Momotoran Paranggong: Camara, Londok sampai Puncakbaru.

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Berfoto dengan latar belakang Cagar Alam Gn. Simpang. Foto: Komunitas Aleut

“Paranggong euy!” gumam saya dalam hati.

Semalam di Ciwidey terasa cepat dan langit sudah terang kembali, sudah beberapa kali momotoran kami selalu menginap semalam sebelum besoknya menempuh perjalanan, cara ini dilakukan agar bisa menghemat tenaga dan bisa memulai perjalanan lebih dekat. Sebenarnya niatan untuk momotoran ke Paranggong ini baru diputuskan ketika menginap, niat awalnya sih staycation hehe.

Kami memulai perjalanan dari penginapan yang tak jauh dari Jl. Alamendah menuju Kampung Camara. Sepanjang jalan ke Camara ya lumayanlah engga jelek-jelek banget, udah ada cor beton meskipun baru dikit, kata warga itu bantuan dari perusahaan gas. Sebelum sampai Camara sudah ada korban motor kempes, motor Ervan langganan bocor kalau momotoran haha. Sembari menunggu motor yang bocor di Camara, saya dan Pahep mengobrol dengan guru SD Kendeng. Dia bercerita banyak hal mengenai kondisi sekolah, salah satunya tentang satu kelas yang hanya berisikan tiga orang siswa. Pak guru ini pun setiap hari harus menempuh perjalanan Ciwidey-Camara untuk mengajar. Jadi malu rasanya kalau kadang ada yang menyebut perjalanan momotoran kami ini sebagai petualangan mengingat banyak warga yang setiap hari bolak-balik menempuh puluhan kilometer jalanan rusak untuk pekerjaan sehari-hari mereka.

Mang cilok isi di Kampung Camara. Foto: Inas Qori Aina

Selain guru tadi, tukang cilok yang kami temui di pos Camara juga tak kurang seru kisahnya. Beliau ini pernah kerja di perkebunan Rancabolang selama 32 tahun. Semasa kerjanya aktif dalam tim sepakbola perkebunan, sehingga bisa banyak cerita situasi perkebunan-perkebunan lain yang pernah dikunjunginya dalam rangka pertandingan bola antartim perkebunan. Setelah pensiun dari perkebunan, beliau memilih berjualan cilok keliling dengan motornya. Jalur kelilingnya biasanya di sekitar kawasan perkebunan Rancabolang-Patuahwattee. Beliau tinggal di Citiwu dekat Tabrik, Ciwidey.

Setelah selesai menunggu motor, perjalanan dimulai kembali. Kampung berikutnya adalah Mandala, namun sebelum sampai, kami sudah disambut oleh jalanan penuh lumpur yang cukup dalam. Oh ya Mandala ini kampung terdekat dari Camara, engga sampai 5 menit sudah sampai di Mandala. Setelah lolos dari kubangan lumpur yang panjang dan dalam itu, perjalanan dilanjutkan menuju Pondok Lima, jaraknya kurang lebih 4 km dari Mandala. Jalanannya berbatu dan licin karena baru diguyur hujan. Lumayan berat. “Ini baru sampai Pondok Lima, belum Paranggong, Ditt” kata saya dalam hati haha.

Pondok Lima, kiri ke Dewata, kanan ke Paranggong. Foto: Aditya Wijaya

Pondok Lima itu sebutan untuk lokasi percabangan jalan ke arah Dewata dan Paranggong. Dari sini terlihat kalau Paranggong masih 7 km lagi. Sebenarnya Paranggong sudah masuk dalam daftar tujuan kunjungan Aleut sejak beberapa tahun lalu ketika pertama kalinya Aleut berkunjung ke Dewata. Tapi ya karena selalu kepotong oleh banyak agenda dan tujuan lain, baru kali ini kami dapat mendatangi Paranggong.

Situasi jalan menuju Paranggong. Foto: Deuis Raniarti.

Sepanjang jalan menuju Paranggong engga ada bagus-bagusnya, jalanan perkebunanlah ya, jadi kangen jalan aspal haha. Naik dan turun jalanan berbatu melewati bukit-bukit di tengah perkebunan teh dan hutan, sungguh bikin pegal badan. Kabut perlahan turun menemani perjalanan ini, ada sesuatu yang unik kalau kita terus melihat ke arah kabut yang sedang bergerak, ada sensasi objek di sekitarnya terasa ikut bergerak bersama kabut.

Warung di Kampung Paranggong. Foto: Inas Qori Aina

Sesampainya di Kampung Paranggong, sudah ada warung yang menyambut tepat di depan portal masuk Paranggong, di warung tersebut terlihat warga dan satpam. Kami beristirahat di sini sambil jajan dan isi bensin tentunya. Ternyata di Kampung Paranggong belum masuk listrik, meski sudah ada tiang-tiang listrik baru sepanjang jalan ke Paranggong, ternyata baru kabelnya saja yang terpasang. Pak Satpam menjelaskan baru tahun 2022 listrik akan terhubung. Saat ini warga hanya mengandalkan kincir-kincir air untuk menghasilkan listrik. Jika warga tidak mempunyai cukup biaya untuk membuat kincir atau memasang kabel, ya terpaksa mereka tidak bisa mengakses listrik dan hanya menggunakan cempor sebagai penerangan. Zaman sudah modern seperti ini ternyata masih ada ya yang tidak bisa menikmati listrik. Akses jalan yang sulit serta tidak adanya listrik, sungguh perjuangan hidup yang luar biasa.

Ujung tujuan perjalanan kami ini sebenarnya bukanlah Paranggong, tapi lebih jauh lagi, Kampung Jayanti, di Cianjur Selatan. Setelah obrolan panjang dengan warga dan selesai mengisi bensin, kami lanjutkan menempuh jalanan berbatu yang kondisinya semakin buruk saja. Tak lama, terlihat bagian atap sebuah pabrik milik PT Sangkawangi. Pabrik ini terletak di Kampung Sawad, kampung terakhir sebelum mencapai Kampung Londok. Kami tak bisa lama-lama berhenti di Sawad, karena perjalanan harus terus dilanjutkan.

Kampung Londok. Foto: Inas Qori Aina
Gapura selamat datang Kampung Londok. Foto: Inas Qori Aina

Akhirnya kami sampai di Kampung Londok. Kampung ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Cianjur, ditandai dengan adanya tugu berwarna kuning dengan kujang kecil di atasnya. Kami sempatkan untuk istirahat sejenak di sini, sembari mengobrol dengan salah satu warga, seorang sepuh yang berasal dari Puncakbaru hanya saja sedang ke Londok untuk menemui keluarganya.

Dia bercerita mengenai kondisi lingkungan di Londok, untuk soal transportasi hanya ada dua kali elf yang lewat Londok. Elf pertama berasal dari Terminal Cibereum Ciwidey menuju Puncakbaru, sementara elf kedua dari Puncakbaru menuju Terminal Cibereum Ciwidey. Ketika ditanya soal jalan, bapak menerangkan hanya sebagian jalan yang sudah dicor, yaitu bagian ketika masuk Cagar Alam Gunung Simpang. Jalan ini dipunyai oleh Kabupaten Cianjur. Setelah cukup beristirahat kami teruskan perjalanan. Tak lama kami melihat plang Cagar Alam Gunung Simpang. Benar saja, di sini jalan sudah dicor, lumayanlah istirahat dari jalanan berbatu walaupun sebenarnya tidak berarti menjadi mudah juga karena jalanan yang tidak mendapat banyak sinar matahari ini kondisinya cukup licin, berlumut. Jadi teringat cerita seorang bapak di Camara tadi, bahwa di jalur ini cukup banyak kecelakaan, terjatuh, karena kurang berhati-hati menjalankan kendaraanya di atas jalanan berlumut.

Tidak semua bagian jalan di hutan ini mulus, sebagian lagi sudah mulai hancur dan rusak, mungkin karena faktor alam yang mempercepat kerusakan jalan.

