Berkunjung ke Doofstommen-Instituut Bandung

Oleh: Aditya Wijaya

Awal bulan Desember 2023, saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke SLB Negeri Cicendo Kota Bandung. Ini kesempatan langka, berkat Komunitas Aleut rasanya saya bisa berkunjung ke berbagai tempat yang aksesnya sulit dan terbatas. Sayang rasanya bila pengalaman ini tidak saya tuliskan.

Sesaat setelah memasuki parkiran motor sekolah, seorang rekan Aleut memberi tahu bahwa ada plakat Bosscha di salah satu sisi dinding dekat parkiran. Plakat ini memiliki arti “Untuk mengenang mendiang Tuan K.A.R. Bosscha, yang warisan kerajaannya memungkinkan pembangunan gedung-gedung ini”.

Plakat Bosscha (Aditya Wijaya)

Memasuki beranda sekolah suasananya langsung berubah, mungkin ini suasana sekolah tempo dulu, gumam saya. Tegel sekolah ini masih asli seperti dulu dengan motif kulit jeruk. Genteng-genteng lama juga masih banyak menempel. Pintu dan jendela juga buatan lama, berbahan besi dengan ditandai cap tulisan “Surabaja” yang sudah sulit untuk dibaca.

 Saat itu kami diajak masuk ke ruang “Kepala Sekolah”. Di ruangan tersebut ada plakat dan sertifikat mengenai siapa saja yang berkontribusi dalam pembukaan Doofstommen-Instituut di Bandung. Ada juga foto-foto direktur sekolah dari masa ke masa. Sungguh ini adalah usaha yang bagus dari pihak sekolah untuk menjaga nilai sejarah.

Sertifikat (Aditya Wijaya)
Plakat Pendirian (Aditya Wijaya)

Di arah selatan seberang ruang “Kepala Sekolah” ada satu ruangan terbuka seperti pendopo atau entah apa saya menyebutnya. Ruangan ini letaknya berada di tengah-tengah sekolah.  Ruangan ini memiliki struktur rangka besi. Rekan Aleut memberi tahu bahwa struktur besi tersebut buatan Prancis. Saya lalu teringat dengan agenda momotoran beberapa tahun silam ke kampung terpencil di Selatan Bandung, yaitu Kampung Srikandi. Di kampung itu ada bangunan pasar yang juga sama terbuat dari struktur besi, namun sayang kondisinya mengenaskan. Besi-besi ini ternyata sama memiliki tulisan timbul “Marmiche” & “Made in France”. Usut punya usut, besi di Kampung Srikandi itu buatan Aciéries de Longwy, Prancis.

Menurut rekan Aleut, bangunan dengan struktur besi ini dulunya berfungsi sebagai ruang olahraga atau gym tempo dulu. Ini terlihat dari adanya alat olahraga berbahan kayu dan gantungan-gantungan lingkaran seperti cincin untuk media berolahraga.

Ruang Gymnastiek (Aditya Wijaya)

Menyenangkan sekali mendapatkan pengalaman yang mungkin hanya sekali dua kali dialami seumur hidup. Setelah cukup lama keliling-keliling seluruh ruangan, hujan pun turun dengan derasnya dan menandakan bahwa kunjungan ini harus segera diakhiri. Sebagai tambahan, berikut ini saya sampaikan juga di sini terjemahan secara bebas tulisan dari Piet Hubner yang dimuat dalam Malajah Moesson edisi 1 April 1986.

Doofstommen-Instituut Bandung

Doofstommeninstituut, Bandoeng (Wereldculturen)

Sebelum tahun 1930, spesialis THT di Bandung, Bapak Roelfsema, dan istrinya, Nyonya Roelfsema-Wesseling, mempunyai minat besar dalam pendidikan khusus untuk anak-anak tuli-bisu. Hal ini mendorong Departemen Pendidikan dan Agama untuk membawa guru yang berkualifikasi dari Belanda. Dengan demikian, Bapak D. W. Bluemink yang bekerja di Institut untuk Tuli di Groningen, menjadi direktur pertama Institut Bandung pada tahun 1931, awalnya berlokasi di Riouwstraat.

Internaat voor doofstommen te Bandung, Jl. Riau (Wereldculturen)

Setelah beberapa tahun, mereka berhasil membangun sekolah mereka sendiri dengan enam ruang kelas dan fasilitas asrama terpisah, dengan area makan dan bermain untuk siswa penghuni di Tjitjendoweg 2A di Bandung. Terdapat tempat tidur untuk anak laki-laki yang lebih muda dan lebih tua, serta akomodasi untuk anak perempuan.

