Dago dan Coblong, ada nama daerah yang juga sudah lama ada, yaitu Simpang. Kawasan ini membentang cukup luas, kira-kira berbatasan dengan Lebakgede (Babakan Siliwangi sekarang) di sebelah barat, dipisahkan oleh ruas utama Jalan Dago, Sekeloa dan Ciheulang di sebelah timur, Dago-Coblong di sebelah utara dan Balubur di sebelah selatan. Jadi nama Simpang yang disematkan pada Dago-Simpang sebenarnya tidak praktis mengacu pada simpang jalan antara Jl. Dago – Jl. Siliwangi – dan Jl. Dipatiukur seperti yang terlihat sekarang. Usianya jauh lebih tua daripada persimpangan yang baru mulai terbentuk belakangan itu, kemungkinan menjelang tahun 1940, sedangkan pasarnya, baru muncul kemudian hari. Menurut informasi dari sebuah jurnal, Pasar Simpang Dago baru dibangun permanen pada tahun 1949 (“Arahan Perluasan Kawasan Pasar Simpang Dago Berdasarkan Rencana Tata Ruang Kota Bandung,” dalam Bandung Conference Series: Urban & Regional Planning. Vol.3 No.2, 2022. Deby Shafa Anifa, Ira Safitri Darwin. Unisba, 2023).[1]
Dago 141
Tempat terakhir yang menjadi tempat ngadongengkeun Dago ini adalah lokasi sebuah rumah yang beralamat di Jalan Dago No.141. Rumah tua ini rupanya menarik perhatian tim TERAP karena membaca salah satu artikel lama (2013) di website Aleut yang ditulis oleh Hani Septia Rahmi dan Atria Dewi Sartika. Ada ketertarikan pada cerita bangunan-bangunan tua yang dulu masih berserakan di sepanjang Jalan Dago dan kini sudah semakin susut jumlahnya. Salah satu yang masih dapat ditemui adalah sebuah rumah yang agak tersembunyi, harus masuk agak jauh ke dalam dari jalan raya Dago.
Dulu beberapa rekan Komunitas Aleut memang berkawan dengan pemilik rumah tersebut, Pak Iwan, kalau tidak salah seorang arsitek yang tergabung dalam Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB). Bahkan Pak Iwan sempat beberapa kali mengukti kegiatan Ngaleut, salah satunya ke Kampung Mahmud bareng alm. Pak Budi Brahmantyo.
Menurut Pak Iwan, rumahnya itu sudah berdiri tahun 1914, jadi enam tahun sebelum kampus THS (ITB) dibangung. Ada sebuah foto angkasa yang menunjukkan keberadaan rumah tersebut di sisi timurlaut kampus THS pada tahun 1925. Melihat bentuk bangunannya saat ini, sepertinya sudah ada beberapa perubahan dalam penampakannya, tapi yang penting masih terawat dengan baik, masih dapat dilihat, dan dikaji oleh generasi berikutnya. Apalagi bila memerhatikan kondisi bangunan-bangunan tua saat ini yang sudah banyak mengalami perubahan drastis dari bentuk aslinya, sebagian bahkan musnah, seperti satu bangunan di seberang jalan yang musnah terbakar setahun lalu, atau rumah lainnya yang terletak lebih ke utara, musnah dan berganti menjadi sebuah minimarket.
Sebagai bonus, seluruh rombongan juga mampir ke lokasi bangunan kembar tiga, Drie Locomotieven. Dua bangunan di sisi utara terlihat masih cukup baik, walaupun sudah mengalami beberapa perubahan. Yang di tengah terlihat dalam kondisi yang bagus, rapi, dan bersih. Yang menyedihkan, bangunan yang terletak paling bawah (selatan), tampak sakit-sakitan seperti menjelang ajal. Dengan sekian banyak peminat bangunan kuno atau bangunan cagar buda, banyak ahlinya, bahkan konon ada peraturannya, ternyata salah satu bangunan yang sering dibicarakan orang bila membahas soal bangunan tua di Bandung ini – bahkan merupakan salah satu jejak karya arsitek penting di Bandung baheula, AF Aalbers – ternyata bisa pelan-pelan rusak di depan mata. ###
[1] https://proceedings.unisba.ac.id/index.php/BCSURP/issue/view/101