Tag: Gunung Lumbung

Catatan Momotoran Cililin; Susur Jalur Desa

Oleh: Fikri Mubarok Pamungkas

Catatan versi Story Maps ada di sini.

Mapay jalan satapak

Ngajugjug ka hiji lembur

Henteu maliré kacapé

Sabab aya nu ditéang

Dalam perjalanan momotoran ke wilayah Cililin (lagi) minggu lalu, saya teringat lirik lagu Mawar Bodas dari Doel Sumbang itu. Momotoran di Aleut memang sudah dapat dipastikan akan melewati kampung-kampung alias lembur, kawasan yang jauh dari daerah padatnya perkotaan. Begitupun dengan perjalanan momotoran kali ini yang justru kebanyakan melewati perkampungan, mungkin mirip susur kampung.

Kami telah merencanakan momotoran ini seminggu sebelumnya dengan tujuan latihan menulis catatan perjalanan bagi anggota ADP 2023 dengan media belajar momotoran. Tak banyak rencana destinasi yang akan dikunjungi, hanya beberapa saja, itu pun sekeinginannya di jalan. Momotoran kali ini juga tak seperti biasanya karena tidak menargetkan kunjungan ke tempat bersejarah, seketemunya saja. Karena itu, pada tulisan kali ini saya hanya menceritakan pengalaman pribadi saja dalam mengikuti perjalanan momotoran itu.

Saya merasa senang bisa momotoran lagi ke kawasan Cililin bersama Aleut, dan ini adalah momotoran yang ketiga kalinya buat saya ke daerah ini. Seperti sebelumnya, kali ini pun kami menempuh jalur jalan yang berbeda. Dalam perjalanan terakhir, kami mengambil jalur Jatisari lalu berbelok ke tanjakan cukup berat di Bahubang Legok, kemudian masuk ke jalur jalan berlumpur. Hari ini kami mengambil jalan lurus ke Jati Bunikasih, lalu Mariuk, Cipapar-Cibadak, dan melewati Desa Situwangi lagi tapi di kawasan yang berbeda.

Perjalanan sejak pagi tadi cukup menyenangkan, dimulai dari sekretariat Aleut, kemudian ke kompleks TKI untuk menjemput seorang rekan yang memang tinggal dekat daerah itu, lalu menuju Jatisari yang menjadi gerbang untuk kawasan yang akan kami datangi hari ini. Menjelang Mariuk, di Kampung Cibadak, kebetulan saya berada di urutan paling depan, sedangkan kawan-kawan lain di belakang dengan jarak tidak terlalu berjauhan. Di sebuah tanjakan, kawan paling belakang membunyikan klakson dan menghentikan motornya. Rupanya mau menyetel rem. Pada saat itulah ia sepertinya melihat sesuatu yang menarik perhatian dan memanggil kami yang berada di depan untuk memutar balik.

Ternyata ia melihat sebuah warung yang tampak menarik lokasinya, di dasar lembah berdampingan dengan hamparan sawah yang sedang menghijau segar. Pemandangan ini memang langsung terasa sangat menarik, membuat kami memutuskan untuk melihat langsung warung itu dari dekat. Jadi, kami putar balik, dan berbelok di sebuah jalan menurun yang agak teduh karena lebatnya rumpun-rumpun bambu di sisi kiri dan kanannya. Jalannya tidak lebar, tapi kondisinya termasuk bagus untuk ukuran daerah itu. Tidak terlalu jauh dari belokan tadi, kami sudah tiba di sebuah gapura bambu berukuran kecil di sisi kanan jalan. Gapura ini diapit oleh pagar bambu yang cukup tinggi sehingga bangunan di dalamnya hanya terlihat bagian atapnya saja.

Pemandangan ke arah Batu Nini dari Warung Lugina. Foto: Fikri Mubarok Pamungkas.

