Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Inas Qori Aina
Bukan Surabaya, tapi Ciwidey. Jika saja boleh, saya ingin ubah penggalan lirik lagu Naik Kereta Api ciptaan Ibu Soed itu. Lagu anak-anak yang sering saya dengarkan semasa kecil ini mengantarkan saya untuk bercerita pengalaman Ngaleut Jejak Kereta Api Bandung-Ciwidey (Sabtu, 21 November 2020).
Saya terpikir, pantas saja Ibu Soed menyebutkan Kota Bandung di dalam lagunya, ternyata pengembangan jaringan perkeretaapian di Bandung menyimpan banyak cerita di baliknya. Peresmian masuknya jalur kereta api ke Bandung pada tahun 1884, ternyata berefek panjang. Bandung segera menjadi salah satu kota di Hindia Belanda yang paling berkembang pada masa itu.
Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api milik pemerintah itu memulai pembangunan jaringan Bogor–Bandung–Cicalengka sebagai jaringan kereta api tahap awal di Priangan. Kota Bandung yang saat itu mengalami pertumbuhan penduduk cukup pesat, tidak diimbangi dengan pasokan hasil bumi dari daerah sekitarnya, terutama dari Bandung Selatan.

Bandung Selatan merupakan daerah subur yang menghasilkan berbagai komoditas pertanian dan perkebunan seperti teh, kopi, dan kina. Semua melimpah ruah, namun daerah ini juga agak terisolasi dan tidak memiliki transportasi yang memadai, sehingga untuk mengangkutnya tidaklah mudah. Sebelum kereta api muncul, berbagai hasil bumi dari Bandung Selatan diangkut menggunakan pedati. Jenis angkutan ini tentulah tidak efektif dan efisien. Harga pengangkutan barang per satu ton adalah 15 sampai 18 sen. Belum lagi, waktu perjalanannya cukup lama.
Untuk mengatasi hal itu, Staatsspoorwegen turun tangan dengan membangun sistem jaringan kereta api. Pembangunan jalur antara Bandung-Ciwidey dimulai pada tahun 1917, dengan tujuan awal menuju kawasan Kopo, melewati Dayeuhkolot dan Banjaran. Pembangunan jalur Bandung-Kopo sepanjang 26,5 km menghabiskan dana sekitar 1.385.000 gulden. Setelah empat tahun pembangunan, pada 13 Februari 1921 Stasiun Kopo pun resmi dibuka untuk umum.

Pemilihan Dayeuhkolot dan Banjaran sebagai salah satu daerah yang dilewati, tentu ada pertimbangannya. Dahulu, Dayeuhkolot (Krapyak) merupakan ibukota Kabupaten Bandung. Lokasinya sangat strategis karena berada di sisi Ci Tarum. Faktor perekonomian mendorong Stasiun Dayeuholot memiliki jalur percabangan menuju kawasan lain, Majalaya. Dibuatnya jalur menuju Majalaya karena pada saat itu jumlah penduduk di Majalaya cukup padat sehingga aktivitas pasarnya cukup ramai (Agus Mulyana: 13).
Di sisi lain, Banjaran menjadi simpul transportasi penting yang menghubungkan Soreang (Kopo), Pangalengan, dan Dayeuhkolot. Di Stasiun Banjaran ini barang-barang perkebunan dibongkar untuk kemudian diangkut dan didistribusikan ke berbagai daerah menggunakan angkutan kereta api. Sebagian barang yang diangkut di Stasiun Banjaran berasal dari perkebunan-perkebunan yang tersebar di sekitarnya, yaitu dari daerah Arjasari, Puntang, Pangalengan, dll.

Dari Stasiun Banjaran dilakukan pengembangan jalur menuju Cisondari. Dibangunlah sebuah halte agar penyaluran hasil bumi menjadi lebih cepat dan murah. Halte ini bernama Halte Cisondari, yang kini lebih lebih sering disebut sebagai Stasiun Pasirjambu. Cisondari dipilih karena lokasinya yang dekat dengan perkebunan teh di Gambung. Perkebunan ini merupakan salah satu perkebunan awal di daerah Ciwidey-Pangalengan yang dirintis oleh salah satu Preangerplanters yaitu Rudolph Eduard Kerkhoven sejak tahun 1873.
Dengan adanya kereta api, maka pengangkutan hasil bumi pun menjadi lebih cepat dan murah. Setelah adanya kereta api, waktu yang diperlukan untuk pengiriman barang dapat berkurang lebih dari setengahnya daripada menggunakan pedati. Ongkos untuk mengangkut barang pun menjadi hanya sebesar 4 sen pertonnya. Tidak tepat juga rasanya, jika naik kereta boleh dengan percuma, seperti kata Ibu Soed dalam lagunya.
Butuh beberapa waktu bagi Staatsspoorwegen untuk mengembangkan jaringan perkeretaapian Bandung-Ciwidey. Kondisi alam Ciwidey yang berada di ketinggian 1.106 mdpl menjadi tantangan tersendiri bagi Staatspoorwegen. Baru pada tanggal 17 Juni 1924, pembangunan Stasiun Ciwidey selesai dan diresmikan penggunaannya.
Sebagai stasiun terujung, Stasiun Ciwidey memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Gudang-gudang serta rumah-rumah warga lebih banyak dijumpai di sekitaran stasiun. Stasiun ini juga memiliki
pemutaran, yaitu sistem mekanik yang digunakan untuk memutarkan arah lokomotif.
Eksistensi jalur kereta api Bandung-Ciwidey tidak bertahan lama. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan jalur ini kemudian ditutup. Turunnya permintaan hasil perkebunan Priangan membuat semakin sedikitnya jalur yang digunakan, lalu jalur-jalur percabangan yang tidak lagi diprioritaskan, membuat efisiensi dilakukan oleh Perusahaan Kereta Api. Alasan lainnya adalah semakin bertambahnya saingan jenis transportasi membuat kereta api tidak lagi menguntungkan. Mobil dan truk saat itu dinilai lebih baik karena dapat menaikkan serta menurunkan barang dan penumpang langsung sampai di tujuan.
Hal lain yang semakin mendorong dilakukannya penutupan jalur ini adalah terjadinya kecelakaan rangkaian kereta api di Kampung Cukanghaur, Kecamatan Pasirjambu, pada 7 Juli 1972. Kecelakaan ini diduga akibat kelebihan beban muatan yang membawa kayu pinus untuk dikirim ke Jakarta.
Lalu, penggalan lagu Naik Kereta Api pun kembali terngiang di pikiran saya:
K’retaku sudah penat Karena beban terlalu berat.

Setelah 58 tahun menjadi jalur aktif, kini jalur Bandung-Ciwidey berada dalam status nonaktif. Peninggalannya masih dapat ditemui, meskipun tampak banyak sekali perubahan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh warga sekitar stasiun. Untuk mengakhiri cerita ini, saya pun menyanyikan bait terakhir lagu naik kereta api
Di sinilah ada stasiun,
Penumpang semua turun.
Sumber data: Mulyana, Agus. 2017. Sejarah Kereta Api di Priangan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
***
nice article