Dongeng Bandung #2: Riwayat Alun-alun Bandung
Oleh: Dongeng Bandung
Perpustakaan dan Toko Buku “Rasia Bandoeng”, Minggu, 22 Juni 2025
Ariyono Wahyu alias Alex Ari alias Alek membuka cerita hari ini dengan beberapa kutipan dari buku legendaris karya Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Kota Bandung, lebih kurang seputar makna Alun-alun yang di dalam buku tersebut diceritakan melalui obrolan antara sang penulis yang saat itu berstatus sebagai mahasiswa dengan dosennya, Prof. Ir. V.R. van Romondt, seorang guru besar mata kuliah arsitektur di ITB. Haryoto Kunto tidak terlalu yakin dengan jawabannya sendiri ketika van Romondt bertanya, “Apa artinya Alun-alun?”
“Alun…, apakah artinya ombak lautan?”
Van Romondt membenarkan jawaban Haryoto Kunto, tapi kemudian muncul pertanyaan lanjutan, apa hubungannya ombak lautan dengan lahan terbuka di tengah kota, sehingga dinamakan Alun-alun? Lalu, dimulailah kisah mengenai berbagai macam pengertian Alun-alun sejak awal dan perkembangannya hingga sekarang.
Van Romondt, yang namanya kemudian hari dikenal juga karena memimpin pemugaran candi di kompleks Prambanan (1937), mengatakan bahwa pada dasarnya Alun-alun adalah halaman yang sangat luas di depan rumah. Pada masyarakat feodal, hanya para penguasa seperti raja, bupati, wedana, atau camat, saja yang memiliki rumah tinggal dengan halaman yang luas. Halaman yang luas ini biasanya menjadi pusat kegiatan masyarakat di sekitarnya, dengan kata lain, halaman itu menjadi jantung kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kata Haryoto Kunto, fenomena ini sudah terjadi sejak zaman Hindu, ingat saja keberadaan Alun-alun Bubat di depan istana Kerajaan Majapahit.
Dalam sebuah podcast di Komunitas Bambu, Marco Kusumawijaya, penulis buku Kota-Kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak (Kobam, 2023), menjelaskan tata letak Alun-alun pada masa Majapahit, yaitu bahwa sisi barat dan timur Alun-alun diisi oleh candi Budha dan Hindu beserta tempat tinggal mereka. Tata letak seperti ini masih dilanjutkan pada masa Islam dengan menempatkan masjid di sisi barat Alun-alun.
Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai makna awal penamaan Alun-alun, Haryoto Kunto mengutip keterangan dari buku Geschiedenis van Indonesia (H.J. de Graaf, 1949) yang mengisahkan suatu kegiatan rutin di Mataram yang disebut rampogan, sebuah tontonan yang terbuka untuk disaksikan oleh rakyat banyak, yaitu pertarungan sengit antara para prajurit Mataram, dengan perlengkapan tombak dan berbaris membentuk pagar, dengan seekor harimau lapar yang dilepas di tengah lapang.
Disawang dari atas panggung, pengunjung yang mbludak membanjiri lapang depan istana, memberi kesan bagaikan gerak ombak lautan! Sehingga orang kemudian mengasosiasikan lahan luas itu dengan Alun-alun, alias ombak lautan. Begitu kisah Van Romondt, tentang asal-usul nama Alun-Alun, yang menjadi ciri “jantung” kehidupan kota tradisional di Jawa.

Pada masa itu, Alun-alun baru terisi oleh tiga komponen utama saja, yaitu istana raja (atau bupati), rumah patih, dan pasar. Perubahan paling besar terjadi pada masa Gubernur Jendral Herman Willem Daendels yang membangun sistem jalan raya pos menghubungkan kota-kota besar di Pulau Jawa. Daendels membuat patok-patok (paal) dengan jarak antara 15 km, 30 km, sampai 60 km, untuk menghubungkan kota-kota. Ini menjelaskan kenapa ada kesamaan jarak antara Bandung dengan kota-kota besar terdekatnya, seperti Sumedang, Garut, dan Cianjur, yaitu 60 km.
Konon, lokasi Alun-alun di Bandung dipilih berdasarkan kepercayaan lama, bahwa tempat tersebut harus merupakan “bekas kubangan badak putih,” tentunya bukan dalam makna harfiah, karena menunjukkan suatu lahan yang memiliki sumber air, baik berupa mata air atau pun dilewati oleh aliran sungai. Dan memang seperti itulah kondisi lahan yang terpilih ketika Bupati Wiranatakusumah II memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung dari Citeureup (Dayeuhkolot) ke Bandung sekarang. Masyarakat Sunda waktu itu menyebut lahan untuk lokasi ibu kota baru ini dengan ungkapan “galudra ngupuk, taneuh hade, bahe ngaler-ngetan, deukeut pangguyangan badak putih.” (seperti garuda yang mengepakkan sayap, tanah subur, landai ke arah timur, dan dekat dengan sumber air).