Sebelum masuk ke area warung, dari kejauhan saya melihat batu besar yang menjulang tinggi di lereng gunung di sebelah kiri saya. Batu itu sudah tak asing lagi buat saya karena beberapa waktu lalu pernah mendaki ke atasnya. Sungguh pengalaman luar biasa bisa berada di atas batu itu. Ketika melihat ke bawahnya, ada perasaan ngeri juga, karena merupakan jurang yang dalam. Dari sana asyik sekali mengamati kebun-kebun, hutan, sawah, dan permukiman yang tersebar jauh di bawah. Andai sebelum mendaki itu saya sudah tahu keberadaan warung ini, tentu saya akan mencari-cari lokasinya dari atas sana.

Gerbang Warung Lugina yang berbatasan dengan persawahan. Foto: Fikri Mubarok Pamungkas.

Kembali ke warung ini. Di gapura terbaca namanya: Warung Lugina. Tempatnya terlihat nyaman, didominasi warna hijau, merah marun, dan coklat. Warna hijau dari sawah yang menghampar di belakang serta tetumbuhan di seluruh area warung, merah marun dari warna atap warung, dan coklat dari warna pagar dan bangunan warung yang terbuat dari kayu dan bambu. Baru beberapa langkah, terasa beruntung juga menemukan keberadaan warung dengan lokasi yang nyaman di sini, apalagi mengingat sebelumnya sempat ada obrolan selintas ingin mampir ke sebuah resto atau cafe yang pernah populer bernama Breeze. Saat lewat, rasanya tempatnya terlalu modern bagi kami.

Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam di Warung Lugina. Mengobrol seru dengan pengelolanya, Pak Rahmat, yang ramah dan senang bertukar cerita. Sambil ngobrol, beliau menggoreng beberapa piring bala-bala dan tempe, juga menyeduh minuman pesanan kami. Semua dilakukannya sendiri. Lalu tiba juga waktunya berpamitan dan melanjutkan perjalanan. Saya dan kawan-kawan menyimpan beberapa catatan dari obrolan yang santai dan menyenangkan ini, terutama mengenai pengalaman hidup Pak Rahmat sejak usia mudanya.

Kami kembali menyusuri jalanan di Kampung Cibadak menuju Desa Situwangi. Ruas jalannya tidak terlalu besar, bila dua mobil berpapasan, mungkin harus mengatur jarak agar bisa lewat satu per satu. Jalannya sih sudah dilapisi beton, buat motor cukup memudahkan. Perkampungan demi perkampungan kami lalui, juga hutan-hutan kecil, hingga sampailah kami di Desa Situwangi.

Dari Desa Situwangi kami mengambil jalan ke arah kiri dan tepat di sebuah pertigaan, rekan yang berada paling depan berhenti untuk menunggu rekan lainnya. Lalu ada seorang warga yang menanyakan “bade ka saha?” sontak kami sedikit bingung untuk menjawabnya. Untungnya saat melihat petunjuk arah di hp langsung teringat, bahwa kami akan mengunjungi Makam Eyang Dalem Angga Yuda. Maka kami pun langsung menjawabnya dan bertanya apakah jalur ini betul atau salah. Ternyata benar, jalan ini ialah jalur menuju Makom yang dimaksud.

Jalanan menuju makom lumayan menanjak dan semakin sempit di atasnya, mungkin hanya bisa dilewati oleh dua motor saja. Kami melewati sebuah kampung kecil dengan sawah-sawah di sebelah kiri jalan, sedangkan sebelah kanan jalan terdapat rumpun-rumpun pohon bambu, hutan kecil, dan ladang. Tepat di puncak, terdapat sebuah baliho yang menunjukkan bahwa makam Eyang Dalem Angga Yuda. berada di sekitar tempat ini, namun masih harus jalan kaki ke atas bukit.