Ibu asrama pertama adalah Nyonya R. G. Kedde, ia memiliki dua kamar pribadi, dan asistennya juga memiliki penginapan sendiri. Ada ruang kerajinan tangan untuk anak perempuan, bahkan dapur juga diatur untuk bisa memberikan instruksi khusus. Halaman yang luas menampung aula bermain dan gymnasium terbuka, dilapisi dengan karpet rumput yang kokoh.

Ruang Gymnastiek (Wereldculturen)

Asosiasi Muda untuk Pendidikan Anak Tuli berhasil mencapai semua ini karena Dewan Kota Bandoeng mengalokasikan Warisan Bosscha kepada asosiasi tersebut. Bapak K. A. R. Bosscha telah mempercayakan uang tersebut kepada Dewan Kota untuk tujuan amal, yang pada akhirnya digunakan untuk mendanai pembangunan tersebut.

Kedatangan Nyonya E. Goudberg untuk memberikan pendidikan, sangat signifikan. Setelah bekerja bertahun-tahun di Institut Groningen, dia dipercayakan untuk kelas pertama di Bandung, di mana anak-anak kecil menerima pendidikan bicara awal mereka. Jumlah murid terus meningkat, sehingga perlu perekrutan guru lain.

Kemudian datang penunjukan Bapak Soemarno sebagai instruktur. Meskipun tidak akrab dengan pendidikan tuli-bisu, antusiasme dan dedikasinya mengatasi banyak tantangan, dan para mantan siswa banyak berterima kasih padanya. Anak laki-laki yang lebih tua menerima pelatihan kejuruan di berbagai tempat di Bandung, seperti bakery atau penjahit. Salah satu dari mereka bahkan bekerja di bengkel teknis di lapangan udara Andir di luar Bandung, khususnya di departemen propeler, dan mencapai kesuksesannya yang sempurna.

Nyonya E. Goudberg, berdiri paling kiri (Nieuwsblad van het Noorden)

Berbagai kegiatan olahraga seperti sepak bola, kastie, dan layang-layang, dilakukan dengan antusias. Kompetisi kastie dilakukan oleh anak laki-laki dan perempuan di lapangan sekolah. Kadang-kadang, pertandingan dimainkan melawan sekolah lain di tempat yang sama. Setiap bulan Juli menandai awal liburan sekolah, dan semua anak diizinkan mengunjungi orangtua mereka selama sebulan, bepergian dalam kelompok yang diawasi. Anak-anak yatim piatu dijemput oleh “paman” dan “bibi” yang mengadopsi mereka, sebagai pengunjung reguler ke sekolah.

Serangan udara Jepang di Bandung mengakhiri pendidikan khusus ini pada tanggal 8 Desember 1942. Dua bom peledak mendarat di tanah Institut Tuli, yang sebenarnya ditujukan untuk Rumah Residen yang berdekatan (Pakuan). Direktur institut pun dimasukkan ke kamp konsentrasi.

Direktur Sekolah Asrama, memutuskan untuk menyerahkan semua siswa kepada orangtua mereka masing-masing. Namun, sepuluh anak yatim tetap tinggal, dan Nyonya R. G. Kedde merawat mereka selama tahun-tahun perang. Dia mengumpulkan mereka di tempat tinggal direktur di Nijlandweg 2B di Bandung.

Beberapa bulan kemudian, asrama darurat mereka diusir oleh perwira Jepang, dia pindah lagi dengan sepuluh anak tersebut ke rumah di Engelbert van Bevervoordeweg 4. Setelah lebih dari tiga tahun pendudukan, Bapak D. W. Bluemink, direktur, kembali ke Bandung. Bangunan Institut telah diubah menjadi klinik bersalin. Hanya tiga ruang kelas yang tersedia untuk tujuan aslinya. Hanya setelah perdebatan sengit dengan otoritas pasca-perang Institut Tuli akhirnya berhasil dikembalikan.

Menurut laporan dan foto dari Institut Anak Tuli dan Bisu di Tjitjendoweg 2A di Bandung, sekarang menjadi lembaga untuk anak-anak yang memiliki gangguan mental yang dikenal sebagai “SPLB” – “Sekolah untuk Anak-anak Terbelakang”. Terakhir, perlu dicatat bahwa Institut Anak Tuli Katolik Roma di Wonosobo masih beroperasi, seperti yang dikonfirmasi oleh institusi serupa di Sint-Michielsgestel, Belanda. ***

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *