Sampai bertemu lagi, Willem Gerard Jongkindt Coninck

Oleh Deuis Raniarti

Tak biasanya aku terbangun pagi sekali, aku melongok ke luar. Sudah ramai orang berjalan berbondong-bondong. Hari ini ada memang ada kegiatan besar, penganugrahan Ridder in de Orde van Oranje-Nassau yang akan diterima oleh administratur perkebunan Kertamanah. Aku pun bergegas, ingin segera bergabung dengan orang-orang. Aku berjalan perlahan, tatapanku tak hanya ke depan. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, laki-laki dan perempuan Belanda berpakaian dengan mode fashion terkini. Orang sepertiku juga sama, memakai pakaian terbaik yang mereka punya untuk menghadiri perayaan yang megah ini.

Kulihat beberapa pekerja sibuk menerima banyak telegram untuk tuannya, pekerja yang lain sibuk menata kiriman karangan bunga yang terus berdatangan, dan di bagian lain terlihat tumpukan bingkisan hadiah untuk Sang Tuan.

Kuhampiri Sang Tuan yang sedang berbahagia, “Halo tuan, perkenalkan, saya Rani, dari masa depan.” Ia terkejut. “Dari masa depan? Apa yang kau lakukan di sini?” Aku menjawab “Aku hanya ingin turut mengucapkan selamat atas pencapaianmu, terima kasih atas kerja kerasmu selama berpuluh tahun di sini.” Ia yang menerima ratusan ucapan selamat pada hari itu membalas ucapanku dengan senyuman. “Bagaimana kau mengenalku?” Ia tampak keheranan. “Tentu saja aku kenal, siapa yang tak kenal pada administratur yang sukses ini? Lihat saja ke depan sana, apa karangan bunga itu tak cukup membuatku paham?” Ia pun tertawa. “Tuan Jongkindt, apa kau tidak akan bertanya padaku tentang apa yang akan terjadi di masa depan?” tanyaku, “Hahaha, tidak. Biarkan ia terjadi seperti yang seharusnya. Aku akan menjalani kehidupanku seperti biasanya.” Balasnya. “Baiklah, kalau begitu aku harus kembali. Sampai bertemu lagi.

90 tahun kemudian…

Pagi itu sekelompok orang bermotor menuju Kertamanah, menembus kabut tebal di jalan Pangalengan yang berkelok-kelok, pendek-pendek. Cuaca saat itu tak menentu, kadang hujan kadang tiba-tiba panas. Sepanjang perjalanan terlihat rumah-rumah bedeng yang sederhana berjajar rapi, ukurannya tidak terlalu besar, di tengahnya terdapat sekat yang memisahkan rumah menjadi dua bagian, masing-masing bagian itu dihuni oleh satu keluarga. Atapnya unik, mengerucut ke atas, dan melebar ke bawah. Kupandangi beberapa kali, rumah yang biasanya terlihat hitam putih dalam arsip kini memunculkan warnanya.

Foto 1 Rumah Bedeng di Perkebunan Kertamanah. Jalannya sudah ditinggikan sehingga posisi rumah berada di bawah jalan. Komunitas Aleut, 2024.

Kami tiba pukul sepuluh di kediaman Jongkindt Coninck semasa ia menjadi administratur di Kertamanah. Lokasinya sekitar 400 meter dari Lapangan Cinyiruan. Rumahnya tidak langsung terlihat dari jalan, perlu menanjak sedikit ke sebelah kiri. Area rumahnya cukup luas. Bangunannya pun cukup besar. Bagian bawah dindingnya menggunakan bahan campuran batu kali, agak khas untuk rumah-rumah lama. Atapnya sepertinya sudah berganti.

Foto 2 Rumah Administratur Kertamanah yang sedang menjadi lokasi syuting film “Muslihat”. Komunitas Aleut, 2024.

Seperti halnya K. A. R. Bosscha yang sukses membangun Malabar sebagai perkebunan teh, Jongkindt Coninck berhasil membangun Kertamanah sebagai perkebunan Kina. Jongkindt Coninck dilahirkan di Frederiksoord, Westerveld, Drenthe, Belanda, pada 22 Juni 1866. Ia bersama kakaknya, Gerrit Jan Jongkindt Coninck (1862-1935) berangkat ke Hindia Belanda pada 22 Juni 1884, jadi saat usianya masih 18 tahun, sedangkan Gerrit berusia 22 tahun. Masih sangat muda. Mula-mula mereka bekerja sebagai pegawai perkebunan tembakau di sekitar Belawan, Sumatra Utara. Berkat ketekunannya bekerja, lima tahun kemudian Willem Gerard sudah menjadi administratur perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara. Saat itu usianya baru 23 tahun!

Setelah 15 tahun bekerja di Sumatra Utara, Willem pindah ke Pulau Jawa, mula-mula ke Lampegan, kemudian ke Kertamanah. Ia menjadi administratur di Kertamanah selama ± 38 tahun sejak 1 April 1904. Jongkindt Coninck bernama lengkap Willem Gerard Jongkindt Coninck, namun warga Kertamanah memanggilnya Tuan Yongkin. Pada masa pendudukan Jepang, Willem Gerard, sama seperti semua orang Belanda/Eropa kebanyakan di Hindia Belanda, ditangkap di kediamannya dan dimasukkan ke kamp interniran. Willem ditempatkan di Kamp Internir-7 Ambarawa hingga meninggal di sana pada 23 Januari 1945.

Foto 3 Kiri: Foto Jongkindt Coninck dari historia.id. Kanan: Nisan W. G. Jongkindt Coninck. Komunitas Aleut 2016.