Tidak ada tempat parkir di sini, sehingga kami harus menyusun motor-motor di lahan-lahan sempit di sela rumah paling depan. Dari sini berjalan kaki sedikit, lalu di sebelah kiri ada lorong sempit bertangga batu yang penuh lumut untuk naik ke atas bukit. Tidak terlalu jauh naiknya, mungkin sekitar 20 meteran.

Bagian atas bukit ini seluruhnya terisi oleh permakaman umum dan di tengahnya berdiri sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat makam yang dikeramatkan, yaitu makam Eyang Angga Yuda. Makam-makam paling depan yang kami temui ukurannya tidak biasa, sekitar 3-4 meter panjangnya. Ketika bertanya pada dua orang bapak warga lokal yang sedang duduk-duduk dekat area makam keramat, ternyata mereka juga tidak tahu kenapa makam-makam di depan itu ukurannya panjang-panjang.

Lorong tangga menuju kompleks makam dan makam panjang yang kebanyakan tanpa nama. Foto: Deuis Raniarti.

Di dekat bangunan makam keramat ada sebuah bangunan lain dengan ukuran lebih kecil, katanya sih warung. Saya kira warung ini aktifnya bila sedang ramai orang datang berziarah ke sana. Makam-makam seperti ini memang selalu ramai sekali pada hari-hari atau event tertentu. Di salah satu sisi dinding luar bangunan ini terdapat spanduk besar berisi keterangan silsilah Eyang Dalem Angga Yuda. Bertanya tentang nama-nama yang tercantum pada bapak-bapak tadi pun hasilnya sama saja, nihil. Kejadian seperti ini cukup sering kami temui di tempat-tempat yang dikeramatkan seperti ini, para pengunjung seringkali tidak tahu apa-apa tentang siapa yang diziarahinya. Fenomena yang sangat menarik.

Saat kami datang ini ada beberapa orang yang sedang berziarah juga, termasuk satu pasangan sepuh yang berjalan dengan tertatih-tatih. Mereka baru saja keluar dari bangunan utama dan sepertinya sudah selesai dengan kegiatannya. Si ibu tampak bersemangat melihat rombongan kami dan menyerukan sesuatu, semacam “Tah kitu atuh anu ngarora, sok pada ziarah.”

Kami pun melihat-lihat ruangan dalam bangunan utama yang berisi makam Eyang Dalem Angga Yuda. Cukup luas juga dan terdapat sebuah area untuk tawasulan. Setelah itu kami mengelilingi area makam yang ada di belakangnya. Walaupun berada di ketinggian, tapi dari atas sini pandangan ke bawah tidak bebas, karena padat dan rimbunnya pepohonan yang mengelilingi area makam ini.

Kami tidak terlalu lama berada di area makam ini, kemudian turun lagi dan melanjutkan perjalanan menyusuri kampung yang cukup padat dengan jalan-jalan sempit yang cukup tajam tanjakannya. Kampung-kampung ini walaupun terlihat padat, tapi umumnya sepi. Mungkin sebagian besar penghuninya sedang sibuk berladang atau menggarap sawah. Tak terbayangkan sih keseharian warga di sini, bila akan pergi ke tetangga dekat saja harus berjalan kaki menempuh tanjakan atau turunan yang curam-curam begini.

Usai tanjakan panjang dan setelah SDN Budiwangi, kami bertemu jalan utama Bahubang-Batukarut. Ke kanan menuju Cihampelas, ke kiri ke Bahubang Legok yang sudah pernah kami lalui dalam perjalanan terdahulu. Di sini kami spontan mengambil jalan ke kanan untuk menuju lokasi berikutnya, yaitu ke Walahir. Jalanannya cukup bagus, di sisi kiri kanan jalan tidak terlihat ada rumah-rumah, hanya ladang dan tanah kosong. Di beberapa bagian ada jalanan rusak dan berpasir yang membuat motor kadang agak goyah. Sampai di bawah, kami baru menyadari bahwa jalan ini menuju ke Desa Utama, artinya kami malah balik lagi ke jalan utama, tidak jauh dari lokasi tadi bertanya tentang makam Eyang Dalem Angga Yuda, haha. Putar balik deh.

