Oleh: Irfan Pradana

Semalam sepulang bekerja saya sempatkan untuk membeli nasi goreng di tempat langganan sejak kecil. Sambil menunggu pesanan datang, saya disuguhi segelas besar teh tawar hangat. Gratis dan bisa diisi ulang sesuka hati.
Saya jadi teringat pada masa-masa saya tinggal di Yogyakarta. Hampir di setiap warung makan di Jogja, teh tidak diberikan secara cuma-cuma. Pengunjung harus merogoh kocek tambahan jika ingin meminum teh, baik teh tawar maupun teh manis. Jika tak ingin keluar duit lagi, silakan minum air putih.
Haryoto Kunto dalam bukunya “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” sempat merekam fenomena ini. Teh di wilayah priangan adalah komoditas utama penopang perekonomian. Perkebunan teh membentang luas menguasai lahan yang berada di Jawa Barat. Imbasnya persediaan teh jadi melimpah ruah.
Sebagaimana hukum ekonomi, ketika supply melimpah, maka harga akan turun. Penjual makanan mungkin sudah memasukkan teh sebagai komponen harga pokok produksinya. Entah, yang pasti teh tawar disuguhkan gratis.
Membicarakan perkebunan teh —khususnya di wilayah Bandung— akan mempertemukan kita pada nama-nama pembesar, juragan teh, seperti Bosscha atau keluarga Kerkhoven. Nama mereka telah diabadikan di banyak monumen maupun literatur sejarah. Bosscha misalnya, namanya tetap harum hingga saat ini berkat sumbangsihnya dalam bidang pendidikan di kota Bandung. Namanya terpatri sebagai nama peneropong bintang di utara Bandung sana.
Lantas bagaimana cerita dari sekrup paling penting dari industri yang membesarkan nama-nama seperti Bosscha?
Tulisan ini merangkum isi perjumpaan kami dengan seorang mantan buruh pemetik teh di perkebunan Sinumbra, Rancabali. Namanya Ibu Iwin.
Ngalor Ngidul dengan Bu Iwin, Pensiunan Pemetik Teh di Sinumbra
Minggu lalu Komunitas Aleut kembali mengadakan kegiatan momotoran, kali ini tujuannya ke sekitar Sinumbra-Cipelah. Kami berkeliling di seputar Ciwidey dan Rancabali untuk menyusuri jejak Siluman Merah, Max Salhuteru, Perkebunan Teh Sinumbra, Desa Sukaati, hingga ke wilayah Cipelah, Cianjur.
Rute ini dibuat dengan satu jalur, sehingga seluruh destinasi kami lewati dua kali. Kami bertemu dengan Bu Iwin di perkebunan Sinumbra saat perjalanan pulang. Awalnya di Sinumbra kami hanya melawat ke pabrik dan masjid yang dibangun oleh Max Salhuteru. Mungkin bu Iwin masih bekerja di kebun saat pertama singgah tadi.

Pertemuan dengan Bu Iwin sama sekali tidak direncanakan. Saat itu kami hanya ingin beristirahat di sekitar desa Sukaati. Istilahnya meluruskan punggung setelah menempuh perjalanan cukup panjang ke Cipelah. Kebetulan mata juga sudah lelah terkena hembusan angin perkebunan.
Saat memasuki Desa Sukaati, ada sebuah masjid dengan halaman yang luas dan kami memutuskan untuk beristirahat di situ, sekalian coba-coba mencari keterangan dari warga sekitar tentang lokasi markas Siluman Merah. Di masa revolusi kemerdekaan pasukan ini memang sempat bermarkas di Sukaati.
Setelah memarkir kendaraan, saya melihat Bu Iwin sedang duduk-duduk menikmati sore di depan rumahnya bersama dua ibu lain. Kami menanyakan hal-hal seputar pasukan Siluman Merah kepada mereka. Hasilnya nihil, tidak ada satu pun dari warga yang tahu atau pernah mendengar nama itu.
“Teu terang nya, Cep, da Ibu mah sanes asli ti dieu. Mung ti Rancabali,” jawab Bu Iwin.
Dua temannya yang lain pun memberikan jawaban hampir serupa. Tapi meski begitu saya pilih tetap berbincang dengan Bu Iwin sementara dua temannya pamit karena ada urusan lain. Kami yang tadinya mau tidur barang sebentar saja di masjid malah larut dalam obrolan.
Memetik teh sebagai kerja turun temurun
Bu Iwin lahir pada 1974, dan tahun lalu ia pensiun bekerja sebagai buruh pemetik teh setelah bekerja selama lebih dari 30 tahun. Kini ia bekerja sebagai petani buah strawberry di kebun milik seorang juragan yang sering sekali namanya ia sebut, yakni Pak Narya. Bagaimana ceritanya bisa jadi buruh pemetik teh di Sinumbra?
Sejak kecil Bu Iwin sudah terbiasa dengan kerja-kerja perkebunan. Hampir setiap hari ia ikut bersama kedua orang tua serta kakaknya untuk memetik teh. Karena itu saat memasuki usia remaja, ia direkrut menjadi pegawai perkebunan Sinumbra. Sejak saat itulah setiap pagi, ketika langit masih gelap, ia pergi ke bukit-bukit teh.
“Pokona mah tos sholat subuh téh siap-siap, wé. Masak bekel saaya-aya kanggo tuang siangna. Resep sareng rerencangan bari ngagosip, bari ngadu tumis,” terang Bu Iwin.
Ngadu tumis adalah istilah Bu Iwin dan rekan-rekannya untuk berbagi lauk bikinan masing-masing ketika makan siang. Kami yang mendengarnya terkekeh oleh istilah-istilah ajaib yang keluar dari mulut Bu Iwin.

