Sekitar Bandung Lautan Api: “Kompi Istimewa Hutagalung”
Oleh: Komunitas Aleut
Dari sebuah buku berjudul Kereta Terakhir; Memoar Gadis Djoang yang ditulis oleh Oetari (Gramedia, Jakarta, 2015), saya menemukan satu nama yang selama ini jarang disebut dalam kisah-kisah masa Revolusi Kemerdekaan RI di Bandung. Dalam buku ini namanya disebut sebagai Kapten Hoetagaloeng. Kapten adalah pangkatnya dalam kemiliteran, sedangkan Hoetagaloeng atau menurut ejaan baru, Hutagalung, adalah nama marga suku Batak dari Sumatra Utara. Sedangkan nama dirinya, sepembacaan saya, tidak pernah disebut.
Kapten Hutagalung semula adalah seorang pedagang di daerah Cijerah. Pada masa awal revolusi, 1945, ia membentuk dan memimpin satu kelompok perjuangan bersenjata setaraf kompi dan bermarkas di sekitar perbatasan antara Bandung-Cimahi. Dalam buku memoar tersebut, pasukan ini sering disebut sebagai Kompi Istimewa Hutagalung. Dalam mengelola pasukannya, Hutagalung dibantu oleh Letnan Anang, seorang mantan guru sekolah dasar.
Hutagalung memanfaatkan sebuah bangunan bekas sekolah di Desa Warung Muncang, di persimpangan jalan raya dengan Andir, sebagai markas pasukannya. Pada waktu itu disebutkan bahwa lokasi ini terletak sekitar 3 kilometer dari Bandoeng. Bermarkas di tempat ini tidak selalu aman, apalagi lokasi ini tidak begitu jauh dari lapangan terbang Andir yang saat itu berada dalam kekuasaan tentara Sekutu. Mencari lokasi bekas sekolah ini sekarang ternyata tidak mudah juga. Bangunan-bangunan kebanyakan sudah berganti, begitu pula dengan penghuni kawasan, kebanyakan sudah orang baru.


Oetari, penulis memoar ini, bergabung dan menjadi perempuan satu-satunya dalam Kompi Istimewa Hutagalung. Tugasnya membentuk pos kesehatan dan membantu persiapan menghadapi pertempuran. Selanjutnya Oetari mendirikan satu unit palang merah dan di situ ia memberikan kursus-kursus PPK Pertolongan Pertama Kecelakaan (PPK) kepada seluruh anggota unitnya. Bantuan obat-obatan datang dari unit kesehatan tentara di Bandung. Peresmian berdirinya unit palang merah ini dilakukan oleh dokter Soenitijoso dan asistennya, Djohandiredja.
Di Cijerah, Oetar tinggal bersama keluarga dan kakeknya, Kurashige, orang Jepang yang sudah berada di Hindia Belanda dan merupakan pemilik Pabrik Vergroom & Vernikkel di Jalan Pasar Baru, Batavia. Pada masa Jepang, Kurashige tinggal di Jalan Kaca-kaca Wetan Bandung dan ketika Jepang kalah, ia ditahan di Batavia, sementara istrinya, Itjih, nenek Oetari, pindah ke Cijerah karena di sana Kurashige sudah menyiapkan sebuah rumah tinggal untuk keluarganya kelak.
Bergabung dengan pasukan perjuangan fisik seperti Kompi Istimewa Hutagalung sangatlah berat secara lahir dan batin, apalagi bagi seorang perempuan. Rasanya sampai saat ini belum banyak dibicarakan peran perempuan dalam perjuangan fisik semasa revolusi kemerdekaan, kalaupun ada, paling hanya satu-dua saja yang namanya kadang-kadang disebut.
Oetari pun merasakan hal itu. Suatu hari ia diminta untuk melakukan persiapan regu palang merah karena Kompi Hutagalung akan menyerbu musuh di daerah Cimahi. Mereka berangkat sore hari di bawah pimpinan seorang letnan. Keesokan harinya mereka kembali dengan wajah lesu dan pakaian penuh lumpur. Misi mereka gagal, jatuh korban, termasuk seorang letnan. Jenazahnya tidak bisa diambil malam itu juga karena berada di tengah-tengah sawah terbuka dan dekat dengan pertahanan musuh. Baru pada malam harinya jenazah itu dapat diambil dengan susah payah dan dimakamkan esok paginya di dekat markas.
Dalam Kompi Hutagalung ada juga seorang Jepang yang sudah menjadi anggota tentara Indonesia. Ia bersahabat erat dengan salah satu prajurit dalam kompi ini dan menjadi pasangan yang sering saling bergurau. Orang Jepang ini menyatakan kepada sahabatnya bahwa bila ia tewas dalam peperangan, maka sahabatnya boleh mengambil dan memakai sepatu lars miliknya. Namun dalam sebuah kontak senjata antara Kompi Hutagalung dengan patroli tentara Sekutu, kedua sahabat ini ikut gugur bersama tiga orang prajurit lainnya. Sepatu lars itu ikut dikubur bersama mereka di sebuah lahan di Cimindi. Pada waktu itu berserakan kuburan para prajurit dan biasanya tanpa nama pula. Seiring berjalannya waktu, kuburan-kuburan yang tidak dirawat ini banyak yang terlupakan dan di atasnya sudah berdiri bangunan-bangunan baru.