Lucunya, setelah putar balik ini, rombongan malah kepencar-pencar. Ada dua motor yang sudah melaju cepat jauh di depan dan tidak terlihat lagi dari pandangan. Nanti kami ketahui bahwa dua motor di depan ini pun ternyata terpisah cukup jauh, walaupun masih berada di jalur yang sama. Saya bersama dua motor lagi yang tertinggal di belakang berinisiatif mengambil sebuah jalan beton yang belok ke kanan. Jalan ini agak terlindung di balik lebatnya rumpun-rumpun bambu yang tinggi. Sedari tadi saya sudah mengetahui jalur jalan ini melalui google maps dan terlihat jalur ini merupakan yang terpendek untuk menuju ke Puncak Gantole.

Setelah agak jauh ke dalam dan tiba di sebuah pertigaan, hati mulai ragu, karena tidak terlihat rekan-rekan yang sudah duluan di depan. Ini tentu saja tidak biasa, karena di Aleut, bila berada di kawasan yang belum akrab dan menemui jalur bercabang seperti ini, sudah pasti akan ada yang menunggu agar yang di belakang tidak terpisah karena salah ambil jalur jalan. Saya pun memutar balik dan di bawah bertemu dengan satu motor lain yang rupanya menyusul kami karena tidak kunjung muncul di jalur yang sudah mereka tempuh. Kami kembali ke jalur jalan utama Bahubang-Batukarut.

Kawasan yang membuat rombongan kami terpencar-pencar. Jalannya mah lurus-lurus aja, tapi karena masing-masing pegang google maps, ya itulah yang akhirnya memisahkan haha. Foto: Deuis Raniarti.

Lagi-lagi di sebuah pertigaan, rekan yang di belakang saya ternyata tidak mengikuti dengan cepat sehingga terpisah kembali. Saya memutuskan berbelok ke kiri yang jalannya agak menanjak lalu menunggu di atas, sembari menunggu balasan chat dari rekan yang telah berada di depan. Setelah menerima balasan, kami memutuskan mengambil jalan lurus, sebab jika dilihat dari peta gmaps ada jalan yang mengarah ke rekan yang berlokasi di sana. Tapi setelah kami ikuti jalur ini, ternyata malah semakin menyempit, mungkin hanya cukup satu motor saja sehingga kami pun kembali berputar arah dan mencoba jalan lain yang berbelok ke kiri. Jalan ini justru lebih parah sampai ke ujung jalan beton dan mengarah ke hutan.

Akhirnya teknologi whatsapp juga yang menyelesaikan persoalan salah mengerti ini. Kami kembali ke jalan utama Bahubang-Batukarut, belok kanan, lalu menyusul rekan-rekan yang menunggu jauh sekali di depan. Akhirnya kami bertemu kembali bersama rombongan, setelah terpisah mungkin sekitar 20 menit.

Dari sini kami menempuh jalur jalan perkampungan yang kecil menuju Pojok Walahir dan Puncak Gantole. Menempuh lagi jalur tanjakan Cipamonokan sampai ketemu pertigaan ke Gedugan. Lalu belok kanan ke Pasirpanjang-Cijeruk yang menanjak dan mengikuti jalur jalan berliku. Jalan di sini kondisinya sangat baik dan nyaman dilalui. Jalanan yang mulus sangat membantu motor kami yang tenaganya pas-pasan ini dalam menapaki tanjakan. Di ujung tanjakan, persis di tikungan patah ke arah kiri, ada sebuah warung kecil di tepi jalan. Ke situlah kami mampir sebentar. Di dalam warung ini, ada sedikit teras menghadap ke lembah di bawahnya. Jajaran pergunungan di utara Bandung pun terlihat cukup baik, apalagi bila udaranya bersih. Sayangnya di teras dalam yang sempit ini sudah terisi oleh sepasang muda-mudi yang asyik masyuk selonjoran melupakan dunia sekitar. Jadi kami pilih teras yang sedikit lebih lega, tapi pemandangannya sepertinya ke arah Soreang, itu pun terhalang pergunungan yang baru saja kami lalui. Sebagian rekan duduk-duduk di bangku luar warung sambil memesan ini-itu.

