Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Farly Mochamad
Walaupun jalur kereta api masuk ke Bandung pada tahun 1884, namun percabangannya ke kawasan perkebunan di Bandung Selatan yang relatif masih terisolasi tidak segera disusulkan. Butuh lebih 30 tahun lagi sebelum jalur ke pedalaman itu mulai dibangun.
Harapan baik datang ketika pada tahun 1917 perusahaan kereta api pemerintah, Staatsspoorwegen, mulai membangun jalur yang menghubungkan Bandung dengan Kopo melewati Dayeuhkolot dan Banjaran. Stasiun Dayeuhkolot dan Banjaran adalah titik percabangan jalur lain untuk mengakses daerah Majalaya dan Pangalengan, sedangkan Kopo akan dilanjutkan sampai ke Ciwidey.
Rencana pembangunan ini mulanya dilelang dan didapatkan oleh pihak swasta, namun kebutuhan biaya yang sangat besar membuat pemenang lelang gagal melaksanakan pembangunannya. Oleh sebab itu, Staatsspoorwegen-lah yang kemudian melaksanakan pembangunan jalur ini.
Pembangunan jalur kereta api ini telah menghemat cukup banyak waktu dan biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengangkutan hasil perkebunan. Dengan alat transportasi tradisional pedati, butuh ongkos antara 15-18 sen untuk setiap ton, sementara dengan kereta api hanya butuh 4 sen saja per ton-nya. Dari segi waktu pun, sangat jauh lebih cepat, juga hemat tenaga.
Tahap Pertama: Bandung – Kopo
Pembukaan jalur pedalaman ke Ciwidey dilakukan dalam dua tahap. Yang pertama, jalur rel sepanjang 26,5 kilometer antara Bandung-Kopo dikerjakan selama empat tahun dengan biaya 1.385.000 gulden. Rute ini melewati sejumlah pos dengan rincian: Bandung – Cikudapateuh – Cibangkonglor – Cibangkong – Buahbatu – Bojongsoang – Dayeuhkolot – Kulalet – Pameungpeuk – Cikupa – Banjaran – Cangkuang – Citaliktik – Kopo (Soreang). Seluruh bagian selesai dan diresmikan.

Dalam prosesi peresmiannya, Bupati Bandung dan Residen Priangan naik kereta api pukul 08.15 dari Karees, Bandung. Kereta api yang dinaiki diberi banyak hiasan bunga. Pukul 10.00, kereta api tiba di Stasiun Kopo dan disambut oleh ribuan orang. Kemudian dilaksanakan ritual pemotongan kepala kerbau yang ditanam di halaman stasiun.
Prosesi di Stasiun Kopo ini berlangsung tak lebih dari satu jam, setelah itu, rombongan kembali ke Bandung menggunakan kereta api yang sama. Keesokan harinya, moda transportasi kereta api ini sudah dapat digunakan oleh umum secara reguler.
Tahap Kedua: Kopo – Ciwidey
Pembangunan jalur Kopo-Ciwidey sepanjang 13 kilometer ini menghabiskan waktu selama tiga tahun. Pos-pos pemberhentiannya dibangun di Sadu – Cukanghaur – Cisondari – dan trakhir, di Ciwidey. Pengerjaan bagian ini banyak sekali menghadapi rintangan alam yang disiasati dengan pembuatan sejumlah jembatan besar dan kecil. Jembatan-jembatan utamanya adalah Jembatan Sadu, Jembatan Rancagoong, dan Jembatan Andir.
Berbeda dengan jalur Bandung-Kopo yang diresmikan pembukaannya, di jalur Kopo-Ciwidey tidak ada perayaan atau acara peresmian. Jalur kereta api ini digunakan pertama kali oleh kalangan intern Staatsspoorwegen.
Kecelakaan di Jembatan Cukanghaur
Pada tahun 1970-an terjadi sebuah kecelakaan di daerah Cukanghaur, kereta api anjlok dari relnya dengan dugaan karena membawa muatan yang berlebih, yaitu kayu-kayu yang akan dibawa ke Jakarta. Kecelakaan ini merenggut nyawa tiga orang pegawai, termasuk Kepala Stasiun Ciwidey. Sejak kejadian itu, jalur ini tidak pernah digunakan lagi sampai akhirnya ditutup pada tahun 1982.
Penutupan Jalur Bandung-Ciwidey
Terjadinya kecelakaan di Cukanghaur bukanlah satu-satunya alasan jalur kereta api ini ditutup. Pada tahun
1970-an, perkembangan moda transportasi, baik manusia maupun hasil perkebunan, sudah banyak diambil alih oleh mobil dan truk yang dianggap lebih praktis dan dapat langsung mencapai titik-titik tujuan. Semua jalur percabangan di lintasan ini pun sama nasibnya, tidak lagi menjadi prioritas dan akhirnya ditutup bersamaan dengan penutupan beberapa jalur percabangan lain di Jawa Barat.
Kondisi terkini

Jejak keberadaan jalur kereta api Bandung-Ciwidey masih dapat disaksikan sampai sekarang, walaupun dalam kondisi yang tidak terlalu baik. Kebanyakan kumuh. Sisa-sisa bangunan sudah dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai tempat usaha, atau bahkan tempat tinggal dengan mendirikan rumah-rumah tinggal di jalur rel yang dulu selalu kosong. Ujung jalur kereta api Ciwidey yang semula tempat pemutaran lokomotif pun sekarang sudah berubah menjadi perkampungan yang cukup padat. Gudang-gudang yang masih bersisa di sana-sini, juga dimanfaatkan oleh warga, beberapa di antaranya dibiarkan dalam keadaan kosong dan terkunci.
Andai saja bangunan-bangunan sisa-sisa yang masih terdapat di jalur rel ini terawat, mungkin sebagian sudah menjadi Cagar Budaya yang dilindungi. Sayangnya, bukan itu yang terjadi…
***
Kenapa statsiun kopo (soreang) gak ada dokumentasinya ya? Dan sepertinya tidak banyak dibahas atau mungkin tidak dikunjungi mungkin ya.
Kalo saya baca beberapa artikel jg spertinya tidak ada yg membahas statsiun kopo (soreang) ini, tidak seperti statsiun dayeuhkolot, banjaran, dan ciwidey.
yang saya bingung kok pas peresmian kok dari halte karees? bukan dari st bandung, itu halte karess baru lagi apa gimana. ada koreksi typo itu seharusnya Cibangkonglor bukan kolor :D. kata tambahan lor dari bhs belanda artinya utara.
Nuhun koreksi typonya yaa.. Soal Halte Karees nanti ada yang reply.
izin bertanya, ini sumbernya dari mana ya? soalnya menarik untuk diperdalam