Yusuf Tauziri dan Masjid Cipari, Garut

Ditulis oleh: Deuis Raniarti

Damini atau Yusuf Tauziri adalah pemimpin Pesantren Darusalam, Wanaraja. Nama Yusuf Tauziri ia dapatkan setelah melaksanakan ibadah haji tahun 1923. Pada tahun yang sama, ia memimpin pondok pesantren bernama Darussalam, sekarang lebih dikenal dengan sebutan Pesantren Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut.

(Bangunan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Cipari. Foto Komunitas Aleut)

Hari Sabtu, 18 Februari 2023, kami mengunjungi tempat ini. Tentu bukan tanpa alasan. Ada beberapa kisah yang sering diobrolkan berulang di Komunitas Aleut, seringkali disertai perjalanan berulang dengan tema yang sama di setiap generasi. Salah satu tema dan perjalanan yang berulang itu adalah yang berhubungan dengan Kartosuwiryo dan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). DI/TII memang membawa pengaruh besar, dan dampaknya dirasakan di banyak tempat. Hal inilah yang membuat kami terus membahas dan terus melakukan perjalanan untuk menelusuri jejak DI/TII.

Belum lama, kami mengunjungi beberapa jejak DI/TII di daerah Majalaya dan Pacet. Di wilayah masih banyak tempat yang belum terkunjungi karena keterbatasan waktu kami, sementara dalam catatan kami masih ada banyak tempat lain di wilayah yang berbeda yang juga kami rasa perlu untuk kami kunjungi, seperti wilayah Garut dan Tasikmalaya. Karena itu dalam kesempatan ini kami dahulukan ke daerah lain sebelum lain waktu kembali lagi ke daerah-daerah di kaki Gunung Rakutak ini.

(Masjid As-Syuro/Masjid Cipari. Foto Komunitas Aleut)

Salah satu jejak penyerangan DI/TII di wilayah Garut adalah di Masjid Cipari. Selain masjid, di sini juga terdapat sebuah pesantren yang perintisannya sudah berlangsung sejak tahun 1895 oleh KH Harmain. Pada tahun 1910 beliau diasingkan ke Sawahlunto, Sumatera Barat, dengan tuduhan pembangkangan.

Sepulangnya dari pengasingan, beliau kembali ke pesantren dan membina generasi muda waktu itu, termasuk putra putrinya. Selepas kepemimpinan KH Harmain yang wafat pada tahun 1933, pesantren diteruskan oleh dua putranya yaitu KH Abdul Qudus dan KH Yusuf Tauziri. KH Abdul Qudus fokus pada pendidikan pesantren, sementara KH Yusuf Tauziri lebih menonjol dalam pergerakan.

Bentuk bangunan Masjid Cipari tidak seperti masjid yang umumnya kami kenal. Bentuknya persegi panjang dengan gaya art deco. Pada bagian atas salah satu pintu masjid terdapat sebuah plakat bertuliskan “Masdjid Sjoero 1355 Sjawal-April 1936 Tjipari.”

(Yusuf Tauziri. Sumber: Buku Kartosoewirjo; Mimpi Negara Islam, KPG, 2011)

Yusuf Tauziri mengenal Kartosoewirjo ketika mereka tergabung dalam Partai Sarekat Islam Indonesia. Kartosoewirjo yang berasal dari Cepu, pindah ke Malangbong, Garut, pada tahun 1929 setelah sebelumnya menjadi sekretaris pribadi HOS Tjokroaminoto. Di Malangbong Kartosoewirjo mempelajari islam dengan berguru ke Ajengan Ardiwisastra, Kiai Mustafa Kamil, dan juga Kiai Haji Yusuf Tauziri.

Hubungan guru-murid antara Yusuf Tauziri dan Kartosoewirjo mulai tidak mulus ketika Kartosoewirjo memiliki gagasan mendirikan Negara Islam dengan meninggalkan Republik. Yusuf Tauziri merasa belum saatnya untuk hijrah total. Karena perbedaan pendapat inilah Yusuf Tauziri dan pengikutnya dianggap kafir oleh pasukan DI/TII.

Sejak Negara Islam Indonesia diproklamasikan di Cisampang, Tasikmalaya, penyerangan terhadap Yusuf Tauziri dan pesanternnya di Cipari terjadi berulang-ulang selama 7 tahun lamanya, dari tahun 1949 sampai 1958.

Selama rentang waktu tersebut, DI/TII telah puluhan kali menyerang Masjid Cipari. Serangan yang terbesar terjadi pada tanggal 17 April dan 5 Agustus 1952. Pada saat itu, Yusuf Tauziri harus menghadapi dua musuh. Siang hari berhadapan dengan pasukan Belanda, dan sore hari dengan pasukan DI/TII.

(Pemandangan dari menara Masjid As-Syuro. Foto Komunitas Aleut)

Pada malam hari tanggal 17 April 1952, sekitar 3.000 anggota DI/TII datang untuk menyerbu Masjid Cipari. Yusuf Tauziri mengatur komando menahan serangan. Ia berada di puncak masjid bermodalkan senapan, dua peti granat pemberian TNI ia bagi dengan para santri yang berjaga di bawah. Kala itu, jumlah pengawal Yusuf Tauziri kalah banyak dari pasukan DI/TII.

Konsentrasi para pengawal pun pecah karena harus menjaga pengungsi perempuan dan anak-anak. Suara sholawat dan takbir bersahutan dengan suara tangisan dan teriakan dari anak-anak. Serangan itu terus berlangsung hingga larut malam, para penyerang mulai mundur saat menjelang subuh.

Setelah dirasa aman, warga Cipari mulai meninggalkan masjid untuk memeriksa kondisi sekitar. Rumah-rumah terbakar, mayat-mayat tergeletak di sawah, dan air di kolam ikan berubah warna menjadi merah. Sholeh, salah satu saksi sejarah penyerangan Masjid Cipari menyebutkan, sejak peristiwa itu, dua tahun lamanya warga Cipari sempat enggan bersawah, dan ikan pun tak laku dijual.

(Peta Wilayah Darul Islam. Sumber: NII Sampai JI, Solahudin, Komunitas Bambu, 2011)

Selama 13 tahun pasukan DI/TII terus bergerilya ke beberapa kota lain untuk melancarkan aksinya. Pada Juni 1962, pasukan TNI lewat operasi Pagar Betis berhasil menangkap Kartosoewirjo di Gunung Geber, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung. Penangkapan ini mengakhiri seluruh pemberontakan dan upaya Kartosoewirjo mendirikan negara impiannya itu, Negara Islam Indonesia.

Setelah menghadapi puluhan serangan dari DI/TII, tugas KH Yusuf Tauziri tidak selesai sampai di situ, ia kembali berkontribusi dalam penumpasan PKI di sebagian wilayah Jawa Barat hingga Yogyakarta.

KH. Yusuf Tauziri wafat di Garut pada 1982, ia dimakamkan di kampung halamannya dekat Pesantren Darussalam. Setelah Yusuf Tauziri meninggal, Masjid Cipari dipimpin oleh keponakannya yang bernama KH Amin Bunyamin. Selain menjadi pesantren tahfidz, mulai tahun 1968, Pesantren Cipari mendirikan tempat belajar formal setingkat SMP dan SMA.

***

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s