Mencari Hassan Bandung

Oleh: Reza Khoerul Iman

Minggu, 14 Januari 2024, kawasan Cibadak yang menjadi sentra cinderamata dan ATK di Kota Bandung tampak lenggang tak seperti biasanya. Toko-toko yang menjajakan cinderamata, souvernir, kertas, hingga alat tulis, hampir semuanya tutup pada hari itu. Hanya sedikit saja yang tampak membuka pintu tokonya.

Pada hari Minggu yang hampir siang itu, saya bersama sepuluh rekan Komunitas Aleut! lainnya hendak mencari-cari jejak Ahmad Hassan (guru utama Persatuan Islam) pada saat ia tinggal di rumahnya Mahmud Yunus. Lokasi persisnya berada di Jalan Belakang Pakgade, seperti yang dikatakan oleh Ajip Rosidi dalam bukunya yang bertajuk “M. Natsir; Sebuah Biografi.”

Peta jalan Pakgade dari oldmapsonline.

Posisi Jalan Belakang Pakgade berada di sebelah selatan Jalan Jendral Sudirman atau sebelah utaranya Jalan Cibadak. Namun untuk menuju ke sini mesti memasuki jalan kecil dulu. Pilihannya dua, bisa masuk lewat Jalan Kote lalu belok ke sebelah barat atau bisa juga masuk lewat Jalan Sutur lalu belok ke sebelah timur.

Waktu itu kami lewat Jalan Cibadak lalu masuk ke Jalan Sutur, baru kemudian sampai di Jalan Belakang Pakgade. Hanya suasana sunyi dan deru motor kami saja yang didapatkan sesampainya di sana. Rumah-rumah sederhana dari kayu dengan dinding anyaman bambu seperti yang dilihat Ajip pada puluhan tahun lalu sudah tak tersisa lagi.

Setiba di ujung Jalan Kote, kami lalu kembali lagi ke Jalan Sutur sambil berharap ada orang yang bisa ditanya dan tahu soal jejak-jejak Ahmad Hassan di sini. Namun nihil, tak ada yang tahu siapa itu Ahmad Hassan atau Hassan Bandung, padahal nama itu sempat populer di tahun 30-an dan Jalan Belakang Pakgade ini pun cukup ramai oleh aktivitas pergerakan Islam yang saat ini dikenal dengan nama Persatuan Islam.

Ayeuna mah tos janten permukiman orang Tiongha,” kata petugas keamanan di Jalan Sutur yang lupa saya tanyakan siapa namanya.

DR. Syafiq A. Mughni, MA penulis buku “Hassan Bandung; Pemikir Islam Radikal” menilai Ahmad Hassan semakin dikenal karena tulisan-tulisannya tentang Islam yang mengundang perhatian dan perdebatan dengan orang-orang, juga kritik-kritiknya yang tajam. Memang itulah kegemarannya dan karena itu pula ia jadi makin dikenal, bukan hanya di Bandung tapi menjalar hingga Singapura dan Malaya.

Perkataan Ajip Rosidi tentang pergerakan Islam yang dimotori oleh Ahmad Hassan, Haji Zamzam, dan Mahmud Yunus di Jalan Belakang Pakgade yang terkenal di seluruh Indonesia, Singapura, sampai Malaya terdengar jadi tak berlebihan mengingat peran mereka dalam menegakkan agama Islam sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kesibukan kami mencari-cari jejak Ahmad Hassan di sekitar Jalan Sutur dan Belakang Pakgade rupanya mengundang perhatian seorang nenek yang tinggal di sana. Petugas keamanan yang saya tanyai tadi pun menyarankan untuk menanyakan hal ini kepadanya karena ia sudah dianggap sepuh di sini.

Bade marian saha?” ungkapnya penasaran.

“Ibu tahu soal Ahmad Hassan atau Hassan Bandung, tokoh Persatuan Islam (Persis) yang pernah tinggal di sini? Atau Haji Zamzam sama Mahmud Yunus pendiri Persis yang juga pernah tinggal di sini?” tanya saya.

Lipatan kulit di dahinya tampak terlihat yang menandakan bahwa ibu tersebut tengah berpikir dan mengingat-ngingat nama-nama yang saya sebutkan tadi. Tapi ya tak ada satu pun ingatan yang cocok dengan ibu tersebut tentang ketiga nama itu.

Kami pun akhirnya meninggalkan Jalan Belakang Pakgade. Mungkin hanya dua saja yang tidak kami tinggalkan yaitu rasa penasaran dan keingintahuan soal cerita-cerita tentang tokoh-tokoh Persatuan Islam tersebut yang juga menjadi bagian dari perjalanan Kota Bandung di zaman kolonial Hindia Belanda.

Entah siapa yang masih mengetahui di rumah mana Hassan Bandung pernah tinggal di Jalan Belakang Pakgade. Masa itu sudah sekitar seratus tahun berlalu, rasanya takkan ada saksi hidup lagi. Tapi kami tetap mencari dengan harapan kisah-kisah tentang keberadaannya masih hidup di kalangan warga lokal, tapi ternyata tidak. Paling tidak, berdasarkan pencarian kami saja hari itu. Bahkan dengan letak masjid dan pesantrennya yang tidak begitu jauh, rata-rata orang yang kami temui mengatakan tidak tahu apa-apa tentang Hassan Bandung.

