Senyum Terkembang di Subang: Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 1)
Oleh: Irfan Pradana Putra
Pagi ini bener-bener telat bangun, padahal harusnya saya sudah berada di sekretariat Komunitas Aleut untuk mengikuti kegiatan Momotoran ke wilayah Subang. Dengan kecepatan turbo saya mandi oray, mengontak kawan-kawan menanyakan posisi untuk segera saya susul. Dengan kecepatan yang lebih tinggi saya memacu motor mengejar kawan-kawan yang sudah berada di daerah Dago, itu pun sedikit terpotong waktunya karena harus mengisi bensin dulu.
Tidak ada tanda-tanda kawan-kawan akan berhenti menunggu, jadi saya kejar titik pemberhentian pertama saja, di sekitar Maribaya. Saya mengambil jalan menuju kawasan Dago Giri lalu berbelok ke arah jalan Dalem Wangi, yang ujungnya mengarah ke kawasan Maribaya. Akhirnya saya bertemu rombongan juga, di sebuah kampung bernama Wangunharja, di atas Maribaya. Di sini langsung menyimak cerita-cerita seputar Maribaya dan Patahan Lembang yang terbentang di depan kami.
MARIBAYA
Sehari sebelum Momotoran hari ini, kami mendiskusikan dulu rute perjalanan yang akan ditempuh. Titik pertama yang akan kami kunjungi adalah Maribaya. Saya baru tahu kalau Maribaya dulu pernah begitu masyhur, hingga dijadikan judul dan tema sebuah lagu oleh kelompok musik The Cats dari Belanda pada tahun 1973. Setahun sebelumnya band ini tampil konser di Jakarta, dan di sela jadwalnya, mereka sempat mengunjungi Tangkubanparahu dan Maribaya di Lembang. Maribaya rupanya meninggalkan kesan manis bagi band ini:
The beauty of the place just stole my heart
I had never seen a paradise before…
Maribaya ternyata sudah terkenal lama sebelum kedatangan band The Cats itu. Pada masa Hindia Belanda, kawasan ini sudah jadi salah satu tujuan wisata favorit, terutama karena keberadaan air terjun dan pemandian air panasnya. Richard dan Sheila Bennett dalam buku Bandung and Beyond yang terbit pada tahun 1980 menggambarkan Maribaya sebagai kawasan perkampungan yang indah. Richard dan Sheila juga menganjurkan agar tidak mengunjungi Maribaya di hari Minggu, sebab – menurut keduanya – setiap hari Minggu Maribaya akan sangat padat, bahkan mereka menyebut setengah penduduk Indonesia saat itu akan memadati Maribaya 🙂
Meski begitu, sepanjang perjalanan melewati Maribaya hari ini saya tidak merasakan apa yang Richard dan Sheila itu tuliskan. Beberapa objek wisata di Maribaya tampak sepi. Jalanannya pun lengang, padahal saat itu hari Minggu. Zaman sudah berubah, semakin banyak pula pilihan tempat wisata.
Zaman sekarang, tempat wisata biasa ramai dan padat saat awal buka, media sosial membuat orang penasaran untuk segera berkunjung, tapi tak lama kemudian jadi sepi, ditinggalkan, orang beralih ke tempat wisata yang lebih baru lagi. Begitu seterusnya. Tak heran di mana-mana bisa kita lihat puing-puing tempat wisata yang sudah tidak laku lagi karena tren berubah dengan cepat.

PATAHAN LEMBANG
Nama Patahan Lembang kerap jadi buah bibir setiap kali terjadi gempa di wilayah Bandung dan sekitarnya. Patahan atau Sesar Lembang ini membentang sepanjang 29 kilometer, dimulai dari ujung barat di Kecamatan Ngamprah (Bandung Barat) hingga sisi timur di Kecamatan Cilengkrang (Kabupaten Bandung). Selain Patahan Lembang, Jawa Barat memiliki beberapa sesar aktif lain, antara lain Sesar Baribis Kendeng, Sesar Ciremai, Sesar Cirebon, Sesar Cimandiri, dan Sesar Garsela. Ya begitulah kata google.
Adanya sesar atau patahan di suatu wilayah dapat menimbulkan potensi gempa. Sesar adalah retakan pada lempeng kerak yang mengalami pergeseran. Pergeseran ini terjadi akibat aktivitas tektonik dan tekanan, mengakibatkan pecahnya kerak bumi dan tabrakan antar lempeng.
Dr. Mudrik Rahmawan Daryono, seorang peneliti dari Geoteknologi LIPI (kini BRIN) mengatakan jika segmen sesar sepanjang 29 kilometer ini bergerak serentak, maka akan menimbulkan gempa yang kekuatannya diperkirakan bisa mencapai 6,5 hingga 7 skala richter. Ya begitulah kata google.
Baiklah, kita lanjutkan lagi berkendara, sekarang menuju Puncak Eurad.

PUNCAK EURAD YANG LAPUK
Saya kesulitan mencari referensi sejarah kawasan Puncak Eurad ini. Meski begitu saya menemukan sebuah esai menarik yang menyebut-nyebut nama Puncak Eurad. Pada esai ini nama Puncak Eurad dijadikan sebuah latar dalam novel berjudul “Mugiri” karya Joehana, alias Achmad Bassach. Novel ini terbit pada tahun 1926. Mugiri adalah novel yang mengisahkan konflik percintaan dengan latar lokasi kawasan Bandung dan Subang.
Di Puncak Eurad kami menepi di sebuah lokasi wisata yang tampak sepi, atau mungkin sudah tutup permanen? Atau apakah seperti yang sudah dimention sebelumnya, sempat hits tapi kemudian ditinggalkan? Di seberang tempat ini terlihat ada sebuah patok yang ternyata merupakan penanda perbatasan wilayah antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang.
Sembari membuat catatan ini, saya mencari-cari informasi tambahan perihal Puncak Eurad. Mayoritas informasi yang saya dapatkan adalah ulasan wisata Puncak Eurad dengan berbagai foto serta video yang memanjakan mata. Menariknya, seluruh rekaman keindahan itu berlangsung belum terlalu lama. Puncak Eurad dicitrakan sebagai sebuah kawasan pariwisata yang hits dan instagramable. Cepatnya gerak media sosial membuat banyak orang berminat untuk mengunjunginya. Serentak Puncak Eurad ramai diperbincangkan. Seperti inilah penampakannya kala itu.
Saat ini, saya tak menemukan keindahan maupun kerumunan orang yang berebut foto di spot tersebut. Yang ada hanya jembatan-jembatan kayu yang lusuh dan hampir lapuk.
Jauh di dalam benak sih saya sebenarnya bersyukur tempat wisata artifisial seperti ini punah. Mata saya selalu merasa terganggu dengan keberadaan spot-spot selfie – yang umumnya – terpasang di tebing-tebing tinggi seperti ini yang justru sering menghalangi pemandangan alamnya. Fenomena ini begitu cepat menyebar ke banyak kawasan wisata di Indonesia. Kawasan Bandung juga tak kalah ramainya dengan tempat wisata yang mengusung konsep instagramable ini. Meskipun saya paham bahwa ini merupakan fenomena yang jamak dipengaruhi oleh tren media sosial.
Usai mengamati bambu-bambu lapuk, kami beristirahat sebentar di sebuah warung, tak jauh dari tempat itu. Setelah mengganjal perut dengan beberapa potong gorengan ditemani teh dan kopi, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Bukanagara.
BERMULA DI BUKANAGARA
Bukanagara adalah satu dari empat kampung yang terletak di wilayah Desa Cupunagara. Desa ini merupakan desa paling selatan di Kabupaten Subang dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Bandung Barat. Kampung Bukanagara dikelilingi oleh pegunungan, sawah, dan bukit teh yang luas. Sebagian besar penduduknya adalah petani dan karyawan perkebunan teh Bukanagara.
Dari sini, perjalanan berat khas Momotoran Aleut pun dimulai. Jalanan menuju Bukanagara bisa dibilang cukup terjal. Konturnya berbatu naik turun. Kami tidak bisa memacu motor dengan kencang sehingga kepayahan setiap menjajal tanjakan. Bahkan penumpang motor yang berboncengan harus berkali-kali turun dari motor karena tak kuat menanjak.
Saya terkadang berpikir, apa yang membuat Aleut bisa bertahan melakukan kegiatan Momotoran hampir setiap minggu dengan trek menyiksa seperti ini? Hal yang paling mengherankan adalah, tidak ada satu pun dari peserta Momotoran yang mengendarai motor khusus trek terjal, sebut saja motor trail. Kami seluruhnya menggunakan motor matic. Motor yang sebetulnya untuk digunakan di jalanan kota yang mulus ini disiksa untuk merayap-rayap di jalanan berbatu. Jika motor-motor kami bisa berbicara, mungkin suara yang keluar dari knalpotnya adalah sumpah serapah.
Berikutnya, kami tiba di pabrik teh Bukanagara, salah satu pabrik pengolahan teh yang dibangun pada masa kolonial Belanda. Pembukaan kawasan perkebunan teh bisa dibilang menjadi awal mula meluasnya pembangunan dan modernisasi di kota Subang. Saat ini perkebunan teh Bukanagara merupakan bagian dari Perkebunan Teh Tambaksari, selain Kasomalang, Palasari, dan Sarireja.
Terdapat satu nama penting yang tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan kawasan perkebunan di atas dengan sejarah perkembangan kota Subang. Namanya terukir pada sebuah tugu yang berdiri di tengah lapangan di depan pabrik. Tugu ini merupakan simbol penanda proyek pembuatan jalan pedati Bukanagara pada tahun 1847. Pada tugu itu tertulis nama Hofland dan Raden Rangga Martayuda (Demang Batusirap). Lantas siapakah sebenarnya sosok Hofland itu?

Nama lengkapnya adalah Peter William Hofland. Lahir di kawasan pantai Coromandel pada tahun 1802. Ibunya bernama Charlotte Meyer, sementara ayahnya bernama Theodorus Hofland, seorang kapten kapal di Coromandel. Pada tahun 1822 Peter Hofland datang ke Pasuruan, di Jawa Timur, untuk berdagang kopi. Kemudian minatnya bergeser dengan membuka perkebunan gula. Pada tahun 1833, Peter Hofland termasuk orang pertama yang mengadakan kontrak gula dengan pemerintah Hindia Belanda.
Ia kemudian melihat peluang lain di sisi barat Pulau Jawa. Tahun 1840, ia membeli sebagain perusahaan perkebunan yang sudah beroperasi di Subang sejak awal tahun 1800-an, yaitu Pamanoekan & Tjiasemlanden. Pada tahun 1853 perusahaan itu sepenuhnya menjadi milik Peter Hofland.
Pada puncaknya, luas tanah Pamanoekan & Tjiasemlanden meliputi hampir seluruh wilayah Kabupaten Subang saat ini. Perkebunannya yang luas menghasilkan berbagai macam produk: teh, kina, kopi, coklat, karet, sisal, tapioka, kapuk, merica, dan padi.
Luasnya lahan yang dimiliki oleh P&T Lands membuat Hofland memiliki kekuasaan ekonomi dan politik yang besar. Hofland memiliki wewenang untuk memilih pejabat-pejabat desa di sekitar wilayah kekuasaannya. Bisa dibilang perkembangan P&T Lands berbanding lurus dengan perkembangan kota serta masyarakat Subang kala itu. Jejaknya masih bisa kami temui hampir di seluruh jalan yang kami lewati. Dahulu jalanan ini dibuka untuk memudahkan akses lalu lintas pedati P&T Lands.
P. W. Hofland menikah dengan Helena Maria van’t Wout (1811-1891) dan dikaruniai delapan orang anak. Ia meninggal di Subang pada tahun 1872.

RUMAH AFDELING
Kami berpindah dari area pabrik ke area perkebunan yang sedikit lebih tinggi. Di sana kami mengunjungi rumah tua. Melalui arsitekturnya bisa dipastikan rumah ini dibangun pada zaman kolonial. Diyakini rumah itu adalah rumah Afdeling atau administratur perkebunan. Sayang kami tidak bisa masuk ke dalam rumah tersebut. Kami hanya mengintip dari kaca pintu. Meski begitu kami dapat melihat dengan jelas bagian dalam dari rumah. Pada salah satu sisinya terdapat tungku perapian untuk menghangatkan suhu.


Menurut sebuah artikel yang saya baca, rumah ini pernah dijadikan lokasi syuting film yang dibintangi oleh Wulan Guritno dan Atiqah Hasiholan. Artikel tersebut tidak menyebutkan apa judul film yang dimaksud. Karena penasaran saya coba mengetikkan kedua nama aktris tersebut di laman pencarian. Kata kuncinya saya tambahi dengan “Film Horror”.
Google menampilkan hasil pencariannya. Urutan teratas menampilkan halaman Wikipedia berjudul “Suster N: Dendam Suster Ngesot”. Saya melanjutkan pencarian ke portal Youtube dan menemukan film itu dengan durasi penuh. Tentu saja dengan kualitas gambar yang menyedihkan. Meski begitu sekilas tampak film itu mengambil latar tempat di rumah tua Belanda. Beberapa bagian rumah yang muncul di film tampak memang mirip dengan rumah Afdeling ini.

EMANG BOLEH GANTI RUTE SEMENDADAK ITU?
Boleh! Di Komunitas Aleut ternyata memang tidak ada rute baku walaupun sebelum perjalanan sudah menyusun rute dengan target-target tertentu. Sehingga perubahan rute dan tujuan di tengah jalan adalah sebuah keniscayaan. Pada rencana awal, setelah dari Bukanegara kami seharusnya menuju ke Mata Air Cipondok, namun berubah langsung menuju Kampung Adat Banceuy lewat jalur terpencil dan hutan, lalu ke Ciwangun yang jalannya ternyata ekstrim.
Sinar matahari mulai menyengat karena waktu sudah menunjukan pukul sebelas. Kelokan demi kelokan, tanjakan demi tanjakan kami lewati perlahan karena jalanan cukup sempit. Salah-salah, satu atau bahkan kami semua bisa terjun bebas ke dalam jurang. Kondisi jalan parahnya jauh lebih panjang dibanding dengan di Citengah yang kami lalui beberapa waktu lalu saat ke Malangbong-Sumedang.
Pas di ketinggian, di jalur sempit dan di tengah hutan pula, motor seorang rekan kehabisan bensin. Sudah diputuskan akan menuntun motor saja sampai ke kampung terdekat yang pasti tidak akan dekat. Tiba-tiba rekan P3K teringat bahwa di motornya ada selang kecil dan botol kosong. Segeralah dilaksanakan pertolongan pertama, memindahkan bensin secukupnya dari motor yang masih punya cadangan banyak.
Perjalanan pun lanjut, sampai ke sebuah turunan panjang dan curam yang bertabur batuan berantakan yang menuntut konsentrasi tinggi seorang pemain catur. Ujungnya adalah sebuah lembah sempit dengan jembatan beton kecil yang panjangnya mungkin kurang dari 10 meter.
JEMBATAN JOKOWI
Kami rehat sebentar di atas jembatan ini sambil mengeringkan cucuran keringat. Tiba-tiba muncul pemandangan yang menyenangkan, ada penjual lahang lewat. Lahang adalah air nira yang telah disadap, rasanya manis menyegarkan, apalagi jika diminum ketika cuaca panas terik begini. Naas, lahang yang dibawa dalam sebatang bambu panjang itu ternyata sudah tandas. Kesegaran tenggorokan tinggal mimpi.
Akhirnya kami menghibur diri dengan menikmati aliran sungai di bawah yang terlihat sangat jernih. Salah satu rekan sangat tergoda ingin nyebur, tapi masalah waktu dan pakaian ganti menghalangi niat spontannya. Ya daripada nanti kesorean ketika harus keluar dari lembah sempit ini. Kebayang, jalanan berikutnya adalah jalur tanjakan berbatu seperti jalur turunan sebelumnya.
Tidak ada yang lebih menarik di lokasi jembatan ini dari cerita bahwa warga di sini tidak tahu menahu asal-usul penamaan jembatan itu. Mereka juga bercerita yang punya nama tidak pernah menyambangi kawasan itu. Yang jelas, sebelumnya jembatan itu hanya berupa titian saja.

Kami melanjutkan perjalanan yang masih belum jelas seberapa jauh dan lamanya untuk keluar dari Ciwangun. Jalanan terjal sudah sedikit berkurang, tapi malah berubah menjadi jalanan berlumut. Setelah sekian tahun akhirnya saya merasakan kembali pengalaman terjatuh dari motor. Ban belakang motor saya gagal melahap undakan berlumut saat hendak berbelok. Walhasil motor saya ngepot dan reflek saya lempar. Beruntung saya tidak mengalami luka sedikit pun. Jalanan kemudian berubah mendatar dan lebih terbuka, rasanya sudah mendekati kampung. Di sini kami disambut oleh deretan pohon durian.
KAMPUNG ADAT BANCEUY
Tak berapa lama motor barisan paling depan berhenti dan memarkirkan kendaraannya di sebuah gerbang yang menandakan kami sudah tiba di area permukiman, yang ternyata: Kampung Adat Banceuy.


Konon, nama Kampung Banceuy berasal dari kata “Ngabanceuy” yang dalam bahasa Indonesia berarti Musyawarah. Ceritanya bermula pada tahun 1800-an. Kampung yang berdulunya bernama Kampung Negla (Neunggang jeung Lega) ini dilanda bencana angin puting beliung. Seusai peristiwa naas itu para tetua kampung mengadakan ngabanceuy yang menghasilkan keputusan perubahan nama dari Kampung Negla menjadi Kampung (Adat) Banceuy. Perubahan nama ini bertujuan agar warga kampung senantiasa diberkati dan dijauhkan dari bala. Peristiwa ini rutin diperingati setiap tahunnya oleh penduduk sekitar.. Tercatat ada 320 Kepala Keluarga yang tinggal di Kampung Adat Banceuy.
Di sini kami mengunjungi salah satu makam dari tetua adat yang bernama Eyang Syekh Singadiraksa. Kami menyempatkan diri mengamati pohon-pohon durian yang bunganya ranum. Beberapa tampak telah berbuah dan siap dipanen. Kami hanya bisa menyesap aroma sembari menahan liur dengan nanar. Perjalanan belum berakhir, dan sepertinya masih akan ada kejutan-kejutan lainnya. Kejutan-kejutan inilah yang membuat senyum saya selalu terkembang dalam perjalanan ini.
Yang pasti saat ini sudah masuk waktu cari makan siang, dan baru kami dapatkan setelah keluar dari Kampung Banceuy. Keluarnya persis di tengah keriuhan lalu liintas Kasomalang-Cisalak-Kumpay. Di tepi sebuah lapangan yang posisinya lebih tinggi dari badan jalan, terlihat ada beberapa tenda kursi dengan gerobak-gerobak yang ternyata menjual makanan dan minuman. Di sisi lain lapangan ada sebuah rumah kuno peninggalan masa kolonial yang masih digunakan.
Kami melanjutkan perjalanan menuju kompleks bangunan tua bekas Pabrik Teh Kasomalang. Perjalanannya memakan waktu kurang lebih 20 menit. Kami memacu motor saat matahari kian tinggi dan udara semakin panas.

