Harmen Westra: Eks Guru Besar THS yang menjadi Seorang Fasis
Irfan Pradana
Kira-kira setahun lalu, di beranda X saya muncul sebuah video ospek mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Dalam video itu nampak barisan mahasiswa sedang mengikuti seruan dari orang di atas panggung. Mereka mengangkat tangan seperti gestur “Roman Salute” sambil meneriakkan kalimat “Salam Ganesha”.
Roman salute adalah gerakan mengangkat tangan kanan lurus ke depan dengan telapak tangan menghadap ke bawah. Pada masa modern, gerakan ini mencapai puncak ketenarannya saat digunakan oleh Nazi dengan nama “Hitler salute” atau “Sieg Heil”, yang menjadikannya simbol propaganda rezim Nazi. Setelah kekalahan Nazi dalam Perang Dunia II, gerakan ini dilarang di banyak negara karena dianggap sebagai simbol kebencian dan ideologi ekstrem.

Postingan video itu mendapat respon yang beragam, namun mayoritas mengidentikkannya dengan gestur salute ala Nazi. Misalnya ada warganet yang mengomentari video tersebut dengan cuitan “Uber Alles” atau “Hail Hitler”. Dari beberapa hasil selancar di dunia maya, Salam Ganesha merupakan tradisi unik di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mencerminkan rasa bangga dan semangat kebersamaan antara mahasiswa dan alumni.
Tradisi ini berakar pada simbolisme Ganesha, dewa pengetahuan dalam agama Hindu, yang juga menjadi lambang utama ITB yang berlokasi di Jalan Ganesha, Bandung. Dewa Ganesha, sebagai pelindung ilmu dan kebijaksanaan, mencerminkan semangat pencapaian intelektual yang sangat dijunjung di ITB. Salam ini kerap digunakan dalam berbagai acara resmi kampus, seperti penerimaan mahasiswa baru dan upacara wisuda.
Ngomong-ngomong soal fasis, ternyata saat ITB masih bernama Technische Hoogeschool dulu, pernah ada seorang guru besar yang menganut paham fasis. Namanya adalah Harmen Westra.
Beberapa waktu lalu Komunitas Aleut menggelar acara Ngaleut dengan tema “Selamat Tinggal Hindia; Janjinya Pedagang Telur”. Tema ini diambil dari buku dengan judul serupa. Buku tersebut merupakan buku sebuah memoar dari Pans Schomper, seorang Belanda yang lahir dan tumbuh di Hindia Belanda. Buku ini berisi kisah hidup Pans melewati tiga zaman, yakni zaman normal (ketika Belanda masih berkuasa penuh atas Hindia Belanda), zaman Jepang, dan zaman revolusi (yang mereka sebut sebagai Masa Bersiap).
Pada sebuah bagian, Pans menyinggung suatu peristiwa di Bandung ketika kekuasaan Belanda sedang berada di ujung tanduk. Pans menggambarkan suasana ketegangan yang melanda warga Eropa di Bandung menjelang kedatangan pasukan Jepang. Suatu penyerbuan massa terjadi usai berita kekalahan Belanda atas Jerman sampai ke Hindia Belanda. Tempat yang digeruduk itu adalah sebuah gedung yang lokasinya dekat rumah Pans di Jalan Naripan, yaitu gedung NSB alias Nationaal-Socialistische Beweging.
NSB adalah sebuah partai politik berhaluan fasis di Belanda yang didirikan pada tahun 1931. NSB diketuai oleh Anton Mussert, seorang fasis Belanda kelahiran Werkendam. Partai ini memiliki kedekatan dengan Partai Nazi Jerman dan memberi dukungan penuh kepada Jerman untuk memenangkan Perang Dunia II. NSB juga membantu berlangsungnya pendudukan Jerman atas Belanda.


Hal inilah yang menyulut kemarahan warga Belanda yang bermukim di Bandung hingga akhirnya melakukan penyerbuan ke gedungnya. Di Hindia Belanda sendiri, kekuatan NSB sangat diperhitungkan. Bahkan beberapa tulisan menyebutkan bahwa NSB di Hindia Belanda lebih kuat ketimbang NSB yang berada di Belanda (Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog 1939-1945 – Indische Literaire Wandelingen).
Dalam pencarian informasi tentang NSB ini saya menemukan nama Harmen Westra. Nama ini tidak hanya terkait dengan NSB, tapi juga perkumpulan Bandoengsche Kunstkring, dan Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Bandoengsche Kunstkring atau Lingkar Seni Bandung (LSB) adalah sebuah perkumpulan pecinta dan pengembang seni yang sudah berdiri sejak 1905. Perkumpulan ini didirikan dengan cita-cita memajukan sektor kebudayaan kesenian di Kota Bandung. Harmen Nama Harmen Westra tercatat sebagai ketua perkumpulan ini pada tahun 1930 (Gedenkschrift uitgegeven ter gelegenheid van het 25-jarig bestaan van den Bandoengschen Kunstkring 1905-1930).
Kegiatan LSB di antaranya menggelar pertunjukan seni, pameran, pelatihan, dan konferensi bertaraf internasional. Beberapa nama kondang di bidang kebudayaan Kota Bandung sempat terlibat di perkumpulan ini, termasuk arsitek C.P. Wolff Schoemaker.
Sementara itu di Technische Hoogeschool Bandoeng nama Westra tercatat sebagai guru besar bidang Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, dan Hukum Dagang. Ia diangkat pada bulan Juli 1924 pada masa THS di bawah pimpinan rektor Prof. Ir. Jan Klopper (ANETA, edisi 4 Juli 1924).
Harmen Westra dan NSB
Westra lahir pada 29 Mei 1883 di kota Den Haag. Ia merupakan profesor di bidang Hukum. Westra pergi ke Hindia Belanda pada tahun 1915 dan menikah dengan Stephanie Dom di Lumajang pada tahun yang sama. Selama di Hindia Belanda, Westra cukup banyak menduduki posisi penting. Ia pernah menjadi tenaga pengajar di OSVIA Serang (De Preangerbode, edisi 21 Juli 1927) dan juga menjadi anggota Volksraad pada tahun 1921 (Bataviaasch nieuwsblad, edisi 19 Februari 1921). Setelah menjadi guru besar di THS, Westra juga sempat mengajar di HBS sebelum kembali ke Belanda pada tahun 1927 dan mengajar di Universitas Utrecht sejak tahun 1931.
Pada tahun 1940 Westra diketahui terdaftar sebagai anggota NSB. Portal-portal artikel berbahasa Belanda yang saya temukan menyebutkan bahwa Westra memang seorang anti semit dan menaruh simpati terhadap Jerman. Anak dan menantunya, yakni Olaf Westra dan Christiaan Willem Jacob Bar. van Boetzelaer merupakan anggota dari organisasi underbow Nazi, Schutzstaffel (SS). Olaf tewas di pertempuran front timur, tepatnya di Leningrad (Haags Gemeentearchief – archief Leidschendam-Voorburg).
Pada tahun 1942 Harmen Westra ditunjuk menjadi walikota Den Haag. Dua tahun setelah Belanda takluk atas Jerman. Tentu saja penunjukannya ini dilatarbelakangi oleh keanggotaannya di dalam NSB. Ia naik menggantikan Van der Bilt yang sebelumnya menjabat sebagai walikota sementara. Van der Bilt adalah seorang Liberal yang selama menjabat kerap berseberangan ide dengan rezim Jerman. Karena itulah posisinya digantikan oleh Westra.
Semasa menjabat sebagai walikota, Westra terlibat dalam serangkaian kejahatan. Dia secara aktif berpartisipasi dalam penganiayaan terhadap orang Yahudi. Saat itu di Den Haag memiliki 17.000 penduduk Yahudi. Pada tanggal 9 Juli 1942, sesuai dengan Pasal 41 Peraturan Umum Kepolisian Den Haag, ia menetapkan sejumlah wilayah yang terlarang bagi orang Yahudi, antara lain di Apendans, Binnenhof, Doelenstraat, Heerenstraat, Houtstraat, Plein, Poten, dan Vijverberg. Ia juga memerintahkan penggantian semua nama jalan di Den Haag yang terkait dengan orang Yahudi. Antara Agustus 1942 dan April 1943, mayoritas orang Yahudi di Den Haag dideportasi ke kamp Westerbork untuk kemudian dikirim ke kamp pemusnahan.
Pada 1943 ia turut membuat daftar nama laki-laki Yahudi untuk ditangkap dan dihukum melakukan kerja paksa. Berkat sumbangsihnya ia dianugerahi penghargaan Krieg Verdien Strutz kelas 2, yakni sebuah penghargaan militer yang diberikan oleh Nazi selama Perang Dunia II kepada warga sipil. Penghargaan ini diciptakan oleh Hitler pada tahun 1939 dan diberikan kepada mereka yang menunjukkan dedikasi dan keberanian dalam mendukung upaya perang Jerman (Haags Gemeentearchief-archief Leidschendam-Voorburg).
Penangkapan
Menjelang masa akhir perang dan kekalahan Jerman, kondisi kesehatan Westra menurun. Keadaan itu memaksanya mengundurkan diri, dan posisinya digantikan oleh Henri van Maasdijk, sesama anggota NSB. Tak berselang lama Westra ditangkap bersama para anggota NSB lainnya. Mereka ditahan di rumah tahanan Scheveningen.
Dalam persidangan Harmen dituntut dengan hukuman mati, namun hakim akhirnya memutuskan Westra diganjar hukuman 20 tahun penjara. Pada 1947 ia mengajukan banding sehingga hukumannya berkurang menjadi 12 tahun. Walaupun begitu, Westra tidak menjalani hukuman secara penuh. Karena kondisi kesehatannya yang buruk, Ratu Juliana memberinya grasi pada 1951. Pada 10 September 1951, surat kabar Belanda melaporkan bahwa Westra telah bebas dan kembali ke Den Haag. Ia meninggal pada 23 Desember 1959.

***