“Kapungkur mah raos, haneuteun di dieu téh, Cép, komo upami tos tanggalna gajihan mah. Tukang dagang teh meni ngajalajar. Tah di dinya tah,” Bu Iwin dengan antusias menceritakan fungsi sebuah bangunan di sebelah masjid yang dulu digunakan untuk tempat pembagian upah.
Sebelum maraknya penggunaan rekening Bank, pembagian upah dibagikan secara langsung. Pada setiap tanggal yang ditetapkan, para buruh membentuk antrean di depan bangunan loket. Fenomena ini menarik karena mampu menciptakan ruang sosial sekaligus ekonomi. Setiap hari pembagian upah, loket akan dipenuhi oleh para penjual makanan. Mereka berharap mendapat cipratan dari upah para buruh yang biasanya mengantre sambil menggendong anak-anaknya.
Ngomong-ngomong soal anak, Bu Iwin juga bercerita tentang fasilitas penitipan bayi yang kini sudah lenyap. Beberapa waktu lalu Rani dan Reza, sesama rekan Aleut pergi ke perkebunan Patuahwatee. Mereka menemukan bangunan bekas penitipan bayi yang kondisinya juga sudah tidak difungsikan. Saya pun teringat saat Momotoran ke perkebunan Sedep, di sana saya menemukan album foto yang salah satunya memotret bangunan penitipan bayi. Kondisinya pun serupa, sudah tidak ada.
“Kapungkur mah alhamdulillah tiasa nitipkeun orok upami badé metik téh. Janten teu hawatos da tos aya nu jagi,” kenang Bu Iwin.
Bu Iwin bukan orang pertama yang bercerita tentang malangnya kondisi perkebunan teh saat ini. Saat ke Rancasuni maupun Sedep, suara prihatin itu selalu muncul. Kini kabarnya jumlah pegawai hanya tersisa sedikit. Seorang mandor honor di Rancasuni bahkan menyebut kondisi perkebunan sekarang dengan peribahasa, “Hidup Segan Mati Tak Mau”. Entah apa penyebabnya.
“Ah, 40 jalmi gé henteu ayeuna mah. Sakedik pisan, Cép. Jaba ayeuna pan tos ku mesin,” lanjut Bu Iwin.
Sumber di internet menyatakan bahwa secara keseluruhan, kondisi bisnis teh di Indonesia, baik dari sisi produksi maupun distribusi, sedang menghadapi tantangan. Berdasarkan laporan BPS tahun 2022, produksi teh di Indonesia mencapai 124,7 ribu ton, menurun sebesar 9,56% dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya, yaitu pada periode 2021.
Penurunan ini terjadi seiring dengan semakin berkurangnya lahan perkebunan teh. Pada tahun 2022, hanya delapan wilayah di Indonesia yang memproduksi teh. Sumber yang sama juga menyebutkan bahwa bahwa lesunya industri teh dikarenakan oleh berbagai faktor, namun utamanya adalah alih fungsi lahan.



Kini genap satu tahun Bu Iwin pensiun sebagai buruh pemetik teh. Ia sekarang bekerja sebagai petani Strawberry yang lebih menguntungkan saat ini. Anak sulung Bu Iwin pun saat ini bekerja sebagai pengepak strawberry di kebun yang berbeda.
Berapa lama lagikah kisah-kisah tentang pekerjaan di perkebunan teh seperti yang diceritakan oleh Bu Iwin akan bertahan? ***