Warung Pengkolan yang bikin betah nongkrong. Foto: Deuis Raniarti.

Warung ini memang nyaman untuk dijadikan tempat beristirahat, terutama setelah menempuh perjalanan menghadapi tanjakan yang cukup melelahkan. Angin sepoy-sepoy dan sejuknya hutan pinus di sebelah warung membuat betah berlama-lama di sini. Jualannya sih biasa saja seperti warung pada umumnya, mi instan, seblak, baso, berbagai minuman kemasan, dan kelapa muda. Lokasinya yang membuatnya jadi istimewa.

Lewat tengah hari, kami pun beranjak melanjutkan perjalanan, masuk lebih dalam melewati hutan pinus yang dijadikan tempat wisata, namanya Pinus Pananjung. Sepertinya tempat ini tidak banyak pengunjungnya, apa mungkin musimnya sudah berlalu? Di sebelah kanan jalan ada area yang agak lapang dan bangunan yang dari bentuknya seperti toilet, namun kurang terawat. Di sebelah kiri jalan berjejer warung-warung bambu yang cukup teduh karena berada dalam lindungan pepohonan. Tampaknya sedap juga buat sekadar nongkrong di situ bila kapan-kapan lewat lagi.

Setelah melalui tempat wisata lain yang cukup ngehits, yaitu Langit Gantole, kami pun memasuki sebuah kampung yang terlihat cukup padat. Modelnya kampung modern dengan rumah-rumah tembok. Warga cukup ramai berlalu-lalang, dan ternyatalah sedang ada keramaian, syukuran khitanan. Dari arah depan kami berjalan arak-arakan dengan kuda renggong dan di paling belakang berjalan pelan sebuah mobil bak yang membawa soundsystem dengan suara keras. Karena pemandangan seperti ini cukup langka bagi kami, jadi kami menepikan motor dan menunggu sampai seluruh arak-arakan lewat. Meriah sekali.

Foto atas: arak-arakan kuda renggong. Foto bawah di lapangan Puncak Gantole. Foto: Deuis Raniarti dan Fikri Mubarok Pamungkas.

Tidak jauh dari kampung barusan, lingkungannya sudah merupakan area terbuka yang termasuk ke kawasan Puncak Gantole. Di sebelah kanan sedang ada pembangunan pondok-pondok kayu berbentuk segitiga yang belakangan ini banyak ditemukan di mana-mana. Sepertinya sedang ada persiapan pembuatan lokasi wisata baru lagi. Melihat bentuknya sih, sama saja dengan banyak lokasi wisata yang sedang populer belakangan ini. Seragam.

Akhrinya kami tiba di Puncak Gantole dan menepi ke sebuah warung kecil. Pemilik warungnya senang bercerita, sedikit saja salah satu rekan kami bertanya, si ibu warung akan menjawabnya dengan panjang lebar, sambil selalu bercerita tentang keadaan pribadinya. Lama-lama malah si ibu curhat segala macam. Ya begitulah obrolan warung, bisa tidak terduga arah obrolannya. Usai rekan-rekan lain berkeliling area gantole dan berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan.