Ahmad Hassan pertama kali datang di Bandung tahun 1924 dan menjadi guru Persatuan Islam pada tahun 1926 berdasarkan permintaan Haji Zamzam, Ketua Persatuan Islam. Sebenarnya bukan Cuma Haji Zamzam yang menganggap Ahmad Hassan merupakan orang yang tepat untuk mengajar, para anggota dan pengurus lainnya pun berpendapat sama. Karena itu, Haji Zamzam sampai mengadakan perundingan dengan kawan-kawan Ahmad Hassan di Surabaya agar kembali mengirimkannya ke Bandung.

Sebenarnya kedatangan Ahmad Hassan dari Singapura ke Surabaya dalam rencana akan mendirikan dan memimpin pabrik tekstil di sana. Namun karena permintaan Haji Zamzam itu, rencana pembukaan pabrik tekstil pun dipindahkan ke Majalaya, dekat Bandung, agar Ahmad Hassan dapat mengelolanya sambil mengajar sebagai guru Persatuan Islam. Namun operasional pabrik ini tidak bertahan lama, sehingga kemudian Ahmad Hassan dapat fokus menjadi guru sambil menulis artikel dan buku-buku yang diterbitkan dan dijualnya sendiri.

Tulisan-tulisan Ahmad Hassan dalam majalah Pembela Islam ternyata mendapat perhatian dari tokoh PNI, Soekarno,. Bahkan pada bulan Oktober 1929, dalam sebuah rapat PNI Soekarno membacakan karangan Ahmad Hassan yang termuat dalam edisi perdana Pembela Islam dan mengomenrarinya sebagai “sangat menyakitkan hati.” Edisi-edisi berikutnya dari Pembela Islam tetap berisi serangan kepada golongan “kebangsaan,” namun tidak lagi mendapatkan reaksi keras dari Soekarno yang kala itu juga sedang berpolemik dengan Haji Agus Salim mengenai pemujaan Ibu Pertiwi yang oleh Agus Salim digolongkan sebagai perbuatan musyrik.

Di luar masalah itu, hubungan Ahmad Hassan dengan Soekarno berjalan baik saja. Pada saat Soekarno menjalani hukuman di penjara Sukamiskin setelah vonis dari Pengadilan Kolonial, Ahmad Hassan sering menjenguknya, kadang-kadang bersama dengan M. Natsir. Ahmad Hassan membawakan juga buku-buku karyanya untuk dibaca oleh Soekarno, walaupun mungkin hanya akan terperhatikan sepintas saja oleh Soekarno yang ketika itu belum tumbuh minatnya terhadap Islam.

Repro foto dari buku “Hassan Bandung; Pemikir Islam Radikal” (PT Bina Ilmu, 1994)

Ahmad Hassan, Persatuan Islam, dan Saya

Nama Ahmad Hassan sebenarnya tidak asing lagi bagi saya yang sejak kecil hidup di lingkungan Persatuan Islam. Meski demikian, saya mengakui tidak terlalu mengenal seluk beluk tentang pria keling yang berperan besar untuk perkembangan Persatuan Islam ini.

Saya baru mengenalnya ketika memasuki madrasah tsanawiyyah (setara SMP), itu pun bukan tentang kisah hidupnya, melainkan lewat salah satu karyanya, yaitu terjemahan kitab Bulughul Maram yang dijadikan buku babonnya pelajaran hadis di sekolah Persatuan Islam.

Jujur saya baru sedikit-sedikit tahu soal Ahmad Hassan ketika menelusuri jejaknya pada beberapa waktu lalu bersama rekan-rekan dari Aleut.

Dari sedikit hasil bacaan saya tentang Hassan, teranglah bahwa pria kelahiran Singapura ini merupakan sosok pekerja keras, cerdas, dan kuat pada pendiriannya. Sejak usia tujuh tahun kedua orang tuanya, Ahmad dan Muznah, telah mendorong Hassan untuk belajar agama.

Uniknya bukan hanya agama saja yang Hassan pelajari, ia juga gemar mempelajari pertukangan, berdagang, hingga mengarang. Maka tak heran ketika ia menginjak umur 23 tahun, banyak sekali pengalaman yang sudah didapatkannya mulai dari menjadi guru, pedagang di berbagai bidang, hingga kerja di percetakan.

Ketika pindah ke Jawa, pendirian Hassan untuk semakin mendalami Islam semakin kuat. Di Bandung ia dipercaya untuk menjadi guru dan pemimpinnya orang-orang Persatuan Islam pada saat usia organisasi islam ini masih cukup belia.

Meski bukan bagian dari pendiri Persatuan Islam, Hassan berperan besar dan menjadi orang penting dalam membantu mengembangkan organisasi Islam ini lewat pengajaran-pengajarannya, pemikiran-pemikirannya, dan karya-karya yang dihasilkannya.

________________

Sumber:

1.      Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal, DR. Syafiq A. Mughni, MA

2.      Riwayat Hidup A. Hassan, Tamar Djaja

3.      M. Natsir Sebuah Biografi, Ajip Rosidi

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *