Oleh: Alhta
Ini adalah pengalaman pertama saya melakukan sebuah perjalanan bersama orang-orang yang baru saja saya kenal beberapa hari belakangan. Perjalanan ini dimulai dari Jalan Siti Munigar, lalu mengunjungi sebuah makam yang saya benar-benar tidak tahu ini makam siapa, dan kenapa kita harus kesana. Ketidaktahuan ini mendorong saya untuk bertanya pada rekan jalan saya hari itu. Dimulai dari pertanyaan “Ini maka siapa?” “Ini suaminyakah?” “Ini keluarganyakah?” Dan pertanyaan-pertanyaan saya selalu bisa terjawab oleh rekan-rekan dari Komunitas Aleut ini. Dalam benak saya berucap “pintar sekali orang-orang ini,” juga kagum karena bisa mengemas jawaban agar mudah dicerna.
Kami menyusuri gang-gang yang ada di sana untuk mencari informasi mengenai tokoh bernama Siti Munigar, lalu Fatimah, lalu mencari tau arti latar penamaan gang-gang yang ada disana. Seru sekali. Ketidaktahuan membuat rekan-rekan haus akan jawaban, hingga harus bertanya pada warga sekitar membuat dinamika bersama warga sekitar yang sebelumnya tidak pernah bertemu sama sekali, tapi seakan seperti kawan lama yang baru berjumpa kembali, sangat hangat.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan, mencari sebuah gang yang ada di jalan Pajagalan. Saya orang Bandung asli, saya selalu menikmati setiap sudut yang ada di Bandung. Tapi baru kali ini saya benar-benar menganalisa satu per satu. Pertanyaan-pertanyaan didalam kepala saya sangat banyak, ternyata saya belum cukup baik mengenal kota kelahiran saya.
Lagi-lagi saya bertanya pada rekan jalan “kita mau ke mana?”. Karena jujur saya merasa menjadi “anak bawang” di antara akang-akang dan teteh-teteh, hahaha, istilahnya saya seperti bayi yang baru bisa berjalan dan perlu dituntun oleh kakaknya yang sudah bisa berlari.
Cuaca Bandung siang itu lumayan panas, membuat tenggorokan cepat kering. Ditambah lagi mulut yang gak bisa berhenti bertanya dan berbicara. Akhirnya saya melipir dan membeli minuman yang ada di depan gerbang Pesantren Persatuan Islam.
Lagi enak-enaknya menikmati minuman, dari kepala saya muncul sebuah pertanyaan lagi, “kenapa ya kerudung yang dipakai sama semua modelnya?”. Karena di daerah rumah saya pun ada siswi yang memakai kerudung seperti itu, semuanya sama. Teh Rani yang ada di samping saya menjawab “Emang kaya gitu, dan harus kaya gitu pakainya. Itu ciri dari Persis”. Wah saya baru tahu! “itu panjang kerudungnya dua meter” sambung Kang Eza. Saya semakin penasaran. Hebat sekali perempuan-perempuan ini menggunakan hijab sepanjang itu. Bayangkan berapa banyak jarum yang harus mereka gunakan? Saya yakin lebih dari lima.
Saya pun menggunakan hijab, tapi memakai pashmina satu meter saja saya berpikir dua kali, karena membutuhkan waktu yang cukup lama dan jarum yang banyak. Lagi-lagi kekaguman saya pada perempuan-perempuan yang ada di Pesantren itu membuat saya ingin tau lebih jauh apa makna dan maksud dari pemakaian kerudung seperti itu?
Kang Eza sempat menjelaskan kerudung itu namanya kerudung khoas. Sangat asing di telinga saya. Rupanya Kerudung Khoas merupakan tradisi santriwati di Pesantren Persatuan Islam. Dari sekian banyak model dan jenis kerudung, khoas merupakan model kerudung yang memerlukan skill (keterampilan) dalam memakainya. Kemewahan kerudung khoas ini terletak pada tertutupnya aurat santriwati secara sempurna ditambah dengan kesan elegan dan syar’i.
Saya menemukan beberapa pelatihan untuk bisa memakai kerudung khoas dengan baik dan benar dalam segi penampilan dan waktu yang digunakan. Pelatihan kerudung khoas ini bertujuan agar pemakaian kerudung khoas ini praktis bagi para santriwati.
Perjalanan Kerudung
Penggunaan kerudung saat ini sudah sangat semarak dan ramai, bahkan sangat banyak model-model kerudung untuk digunakan. Maka sudah sepantasnya untuk tidak melupakan jasa-jasa pejuang kerudung di Indonesia, salah satunya adalah Ahmad Hassan, sosok pemikir Islam reformis sekaligus ulama terkemuka dari organisasi Persatuan Islam. Dalam bukunya yang berjudul Wanita Islam (Lajnah Penerbitan Pesantren Bangil/LP3B, Bangil, 1989) dikisahkan betapa besar tantangan untuk menerapkan kerudung wanita muslimah.