Dalam perjalanan sejarahnya, Alun-alun Bandung, atau secara umum di Priangan, mendapatkan pengaruh kuat dari Mataram, mengingat lebih dari 50 tahun wilayah ini berada dalam kekuasaan Kerajaan Mataram (Dr. Edi S. Ekadjati. Naskah Sunda, 1983). Saat ini kondisinya sudah sangat berubah, yang tersisa dari pola lama mungkin hanya keberadaan Pendopo dan masjid saja, bahkan lapangan terbuka Alun-alunnya sejak beberapa tahun lalu sudah berubah menjadi bagian dari halaman masjid, dan tanahnya sudah tidak lagi alami karena dilapisi rumput sintetis. Penyatuan lapangan Alun-alun dengan masjid ini juga mengorbankan sebagian badan Jalan Dewi Sartika (dulu Regentsweg) yang sebelumnya terdapat di depan masjid, mulai dari persimpangan dengan Jalan Dalemkaum di sebelah selatan sampai simpang Kantor Pos Besar/Swarha.
Setelah pembangunan Jalan Raya Pos oleh HW Daendels, umumnya Alun-alun di kota-kota yang diilewati menempatkan pendopo kotanya menghadap ke jalan itu, lalu jalan-jalan perkotaan tumbuh berpotongan tegak lurus dengan Jalan Raya Pos sehingga membentuk pola duri ikan. Hal demikian tentunya terjadi juga di Bandung, bisa diamati menggunakan Google Maps.
Di Bandung baheula, tata letak Alun-alun juga mengalami perubahan, misalnya paling tidak sampai tahun 1910-an di tengah lapang Alun-alun pernah ada dua jalur jalan dimulai dari titik tengah bagian selatan ke arah utara, masing-masing membujur serong kiri dan serong kanan, membentuk huruf “V.” Pada titik paling selatan itu terdapat bangunan Bale Bandung, sebuah balai terbuka yang dahulu digunakan sebagai tempat pertemuan atau sidang antara para pejabat pribumi dengan bupati.
Dalam perjalanan sejarah kabupaten Bandung, letak Bale Bandung tidak selalu sama. Haryoto Kunto, dengan mengutip buku karya Andries de Wilde (1830), menyebutnya terletak di di pojok tenggara Alun-alun, bentuknya berupa bangsal luas dengan sederetan pilar besar yang berfungsi sebagai penyangga atap yang bersusun. Lantai bangsal terletak dua-tiga kaki di atas tanah. Bale Bandung merupakan tempat patih dan jaksa mengadakan rapat, bersidang, atau menerima tamu. Anehnya, dengan sumber yang sama, Andries de Wilde (1830), Sudarsono Katam dalam bukunya Kilas Peristiwa di Mata Filatelis; Sebuah Wisata Sejarah (Kiblat Buku Utama, 2006), menyebutkan bahwa Bale Bandung terletak berhadap-hadapan dengan Masjid Agung. Bale Bandung di sebelah timur dan Masjid Agung di sebelah barat.
Sepertinya ada masalah dalam penerjemahan teks aslinya yang ditulis dalam bahasa Belanda. Setelah diperiksa ulang menggunakan beberapa mesin penerjemah, yang ditulis oleh Andries de Wilde adalah “.. di antara pagar Alon Alon dan pintu gerbang yang menuju Gedong dan Kadaleman Kabupaten, terdapat bangunan penting lainnya, yang disebut Balie Bandong; bangunan ini terdiri dari ruangan yang sangat luas dan sebagian besar terbuka, yang atapnya bertumpu pada dua baris tiang, dan lantainya ditinggikan dua atau tiga kaki dari atas tanah.” (Hal 38-39).
Andries de Wilde menyebut seluruh kompleks ibu kota atau pusat pemerintahan kabupaten ini sebagai Nagara, dan menurutnya semua ibu kota kabupaten di tempat lain pun memiliki pola yang sama. Di Alon-alon terdapat pohon beringin yang terus bertumbuh menjadi besar. Di sebelah baratnya ada masigiet, di selatannya ada rumah bupati atau Boemie Dalm, dan di sebelah baratnya terdapat rumah besar atau Gedong tempat para pejabat, residen, atau para pelancong dapat menginap. Di sebelah timur Alon-alon terdapat tempat tinggal putra sulung bupati yang kelak akan menggantikannya. Dan di sebelah utara ada lodjie atau tempat tinggal pengawas perkebunan kopi.