Kali ini akan mencoba jalur Gedugan, jadi kami agak memutar balik sedikit sampai pertigaan di bawah Warung Pengkolan tadi. Di sini ambil jalan ke kanan yang menuju ke Desa Kidangpananjung. Jalur jalan di sini tidak sebaik sebelumnya, tapi juga bukan jalan yang terlalu rusak. Beberapa kampung kami lewati, sampai tiba di sebuah pertigaan yang tidak terlalu mencolok karena belokan ke kirinya berupa jalan kecil berbatu-batu. Setelah melewati kantor Desa Kidangpananjung, kami berhenti sejenak di sebuah pertigaan kecil untuk memastikan jalur, karena sempat ada rencana untuk mencoba jalur ke kiri yang menuju Cicapeu.

Pada saat berhenti itu muncul serombongan ibu-ibu dari arah kiri yang menanyakan kami mau ke mana, ketika menyebutkan Cicapeu, ibu-ibu ini menyarankan untuk tidak melanjutkannya, karena kondisi jalan yang rusak parah serta jalurnya naik-turun curam. Katanya, orang situ pun enggan menggunakan jalur itu dan memilih jalur memutar-mutar saja bila ada tujuan ke arah sana. Berdasarkan google maps, jalur ini sebetulnya dapat tembus sampai Kutawaringin, tapi kali ini kami memilih percaya kepada warga lokal saja.

Sebetulnya ada beberapa rute jalan potong lain ke Soreang atau Kutawaringin dari tempat kami berada itu, misalnya lewat jalur Cikoneng-Puncakmulya yang akan melipir Puncak Gunung Aul dan bertemu dengan Simpang Lima Gunung Geulis dan Ciririp-Bangsaya bagian timur yang sudah pernah kami lalui beberapa waktu lalu. Bisa juga lewat jalur Gedugan Kulon ke selatan melalui Nagrog lalu bertemu dengan jalur Tegalpanjang yang ke arah timurnya akan bertemu dengan Desa Sukamulya, dan selanjutnya melipir Puncak Gunung Aul. Jalur ini menapaki punggungan perbukitan Puncak Paseban. Satu jalur lainnya adalah melewati jalan kecil belok ke kiri yang lokasinya tak jauh dari kantor Desa Kidangpananjung. Jalur ini terlihat lebih ringkas, tapi kurang meyakinkan karena garisnya yang tipis, jangan-jangan… Jalur yang melewati daerah Cibauk ini bisa langsung sampai Cibodas, Kutawaringin. Yah lain kali aja deh kayanya, kalau sudah ada informasi tambahan, apakah dapat dilalui oleh motor-motor matic manja kami ini.

Akhirnya kami memilih jalur yang sebenarnya menjauh, yaitu ke arah Kampung Lembang dan selanjutnya Mukapayung yang dapat dikatakan sudah cukup sering kami datangi atau lewati. Yah lumayanlah, menghindari jalan rusak ekstrim, ketemunya jalur turunan panjang yang tak kalah ekstrimnya. Dari sini kami melewati tempat wisata Lembah Curugan Gunung Putri, lalu keluar di Cililin. Akhirnya spontan spontan saja mampir beberapa tempat  bersejarah, di antaranya, Radio NIROM Cililin yang catatannya sudah ditulis oleh rekan lain beberapa waktu lalu. ***

Catatan versi Story Maps ada di sini.

Menapaki Jejak Van Oort dan Muller

Ditulis oleh: Annisa Almunfahannah

Minggu, 06 Februari 2022.

Cuaca cukup cerah ketika kita berangkat dari Sekre Komunitas Aleut. Matahari pagi memberikan rasa hangat kepada kami dalam perjalanan menuju Cililin. Agenda kami hari itu adalah untuk menghadiri pernikahan salah satu rekan Komunitas Aleut yang berlokasi di Kelurahan Bongas, Cililin. Tapi, tentu saja kita tidak melewatkan kesempatan untuk bisa menyambangi area Cililin dan sekitarnya.