Aku sudah pernah berjanji akan bertemu lagi dengan Jongkindt Coninck. Hari ini aku akan mengunjunginya bersama teman-teman dari Komunitas Aleut. Ia memang sudah meninggalkan dunia ini 79 tahun lalu, di tempat yang jauh dari sini, sekitar 450 kilometer di sebelah timur, di Ambarawa. Tapi keturunannya sudah memindahkan kerangka beliau ke Kertamanah pada 25 April 1949. Pemindahan ini sesuai dengan keinginan Jongkindt Coninck semasa hidup, ingin agar peristirahatan terakhirnya berada di tengah kawasan perkebunan yang dikelolanya. Menurut historia.id ia dimakamkan ulang di sebuah pulau di tengah danau kecil. Ke sanalah hari ini kami pergi.

Lokasi yang disebutkan itu sudah berbeda kondisinya saat ini. Danaunya sudah tinggal rawa-rawa saja, dasarnya sudah digunakan sebagai ladang. Pulau kecil itu masih ada, tapi tentu saja sudah tidak lagi berbentuk pulau, melainkan sebuah bukit kecil di tengah kawasan ladang. Perjalanan menuju lokasi itu tidak mudah, tidak ada jalan resmi, hanya jalan setapak yang sebagian besar sudah tidak terlihat lagi jalurnya, tertutup rumputan dan ilalang. Sehabis hujan, kondisi jalan tanah pun menjadi licin.

Orang-orang yang sedang berladang di sekitar tidak ada yang mengetahui keberadaan makam itu, meraba-raba saja, “Di palih ditu panginten.” Peladang lain hanya menggelengkan kepala dengan wajah heran. Mungkin ketidaktahuan itu karena mereka hanya para pendatang dari daerah lain dan bekerja kontrak saja di ladang ini. Jadi kami harus periksa-periksa sendiri di mana kemungkinan lokasi makamnya.

Foto 4  Jalan menuju makam Jongkindt Coninck. Komunitas Aleut 2024.

Dari jalan utama Kertamanah, kami harus melipir agak jauh ke dalam, ke tengah ladang. Meraba-raba jejak jalan setapak yang hanya cukup untuk satu ban motor. Yang berboncengan terpaksa harus turun dan lanjut berjalan kaki. Sambil berkendara pun harus sambil menyingkapkan semak-semak yang merintangi di jalan. Setelah beberapa saat, terlihat gundukan tanah yang agak tinggi dibanding tanah di sekitarnya. Di atasnya ada banyak pepohonan. Gundukan tanah ini dipenuhi oleh semak-semak, tanda sudah lama tidak dilalui oleh orang, tak terkecuali para peladang itu, karena batas ladang terdekat pun jaraknya mencapai belasan atau beberapa puluh meter.

Kami memanjat gundukan tanah itu. Di tengah kumpulan pepohonan itu terkuak sedikit bangunan makam, letaknya sedikit lebih tinggi dan bagian dasarnya disemen. Kami cari jalan sendiri-sendiri untuk memanjatnya. Dari sisi yang berlawanan terlihat bahwa sebenarnya letak makam ini agak terbuka ke arah lain, jadi bila datang dari sisi berlawanan, sebetulnya dari jauh pun bisa diduga keberadaan makam di tempat ini. Kumpulan pepohonan yang tinggi-tinggi di tengah ladang ini bisa jadi penanda dari jarak jauh.

Sampai juga kami di atas, di sini ada beberapa anak tangga untuk ke makamnya. Di sekitar makam sebenarnya cukup bersih, tidak ada jejak keberadaan orang, paling dipenuhi daun kering saja yang gugur dari pohon di atasnya. Di bagian kepalanya tidak ada nisan marmer yang biasa terpasang pada makam-makam Eropa, hanya ada bekas dudukannya saja. Mungkin sudah dicopot orang, atau entah ke mana. Setelah memeriksa sekitar, kami masih berbincang-bincang sejenak, setelah itu pamit  untuk melanjutkan perjalanan kami hari ini. Aku sudah memenuhi janjiku untuk berjumpa dan sekarang saatnya berpisah lagi.

Foto 5 Makam Jongkindt Coninck. Komunitas Aleut 2024.
Saat meninggalkan Makam Jongkindt Coninck. Komunitas Aleut 2024.
Pabrik Teh Kertamanah dan Perkebunan Teh Kertamanah. Komunitas Aleut 2024.

Setelah dari sini, kami mampir juga ke Pabrik Teh Kertamanah, dan tentu saja ke kawasan perkebunannya. Seorang teman yang pernah mendatangi bekas pabrik kina hanya menunjukkan lokasinya dari jarak agak jauh. Sudah tidak ada jejak bangunannya di sana karena sudah dimusnahkan beberapa tahun lalu dan lahannya digunakan untuk keperluan lain. Entah sejak kapan pamor tanaman kina mulai meredup, yang jelas Perkebunan Kertamanah kini telah subur oleh tanaman teh. Sudah tidak ada kina di sini. Mungkin masih ada tunggulnya di tempat tertentu, tapi tidak kami cari. Menurut beberapa teman dari angkatan lama, mereka pernah melihatnya di perbukitan dekat Lapangan Cinyiruan.

Itulah cerita perjalananku menapaki jejak Sang Administratur Perkebunan Kertamanah. Tidak banyak memang, tapi tidak mengapa, toh kami masih akan kembali lagi. Jadi, sampai bertemu lagi di lain waktu, Willem Gerard Jongkindt Coninck… ***

Beberapa sumber:

https://historia.id/ekonomi/articles/w-g-jongkindt-conninck-pengusaha-kina-ternama-di-hindia-belanda-DWj1R/page/3

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *