Bandung Tak Hanya Di Bagian Utara

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Bandung tentu saja menjadi kota yang paling penting bagi hidup saya. Dari lahir sampai sekarang sudah di pertengahan kepala dua, hampir 90% hidup saya dihabiskan di Kota Kembang. Semua jenjang studi juga saya jalani di kota ini, mulai dari TK hingga sekarang duduk di bangku strata dua. Pahit-manis dan berbagai macam pernik kehidupan saya rasakan di Bandung.

Jika mau bernostalgia, Bandung yang sekarang tentu saja sudah jauh berbeda dengan Bandung yang saya kenal di tahun 90-an. Dulu udara Bandung relatif lebih sejuk dibandingkan sekarang, hal ini bisa dilihat dari kabut yang hampir setiap pagi bisa terlihat. Sekarang ini sih kabut baru terlihat setelah turun hujan di dini hari. Itu baru cuaca, belum tentang pergeseran fungsi beberapa wilayah di Bandung. Continue reading

Tegallega Menakar Selatan-Utara

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Jayalah Badminton!

Jayalah Badminton!

Barangkali Bre Redana benar, bahwa selain car free day, kita juga sekali-kali mesti mencoba gadget free day. Hal ini saya pahami sebagai sebuah laku pengalaman. Hari Ahad kemarin (3 Mei 2015), waktu ngaleut Tegallega, saya mencoba bertindak sebagai yang meng-update kegiatan ke twitter. Sepanjang perjalanan saya kerap menunduk, ditawan layar smartphone. Hal ini menyebabkan saya abai terhadap pengamatan yang lebih detail, saya hanya memburu beberapa gambar demi kecepatan informasi.  Sehari setelah kegiatan itu, saya hanya bisa termangu di depan layar Ms. Word, kosong—apa yang hendak saya tulis? Sudah satu jam lewat, tapi ingatan sepanjang ngaleut Tegallega tercecer entah di mana, barangkali di smartphone itu. Yakinlah saya sekarang, bahwa gadget tak membawa saya ke mana-mana. Di beberapa potong waktu, dia juga mesti istirahat.

Maka catatan yang lahir kemudian tak lebih dari laku “babalědogan”, sebuah rekontruksi dari ingatan yang tercecer dan prematur. Tapi memang di sinilah letaknya, bahwa kerja koreksi dari pembaca diciptakan bukan untuk menahan lahirnya catatan, namun sebagai instrument untuk membuka ruang komunikasi yang lebih karib.

Dari sini, dari layar yang semula putih, akhirnya ada juga jejalin paragraph yang coba saya susun. Continue reading

#PojokKAA2015: Enam Alinea untuk Alina *)

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Alina sayang, apa kabar? Dari depan Rathkamp, sore ini aku ingin mengirimmu beberapa alinea. Kata, sebagaimana kau tahu, selalu lebih berhasil menarik minatku. Kini, di sini, di tepi Jalan Asia-Afrika yang tengah ramai oleh pengendara dan pejalan kaki, aku mencoba merekamnya dalam redup dan remang bahasa; untukmu. Aku sengaja tidak mengerat dan memotong beberapa gambar, untuk apa? Orang-orang sudah terlampau banyak mengantongi rupa; di depan Gedung Merdeka, tepi Jalan Cikapundung Timur, pinggir sungai yang keruh itu, sekitar monumen Dasasila Bandung, di depan kantor Harian Pikiran Rakyat, dan masih banyak lagi. Mereka mencoba mengawetkan semesta dirinya dalam dekapan yang mulia kamera. Tidak Alina, aku tidak mau mengirimmu keriuhan yang banal itu lewat gambar. Aku ingin mendekatimu dengan kata.

Selepas hujan sore ini, mentari masih malu-malu menampakan diri. Sementara orang-orang justru girang memenuhi ruas trotoar dan sebagian bahu jalan. Arus lalu-lintas tersendat, sesekali klakson bersahutan. Hotel Savoy Homann, de Vries, Visser, dan Gedung Merdeka mulai tersaput temaram. Beberapa saat lagi adzab maghrib akan berkumandang dari Masjid Agung. Menjelang sore dijemput malam, keramaian semakin riuh. Tua-muda, laki-laki perempuan, semuanya menyesaki trotoar yang sudah dipercantik. Continue reading

Gedung Merdeka

Foto koleksi delcampe.net

Foto koleksi delcampe.net

Pada penutupan Konferensi Asia Afrika tanggal 24 April 1955, Presiden Sukarno memberikan nama baru bagi gedung Societeit Concordia, yaitu Gedung Merdeka. Sudah satu minggu sejak tanggal 18 April, Societeit Concordia dijadikan tempat konferensi negara-negara Asia-Afrika. Semangat menuju kemerdekaan bangsa-bangsa adalah hasil utama konferensi ini yang dituangkan dalam The Final Communique of the Asian-African Conference, salah satu isinya terkenal dengan sebutan Dasasila Bandung.

Societeit Concordia didirikan tahun 1895 oleh Asisten Residen Priangan, Pieter Sijthoff, sebagai wadah berkumpulnya orang-orang Eropa yang tinggal di Bandung dan sekitarnya saat itu, kebanyakan anggotanya dari golongan elite. Warga Eropa golongan ini sedikit banyak ikut membangun Bandung menjadi perkotaan yang modern untuk ukuran saat itu. Continue reading

Kawin Semarga di Bandung Baheula – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (1)

Berikut ini saya muatkan artikel bersambung tulisan rekan saya, Lina Nursanty, yang membahas sebuah roman baheula dengan latar cerita Kota Bandung di awal abad ke-20.
Selamat membaca!

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (1)

Kawin Semarga di Bandung Baheula

Pengantar:
Roman lahir untuk melukiskan perbuatan, watak, dan isi jiwa sang tokoh yang lebih banyak membawa sifat-sifat zaman. “Rasia Bandoeng” yang ditulis Chabanneau pada 1917 memotret kehidupan masyarakat Tionghoa di Bandung awal abad ke-20. Memperingati Tahun Baru Imlek 2566, wartawati Pikiran Rakyat, Lina Nursanty, membahas roman yang hampir satu abad itu. Selamat membaca.

Capture-1
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 1) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Februari 2015. Continue reading