Selanjutnya De Wilde menggambarkan bagaimana di dalam kompleks Nagara ini terdapat jalan-jalan kecil yang disebut loeloeroeng yang dikelilingi oleh pagar bambu yang disebut kekies. Tanah di jalan-jalan itu dilapisi oleh kerikil atau batu sungai berukuran kecil sehingga bersih dan nyaman untuk dilalui. Rumah-rumah berdiri saling berjauhan dan semuanya dikelilingi oleh tanaman dan pohon buah-buahan yang dari kejauhan membuatnya tampak seperti hutan. Di sepanjang tempat ini mengalir sungai yang menjadi sumber kebutuhan air.
Kembali ke Bale Bandung menurut Haryoto Kunto, ia juga menceritakan bahwa di depan Bale Bandung terdapat panggung kayu dengan tiang penggantungan di atasnya, tempat melaksanakan hukuman mati. Lokasi tiang gantung ini kira-kira di depan bekas Bioskop Dian sekarang.
Majalah Mangle pernah memuat kisah penggantungan seorang yang ketika itu dianggap pembelot karena menjual hasil panen kopi kepada orang Inggris di Cirebon, padahal seharusnya hasil panen kopi itu diserahkan kepada Belanda di Cikao, Purwakarta. Dalam melaksanakan perbuatannya, pembelot bernama Alimu itu, yang sebenarnya seorang jurutulis di koffie-pakhuis, bekerja sama dengan seorang mandor pedati. Sayang, Alimu dkk berhasil ditangkap Juragan Sakaut (Schout) ketika pedati-pedati mereka yang ditarik kerbau itu baru sampai di Cadaspangeran, Sumedang. Ganjaran bagi perbuatan itu, mereka harus menghadapi tiang gantungan di Alun-alun Bandung. Sungguh bentuk hukuman yang sangat berat dibanding hukuman-hukuman masa sekarang untuk perbuatan sejenis atau bahkan yang lebih berat dan jauh lebih merugikan negara dan masyarakat banyak.
Sementara itu, De Haan, dalam bukunya Priangan – Jilid II (1911), mengutip laporan Veth dan Groeneman, menulis bahwa istilah Alun-alun sering digunakan tumpang tindih dengan passerbaan, yaitu sebuah balai terbuka di Alun-alun tempat para pejabat pribumi secara resmi bertemu dengan atasan mereka, dan tempat sidang-sidang (pemerintahan pribumi) diladakan. Groeneman secara spesifik menyebutkan bahwa passerbaan adalah halaman depan yang memisahkan dalem (kediaman) dari Alun-alun. Di halaman lain dalam buku yang sama, disebutkan bahwa Bale Bandoeng adalah sebuah bangunan pemerintahan di Alun-alun.
Saat ini, masih kurang banyak data mengenai keberadaan Bale Bandung di kawasan Alun-alun yang dapat ditemukan, juga belum ditemukan informasi yang meyakinkan sejak kapan Bale Bandung sudah tidak ada lagi di sana. Dokumen-dokumen hingga arsip koran yang begitu banyak dari sejumlah lembaga pengarsipan di Belanda dan beberapa negara lainnya, belum semua dapat diperiksa dengan baik, selain karena keterbatasan bahasa, teknik pencariannya pun memerlukan keterampilan sendiri. Paling tidak, dari data-data yang sudah terkumpul, dapat disampaikan bahwa makna dan fungsi Alun-alun sangatlah luas dan beragam. Hampir semua jenis kegiatan masyarakat umum dapat dan pernah diselenggarakan di Alun-alun. Pada masa Hindia Belanda, selain untuk keperluan acara resmi pemerintahan pribumi, Alun-alun juga biasa digunakan untuk kegiatan masyarakat umum, tempat bermain anak-anak, perlombaan, olahraga termasuk sepakbola, bahkan untuk keperluan rapat besar atau kongres seperti yang pernah dilakukan oleh organisasi Sarekat Islam pada 17-24 Juni 1916 atau proklamasi berdirinya Negara Pasundan pimpinan Soeria Kartalegawa pada 4 Mei 1947.

Kisah Alun-alun di masa lalu masih sangat panjang, tidak banyak yang dapat disampaikan dalam pertemuan yang hanya berlangsung sekitar dua jam itu. Misalnya, mengenai konsep catur gatra, situasi Alun-alun pada awal abad ke-20 yang menjadi bagian periode yang paling banyak dikenal oleh para peminat sejarah populer, lalu periode sebelum masuknya Jepang, masa pendudukan Jepang, masa revolusi kemerdekaan serta eksistensi dua versi Negara Pasundan, dan periodisasi yang dapat dibagi lebih pendek-pendek lagi, yaitu perkembangannya antara tahun 1950 sampai pada masa sekarang ini. ***