Pada tahun 1930-an rumah-rumah wanita berjilbab dilempari batu, hingga sekolah yang didirikan oleh Persatuan Islam di Pameungpeuk terpaksa ditutup oleh pemerintah. Sampai A. Hassan turun tangan untuk berdialog dengan Bupati setempat. (A. Hassan, Jilbab, 1984)
Tantangan A. Hassan bukan hanya dari pemerintah saja, tetapi juga muncul dari kalangan internal umat islam itu sendiri yang menganggap kerudung tidaklah wajib. Salah satu polemik tentang ini terjadi antara majalah Al-Lisan yang dipimpinnya dengan majalah Aliran Baroe yang dipimpin oleh Asa Bafagih. Ahmad Hassan kemudian menjabarkan isi polemik ini dalam bukunya, Risalah Kudung; Dua Bahagian Tammat (1954). Risalah ini juga sekaligus merupakan respon Ahmad Hassan terhadap artikel-artikel di Aliran Baroe yang menyebut bahwa kerudung tidak wajib. Dalam “Risalah Kudung” ini, beliau tak segan untuk menyampaikan kesediaan berdebat dengan Tuan Husain Bakri yang pernah menantangnya.
Pada tahun 1960-an masalah kerudung menjadi buah mulut, tidak jarang pula dicoba untuk melaksanakan kewajiban berkerudung bagi anggota putri dari organisasi Persatuan Islam tersebut dengan cara bertahap, semisal hanya dikenakan bagi anggota pengurusnya saja itu pun saat mereka menghadiri rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan resmi. Kemudian A. Hassan mendirikan Pesantren Putri “Persis”, dan semua siswinya diharuskan berkerudung. Pada mulanya dicemooh, tantangan dan godaan dilontarkan pada mereka, tetapi lambat laun cemoohan itu berubah menjadi pujian dan penghargaan.
Artikel “Lika-liku Jilbab Sebelum Tren di Tanah Air” di tirto.id menulis bahwa pada tahun 1979 siswi-siswi yang berkerudung di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung menolak untuk dipisahkan dengan kawan-kawan mereka yang tidak berkerudung. Wacana pemisahan ini berhasil digagalkan oleh Ketua MUI Bandung, EZ Muttaqien. Masuk tahun 1980-an, penggunaan kerudung sudah mulai tumbuh semarak, semakin banyak siswi sekolah yang menggunakan kerudung, walaupun pada masa itu (1982) justru terbit sebuah aturan tentang Seragam Sekolah Nasional yang berujung pada pelarangan penggunaan kerudung di sekolah. Pelarangan ini kemudian digantikan dengan aturan baru pada 1991 yang membolehkan penggunaan kerudung di sekolah.
Sementara itu organisasi-organisasi Persatuan Islam terus bekerja, berjuang menyampaikan risalah Islamiyah kepada anggota-anggota mereka melalui media pengajian, bulletin, training dan lain-lain. Ajaran agama yang mereka yakini benar pun sedikit demi sedikit dapat diterima. Mereka menyadari bahwa Islam bukan sekadar shalat dan puasa, tetapi mencakup segala aspek kehidupan, termasuk dalam cara berpakaian.
Hal ini memberikan sedikit gambaran pada kita bahwa waktu itu pun wanita-wanita berkerudung, yang bermaksud menjalani perintah agama, sudah mendapat tantangan dari pihak tertentu yang memang tidak suka melihat kaum muslimah menjalankan perintah agamanya.
Makna Kerudung Khoas

Dari proses perjuangan berkerudung banyak sekali polemik dan kontroversi yang dihadapi demi menyempurnakan cara berpakaian wanita muslimah. Hal ini pun berdampingan dengan arti dan makna kerudung khoas.
Bukan tiada artinya santriwati menggunakan kerudung sepanjang dua meter dan dengan model yang berbelit-belit. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh salah satu santriwati bernama Ismi, ia menjelaskan makna dari penggunaan kerudung khoas itu artinya bahwa jalan untuk mencapai kesuksesan itu masih sangat panjang, sepanjang kerudung khoas.
Benarlah apa yang saya bayangkan, jarum yang dipakai itu standarnya enam jarum! kalau kerudungnya mau makin bagus dan rapi ya ditambah lagi jarumnya. Artinya untuk mencapai kesuksesan tidak ada jalan yang mudah. Makin banyak rintangannya makin besar pula peluang suksesnya.
Kemudian ketika memakaikan jarum, berapa kali santriwati itu tertusuk jarum? Artinya banyak sekali pengorbanan yang dibutuhkan untuk sukses. Belum lagi kalau mau betulin kerudung setiap saat. Cape kan? Tapi kalau kerudungnya bagus kita juga yang bangga. Artinya kalau mau sukses jangan pernah cape buat betulin dan koreksi kesalahan kita.
Terus kalau kerudungnya mau dilepas itu gak instan, harus lepasin dulu jarum satu per satu. Artinya kesuksesan yang diraih gak akan mudah dirobohkan.
Mengupas arti di balik kerudung santriwati Persis, banyak sekali perjuangan serta makna yang tersembunyi pada kain dua meter itu.***
Bahan bacaan:
https://pemudabaca.com/public/front/buku/1649347318wanita-islam-tentang-jilbab-di-podium-dan-jabatan
https://tirto.id/lika-liku-jilbab-sebelum-tren-di-tanah-air-cfzP