Jalan di Cagar Alam Gn. Simpang. Foto: Inas Qori Aina
Jalan di Cagar Alam Gn. Simpang. Foto: Deuis Raniarti.

Keluar dari hutan dan semakin jauh ke selatan, kondisi jalanan juga semakin hancur, jalanan yang terjal menurun dan berbatu. Penampakannya sudah seperti dasar sungai yang kering. Sepanjang momotoran bersama Aleut mungkin jalur ini yang paling ekstrem yang saya alami. Motor rasanya terbanting-banting ke sana-sini, untuk menahan agar posisi dapat stabil lurus ke depan saja sangat tidak mudah. Bebatuan di atas jalanan bukanlah bebatuan yang sudah diratakan, malah terlihat seperti bebatuan berukuran cukup besar yang ditabur begitu saja. Beberapa bagian jalan juga masih berupa tanah merah berlumpur.

Jalanan hancur yang harus dilewati. Foto: Deuis Raniarti.

Setelah perjuangan panjang melalui jalanan edan, akhirnya terlihat juga dari kejauhan keberadaan perkampungan. Secercah harapan setelah bertempur dengan kerasnya jalanan. Ternyata itu Kampung Puncakbaru. Ketika memasuki kampung yang terlihat cukup ramai dibanding Paranggong atau Londok ini, ada sebuah pertigaan. Ke kanan ke Jayanti dan kiri ke Talegong. Menurut warga, keduanya sama jauh dan hancur kondisi jalannya haha.. Baiklah, harus pandai-pandai menentukan mau ambil jalan yang mana.

Dengan beberapa pertimbangan, kami memutuskan untuk ambil jalur ke Talegong. Hari sudah semakin sore dan kami hanya tahu Talegong masih jauh dari Gunungheulang, tempat kami beristirahat saat itu. Tanya-tanya ke warga, jawabannya selalu singkat, “Tebih keneh.” Talegong bukanlah nama baru bagi kami karena cukup sering melintasi kawasan itu dari berbagai arah. Yang terbayangkan adalah jalanan yang mulus yang akan menjadi bagian akhir perjalanan hari ini. Tapi ternyata tidak sesederhana itu kenyataannya, karena bukan hanya jauh, tapi juga kondisi jalanannya yang hancur-hancuran sembari terus menerus harus menghadapi tanjakan dan turunan.

Bagian dalam Talegong sungguh tidak sama dengan lintasan yang selama ini sering kami lalui, apalagi ini pertama kalinya kami melintasi pedalaman di sisi barat, masih belum akrab. Memang di jalur ini lebih banyak kampung yang dapat kami temui dibanding seluruh perjalanan dari Camara sampai Puncakbaru. Pemandangan yang banyak ditemui di sini adalah persawahan bertingkat dan ladang-ladang, selain beberapa bagian hutan kecil.

Persawahan bertingkat dengan batu-batu berukuran sebesar mobil atau rumah di sana-sini sebenarnya menyajikan pemandangan yang cukup spektakuler, namun lingkungan sekitarnya seperti kurang tertata rapi, sehingga pemandangan alam seindah itu harus kalah daya tariknya oleh keadaan jalanan yang buruk. Boro-boro mau menikmati pemandangan, mau melewati jalur jalan pendek saja kadang susahnya minta ampun. Di sini kami naik turun lembah, melewati beberapa sungai penuh batuan dan sejumlah air terjun kecil.

Setiap tiba di sebuah kampung, kami pikir sudah dekat dengan jalan raya, tapi ternyata tidak. Bolak balik seperti itu sampai pada akhirnya sekitar pukul 19.00 kami tiba di ujung jalan dan bertemu ruas jalan besar Talegong.

Perjalanan Camara-Paranggong-Londok-Puncakbaru-Talegong. Foto: Deuis Raniarti.

Perjalanan hari ini luar biasa melelahkan, tapi sekaligus juga telah memberikan berbagai pengalaman yang sungguh spektakuler.  

* * *

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s