Salah satu catatan yang menjadi acuan perjalanan kami kali ini adalah yang ditulis oleh P. van Oort dan Salomon Muller dan diterbitkan tahun 1836 dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Dalam catatan ini Salomon dan Muller melakukan perjalanan penelitian mengenai dunia binatang dan tumbuhan sambil mencatat berbagai temuan kuno, termasuk mengenai arca yang mereka lihat di puncak Gunung Lumbung.

Lokasi keberadaan arca ini cukup dikenal oleh warga sekitar karena ketika kami bertanya mengenai lokasi arca tersebut ke beberapa warga mereka dengan yakin menunjukkan arah kepada kami. Bardasarkan catatan Van Oort dan Muller sudah sejak lama lokasi arca ini digunakan sebagai tempat untuk meminta pentunjuk atau permohonan atas urusan dunia, terlihat dari adanya batang-batang dupa di sekitar arca.

Continue reading

Gunung Lumbung: Benteng Terakhir Dipati Ukur

Menuju puncak Gunung Lumbung. Foto: Reza Khoerul Iman.

Ditulis oleh: Aditya Wijaya (@adityanism)

Selang seminggu dari Momotoran Tendjonagara, akhirnya saya dan teman-teman dapat kesempatan mengunjungi Gunung Lumbung. Gunung yang menjadi tempat pertahanan terakhir Dipati Ukur, bertahan dari serangan Mataram.

Hari Minggu, 6 Februari 2021. Matahari seperti enggan muncul hari itu, hanya sekumpulan awan hitam yang berkumpul di atas langit Cililin. Sepanjang perjalanan saya berharap cemas, bisa ga yah naik ke Lumbung, “bahaya nih kalau hujan gede.” Benar saja, hujan turun di Ciminyak, untungnya cuma sebentar saja hehe.

Berbekal informasi dari catatan perjalanan Aleut beberapa tahun lalu ketika berkunjung ke Gunung Lumbung, kami parkir di warung yang sama ketika Aleut berkunjung ke sini. Ketika kami berbincang dengan warga perihal jalan menuju ke puncak Lumbung untuk melihat arca, mereka tampaknya tidak familiar dengan nama Lumbung. Mereka lebih familiar menyebut puncak Lumbung dengan sebutan tempat arca. Menurut warga sekitar, setiap malam Senin sering ada yang menginap di puncak Lumbung untuk berdoa.

Continue reading

Mencari Pusat Pemerintahan Ukur

Oleh: Hevi Fauzan (@bandungtraveler)

Tafsiran atas masa lalu dan pemahaman masyarakat tentang tentang sejarah serta ingatan kolektif menciptakan identitas kolektif masyarakat tersebut.” (Reza A.A Wattimena)

Minggu 19 Maret 2017, setelah mengunjungi Gunung Lumbung, pada di hari Minggu sebelumnya, kali ini Komunitas Aleut mengunjungi tempat yang pernah menjadi ibu kota Tatar Ukur, Pabuntelan. Daerah yang letaknya tidak jauh dari Kota Ciparay, sebuah kota di sebelah selatan kota Bandung tersebut adalah bekas ibu kota Tatar Ukur. Daerah tersebut kemudian ditinggalkan oleh Dipati Ukur dan pengikutnya, setelah mereka gagal merebut Kota Batavia dan memutuskan untuk memberontak dari Mataram.

Tempat baru yang dituju oleh pasukan dan pengikut Dipati Ukur adalah Gunung Lumbung. Gunung ini berada di dekat Cililin sekarang. Di gunung tersebut, Dipati Ukur kemudian menyerah kepada pihak Mataram yang menyerbu dengan menggunakan pemimpin dan pasukan dari wilayah Sunda sebelah timur.

Nama Pabuntelan secara administratif, memang telah hilang. Daerah itu sekarang telah berganti nama menjadi Desa Mekarjaya dan Mekarsari. Walaupun telah hilang di peta atau dokumen-dokumen resmi saat ini, nama Pabuntelan masih melekat di kalangan orang-orang yang mendalami tirakat. Menurut penduduk setempat, banyak sekali orang yang mengunjungi darah Pabuntelan saat ini, baik untuk ziarah, maupun bertapa.