Setiba di komplek PTPN VIII – Kantor Induk Kasomalang, kami parkirkan kendaraan di sebuah lapangan yang masih menjadi area bagian PTPN VIII. Di sana terdapat warung makan yang cukup ramai didatangi pengunjung. Kami beristirahat sejenak dan makan sebelum mengeksplor bangunan-bangunan yang berada di PTPN VIII. Usai perut terisi, satu persatu kami mulai menyambangi bangunan-bangunan tua yang ada di sana.
Di kompleks ini kami ditemani seorang satpam mengelilingi kawasan yang kini dijadikan kantor administrasi PTPN VIII Kasomalang. Beberapa bangunan terlihat masih mempertahankan bentuk aslinya, sebagian lainnya sudah mengalami perubahan. Bangunan-bangunan ini dulunya digunakan sebagai rumah afdeling perkebunan. Dari keterangan satpam yang menemani kami, kini kantor tersebut juga merambah komoditas sawit selain teh.

GEDUNG SINDER
Gedong ini awalnya merupakan Rumah Dinas Sinder Afdeling Perkebunan Teh Kasomalang. Sinder adalah posisi jabatan satu tingkat di bawah Administratur, tugasnya mengelola pabrik atau kebun bagian yang disebut afdeling. Dengan kata lain, seorang sinder adalah Kepala Afdeling. Di bawahnya ada jabatan Mandor yang terdiri dari dua bidang, Mandor Besar Petik yang membawahi 4-5 Mandor Petik, dan Mandor Besar Pemelihara yang membawahi Mandor Hama Tanaman dan Mandor Babad Gulma. Setiap Mandor Petik mengawasi karyawan petik yang biasanya terdiri dari 40-50 orang.
Gedong Sinder Kasomalang saat ini digunakan sebagai gedung serbaguna yang dikelola di bawah pemerintahan Desa Kasomalang. Gedung ini kerap menjadi pusat kegiatan warga yang dikelola oleh pemuda setempat. Di dalam gedungnya terpajang beberapa dokumentasi lama perkebunan Kasomalang.

PABRIK TEH KASOMALANG
Perkebunan dan Pabrik Teh Kasomalang dibuka tahun 1906, sebagai salah satu bagian dari Perkebunan Tambaksari. Pada masa revolusi kemerdekaan bangunan pabriknya pernah digunakan sebagai rumah sakit darurat.
Artikel Komunitas Aleut yang berjudul “Sekitar Bandung Lautan Api: “Bandung Utara” Bagian 2” menyebutkan bahwa pada masa pertempuran Bandung Utara, bangunan pabrik Kasomalang pernah dijadikan markas Batalyon Guerilla yang dipimpin oleh Mayor Djamhari. Batalyon ini merupakan Komandemen Pertahanan Karawang Timur-Bandung Utara yang terdiri dari 10 seksi atau pleton dan tiap seksi terdiri dari tiga regu yang masing-masing terdiri dari 13 orang.
Saking asyiknya mengitari area pabrik dan kantor perkebunan Kasomalang, tak terasa sore sudah menjelang. Sementara masih ada 3 lokasi yang harus kami kunjungi, antara lain PLTA Cijambe, makam pesinden legendaris Titim Fatimah, Pabrik Teh Tambaksari, dan Pabrik Teh Ciater. Kami lantas bergegas, berpacu dengan waktu agar seluruh destinasi dapat tuntas dikunjungi.
(Bersambung …)