Pada suatu pagi terjadi sebuah kontak senjata di batas selatan lapangan terbang Andir. Oetari yang baru tiba di markas mendapati bahwa sebagian besar anggota Kompi Hutagalung sudah berada di medan pertempuran yang makin lama makin terasa membesar dan mendekat ke arah markas. Oetari dan Letnan Anang berusaha melakukan kontak dengan Bandung, tapi sia-sia saja, sepertinya di Bandung pun sedang terjadi pertempuran. Mungkin ini serangan serentak di beberapa tempat. Penduduk sudah berhamburan lari mengungsi ke arah selatan.
Setelah membakar arsip-arsip yang tidak dapat dibawa di markas, Oetari dan Letnan Anang maju ke medan tempur untuk melaksanakan tugas sebagai anggota Palang Merah, mengevakuasi korban-korban yang berjatuhan dan memberikan pertolongan darurat kepada yang terluka. Rumah-rumah penduduk sudah banyak yang terkena peluru mortir. Di tengah suasana seperti itu, Oetari mendapat kabar agak melegakan karena ibu, adik-adik, dan anggota keluarga sudah pergi mengungsi bersama penduduk lainnya. Ayahnya ketika itu sedang bertugas di Yogya. Keesokan harinya, seperti yang selalu terjadi, berlangsung kegiatan menguburkan korban-korban yang gugur.
Selang beberapa waktu, setelah Kompi Hutagalung ikut mundur ke selatan, tiba-tiba ayah Oetari datang bersama beberapa pembantunya dan sebuah truk yang menunggu di sebrang sungai Ci Tarum. Rupanya ayahnya telah memutuskan untuk mengungsikan seluruh keluarga yang berjumlah sekitar 12 orang ke Yogya, tempatnya bertugas sekarang. Kakek buyut yang sudah terlalu sepuh terpaksa dititipkan kepada keluarga Lurah Cijerah, namun ternyata tak lama kemudian meninggal dan dimakamkan di Cijerah. Para prajurit Kompi Hutagalung ikut membantu mengawasi dan membawa seluruh keluarga melintasi jalan-jalan kecil dan pematang sawah untuk menuju Ci Tarum, lalu dengan rakit menyebrang sungai dan menunggu truk yang akan membawa mereka.
Kurang lebih itulah beberapa hal yang berkaitan dengan Kompi Hutagalung yang disampaikan dalam buku memoarnya. Tidak banyak detail peristiwa, tidak banyak nama disebut, mungkin karena usia yang sudah lanjut juga saat membuat memoar yang terbit pada tahun 2015 itu, berarti sudah berlalu 70 tahun!
Usai membaca buku memoar di atas, ya lumayan penasaran sama tokoh bermarga Hutagalung itu, siapa namanya? Bagaimana riwayatnya? Adakah namanya disebutkan juga dalam buku-buku lain seputar masa revolusi kemerdekaan Indonesia?
Akhirnya coba bongkar-bongkar lagi tumpukan buku yang membahas masa revolusi Kemerdekaan RI. Sudah dapat diduga, samar. Buku karangan A.H. Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia (Disjarah AD, 1977) sebanyak 11 jilid tebal itu hanya dua kali menyebut Hutagalung, masing-masing pada jilid ke-2 dan jilid ke-3. Begitu juga dengan buku serial karangan A.H. Nasution lainnya, Memenuhi Panggilan Tugas yang terdiri dari 9 jilid, juga hanya dua kali menyebutkan Hutagalung, masing-masing dalam jilid ke-2A dan jilid 4.
Pada halaman 281 buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2, Nasution membicarakan tentang insiden-insiden antara laskar pejuang republik dengan tentara NICA pada saat terjadinya banjir besar yang melanda Kota Bandung. Pada tanggal 26 November 1945, banjir luar biasa ini menghanyutkan jembatan di Pelesiran dan di Sasakgantung.
Pada situasi kacau seperti itulah dua orang NICA menembak mati seorang mahasiswa di Jalan Pasundan. Rakyat menangkap kedua penembak itu dan membunuhnya beramai-ramai. Keesokan harinya insiden-insiden meluas, pertempuran terjadi di sekitar Pabrik Kina, Jalan Riau, Jalan Pajajaran, Jalan Dago, dan sekitar Hotel Homann dan Hotel Preanger. Tanggal 28 November terjadi pertempuran di Gedung Sate dengan korban 15 orang dari pihak republik, dua orang Gurkha, dan dua orang Indo dari pihak Sekutu.
Seluruh laskar ini ada dalam naungan Markas Dewan Perjuangan Priangan yang dipimpin oleh Panglima TKR, Aruji Kartawinata. Bagian-bagian terbesar dari pasukan-pasukan ini mewakili badan-badan perjuangan seperti “Pasukan Istimewa” yang dipimpin Pakpahan, “API” dipimpin Wasito, “PRI” dipimpin Rais, “Pemberontak” dipimpin Hutagalung, dan pasukan-pasukan di bawah pimpinan Letkol Omon, Mayor Sukanda, Aminuddin, Husinsyah, dll.