“Nama Pabuntelan telah lama hilang. Tapi, para peziarah yang berasal dari Cirebon, Mataram, dan banyak tempat lainnya di Jawa, masih menyebut tempat ini dengan nama Pabuntelan,” ujar Komar, seorang penduduk setempat yang bisa kami temui di sana. Continue reading

Gunung Lumbung

Dalam disertasinya tentang naskah-naskah Dipati Ukur, Edi Suhardi Ekadjati menyebutkan bahwa catatan tertua tentang tokoh ini mungkin yang ditulis oleh Salomon Muller dan P. van Oort dan diterbitkan dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1836. Salomon Muller dan van Oort adalah anggota des Genootschaps en Natuurkundige Komissie in Nederlands Indie yang sudah mendapatkan pelatihan dari Museum Leiden dan sedang melakukan perjalanan penelitian tentang dunia binatang dan tumbuhan di kepulauan Indonesia.

Pada tanggal 15 Januari 1833 pasangan ini berada di daerah Cililin, dua hari kemudian mereka diantar oleh beberapa orang penduduk setempat ke puncak Gunung Lumbung untuk menyaksikan peninggalan-peninggalan purbakala. Di puncak gunung inilah, Muller dan Oort mendapatkan cerita dari seorang tua tentang tokoh Dipati Ukur, tempat persembunyian dan benteng pertahanan terakhirnya. Catatan Muller dan Oort kemudian dimuat oleh NJ Krom dalam buku Laporan Dinas Kepurbakalaan (Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië) yang terbit pada tahun 1914.

Pada hari Minggu lalu (12 Maret 2017), secara tidak sengaja kami juga sampai di lokasi yang dikunjungi oleh Muller dan Oort pada tahun 1833 itu. Di tengah ladang di puncak gunung ini, ada sepetak tanah yang dibatasi oleh susunan batu membentuk ruang persegi dengan beberapa pohon hanjuang merah yang menjadi batas petak. Di tengah petak terdapat pohon puspa dan nangka dan berbagai jenis tumbuhan lain, terutama hanjuang hijau. Nah di bawah pohon puspa inilah kami lihat dua buah batu panjang dalam posisi berdiri dan di bawahnya sebongkah batu lain yang sepertinya merupakan potongan atau sisa sebuah arca, pada bagian yang tertinggal masih bisa dilihat pahatan sepasang kaki.

Salah satu batu berdiri ini bentuknya tampak lebih modern, bagian atasnya melancip dan di beberapa sisi seperti ada bekas pahatan tulisan huruf Latin. Sebentar saya menduga batu ini seperti tugu triangulasi atau yang di beberapa tempat biasa disebut sebagai sayang kaak, kemudian ragu sendiri karena batu ukurannya lebih tinggi daripada yang biasa saya lihat. Pada batu yang lebih tua juga sepertinya ada bekas pahatan-pahatan, entah huruf atau relief, terlalu samar. Sementara pada bagian belakang sisa arca, terdapat pahatan yang membentuk huruf-huruf Latin, sepintas kami kira itu hasil vandalisme modern.

Tentu saja di sini kami tak bertemu dengan orang tua yang bercerita pada Muller dan Oort, tapi kami bertemu seorang tua lain, pensiunan Dinas Purbakala (?) yang sebelumnya bekerja di Cimahi dan ingin menghabiskan hari tuanya di Desa Mukapayung. Darinya kami mendengar tentang beberapa situs lain yang tersebar di puncak-puncak gunung di dekat Mukapayung, di antaranya Gunung Gedogan dan Gunung Masigit yang terlihat tidak terlalu jauh dari lokasi kami berdiri. Ya, kunjungan berikutnya ke kawasan ini, kami akan kunjungi dan lihat lebih banyak.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