Di sini disebutkan bahwa Hutagalung memimpin satu kelompok perjuangan yang bernama “Pemberontak”, berbeda sebutannya dengan dalam buku memoar Oetari, jadi belum dapat dipastikan apakah yang dimaksud dengan Hutagalung itu adalah orang yang sama?
Buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 3 terbaca cukup jelas bahwa nama Hutagalung yang disebutkan pada halaman 628 adalah orang yang berbeda dengan pemimpin Kompi Hutagalung di Cijerah. Hutagalung yang ini adalah salah satu dari pendiri satu kelompok perjuangan di Singapura dengan nama Persatuan Kaum Buruh Indonesia (PKBI). Kelompok ini didirikan pada akhir 1945 sebagai benteng kemerdekaan Indonesia di Singapura dan Malaya. Slogan-slogannya tegas, “Indonesia sekali merdeka, tetap merdeka!,” Kemerdekaan Indonesia tidak boleh ditawar-tawar!,” atau “Halangan-halangan dan rintangan kemerdekaan Indonesia akan dihancur-leburkan oleh rakyat yang angkara murka!” Para pendirinya adalah, S.L. Tobing, Hutagalung, Aminullah, dan Marpaung.
Berikutnya, dari buku Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 2A, pada halaman 242 tertulis demikian: “Saya menginap di rumah Panglima B. Sugeng. Juga bertemu di situ Bapak Kolopaking, seorang gubernur senior Departemen Dalam Negeri. Sepanjang malam kami tak habisnya ngobrol, karena sudah lama tak bertemu. Juga hadir Letnan Kolonel dr. Hutagalung, yang menjadi penasihat Gubernur Militer.” Kutipan ini merupakan bagian dari cerita rangkaian perjalanan A.H. Nasution pada bulan Juni 1948 untuk mengikuti rapat penyusunan strategi gerilya di wilayah pergunungan Wonosobo yang menjadi tempat kedudukan Markas Panglima Divisi III, Kolonel B. Sugeng.
Hutagalung yang disebut di sini jelas merujuk pada seorang tokoh lain yang lebih senior, yaitu Wiliater Hutagalung, yang peranannya dalam perjuangan kemerdekaan dituliskannya dalam buku autobiografi Wiliater Hutagalung; Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa (Matapadi, 2016).
Buku berikutnya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4, halaman 68, tertulis: “Suatu panitia Tapanuli tampil, dipelopori oleh Letnan Kolonel (pensiun) dr. Hutagalung dan J.M. Panggabean. Saya diundang ikut rapat dan mereka pun menuntut sejalan dengan tuntutan Prof. dr. Badher Johan disebut di atas. Kepada saya dimintakan satu pesawat udara untuk membawa misi mereka ke Tapanuli dan Medan guna mengusahakan perdamaian itu.” Jelas Hutagalung ini adalah orang yang sama dengan yang disebut dalam buku Jilid 2A di atas. Dengan begitu, dari dua buku serial karya AH Nasution itu, hanya satu nama saja yang mungkin berkaitan dengan Hutagalung yang disebut dalam buku memoar Oetari, yaitu Hutagalung pemimpin pasukan “Pemberontak.”
Tidak ada informasi lain. Break..
Setelah bahan tulisan ini jeda beberapa minggu karena ketiadaan informasi tambahan tentang Kompi Hutagalung yang bermarkas di Cijerah, akhirnya bisa diteruskan setelah menemukan buku Prahara Cimahi; Pelaku dan Peristiwa karangan S.M. Arief (Katarsis Book, Bandung, 2021). Bedanya, dalam buku ini selalu disebut dengan Batalyon Hutagalung. Bisa dipastikan di sini pangkatnya sudah naik sehingga skala pasukannya pun lebih besar.
Pada bagian awal buku ini diceritakan keadaan pasukan perjuangan yang berbasis di Cimahi, yaitu TKR Detasemen Abdul Hamid dengan markasnya di Pasirluhur, TKR Kompi Daeng Muhamad Ardiwinata dengan markas di Kantor Sosial-Panti Asuhan Taruna Negara dan di Jalan Pasantren, TKR Seksi Polisi Tentara F.E. Thanos yang bermarkas di di Jalan Cihanjuang, dan TKR Kompi Kapten Arifin yang bermarkas di Padalarang. Disebutkan bahwa Kapten Arifin, juga beberapa seksi dari pasukan Abdul Hamid, kemudian dimutasikan ke Batalyon Hutagalung yang sudah mengundurkan diri dari Warungmuncang ke Soreang, lalu Ciwidey, setelah peristiwa Bandung Lautan Api. Kapten Arifin kemudian bertugas sebagai KS-1/Intelijen dalam Batalyon Hutagalung.
Lanjutan dari keberadaan Batalyon Hutagalung sudah pernah ditulis dalam kisah Achmad Wiranatakusumah dan Batalyon Siluman Merah A3W di sini. ***
***