Putaran Roda di Atas Jalan Berliku di Kabupaten Sumedang

Oleh : Arifin Surya Dwipa Irsyam (@poisionipin)

Jalan berliku dalam kehidupan… – Surya Tenggelam, Chrisye–

Hari minggu pekan lalu, saya kembali ikut ngaleut momotoran setelah berbulan-bulan vakum dari kegiatan outdoor tersebut. Malam sebelum keberangkatan, saya memutuskan untuk bermalam di Kedai Preanger bersama beberapa orang teman. Sebut saja mereka Siti, Irfan, dan Elmi. Saya tidur nyenyak sekali di kedai, tanpa gangguan fisik. Ah.. barangkali rumor keberadaan tumila (Cimex hemipterus (Fabricius 1803)) di lantai atas hanya rumor belaka. Oke.. baiklah lebih baik kita kembali ke topik utama saja.

Keberangkatan dari Kedai Preanger baru berlangsung pukul 08.00 WIB karena menunggu beberapa teman yang belum datang. Entah mengapa, saya dan Ervan dipilih menjadi pasangan motor oleh Abang hari itu. Barangkali karena kami sama-sama bertubuh ringan, sehingga tidak akan menyusahkan saat melewati tanjakan. Sepanjang perjalanan, saya dan dik Ervan berbincang-bincang dengan topik yang abstrak tanpa henti. Mulai dari sejarah, masalah kuliah, curhatan, hingga hal-hal yang berbau sex. Ternyata si kecil ini tidak sepolos yang saya bayangkan! Hahaha… Inilah mengapa ngaleut momotoran menjadi ajang penting untuk mengenal aleutian satu sama lain. Kita sering berjumpa tiap minggunya lewat kegiatan rutin seperti nonton film, kamisan, atau kelas literasi. Namun, saya hanya mengenalnya sebatas permukaan saja, belum menjelajahi sisi terdalam mereka. Jika dianalogikan sebagai jeruk, selama ini saya baru sebatas menjilati kulitnya dan belum sampai mengecap daging buahnya yang ranum serta segar.

Banyak sekali hal menarik yang otak saya rekam saat menjelajahi Jatigede di Kabupaten Sumedang. Salah satunya saat kami tersasar. Ya.. bisa dibayangkan, Pak, nyasarnya edan. Ga kira-kira. Enam puluh kilometer! Mulai dari celana basah akibat kehujanan, hingga celana kering karena terpapar Surya. Kalau sepanjang itu saya berjalan, mungkin sudah 6 butir telur pokemon kategori 10 km yang saya tetaskan! Meskipun demikian, saya tetap menikmati perjalanan tersebut. Ini hal tergila yang pernah saya alami selama bergabung di Komunitas Aleut sejak 7 tahun silam. Tapi ya.. itulah hidup. Kadang untuk sampai ke tujuan, kita perlu melintasi jalan yang berliku dan panjang. Selama perjalanan, kami selalu menjaga jarak agar tidak terlampau jauh dengan teman-teman yang lain, terutama ketika tersasar.

Cobaan tak hanya masalah tersasar, tapi juga ada hal lain yang di luar dugaan. Di awal perjalanan, Irfan Teguh Pribadi dan kekasihnya sempat kena tilang oleh polisi di Kota Sumedang. Kami memulai perjalanan bersama-sama dan begitu pula sebaliknya, sehingga kami tetap menunggu sepasang kekasih itu menyelesaikan masalah dengan pihak kepolisian.

Toponimi di Sepanjang Jalan

Jujur saja, saya tidak piawai dalam menghafal nama-nama lokasi yang kami lewati. Namun, dua di antaranya berhasil terngiang-ngiang di bagian hippocampus otak saya, yaitu Desa Cinangsi dan Desa Cipeuteuy. Desa Cinangsi merupakan bagian dari Kecamatan Cisitu, yang luasnya sekitar 397,53 hektar. Secara toponimi, nama “nangsi” sendiri berasal dari satu jenis tumbuhan khas kawasan Asia yang tersebar mulai dari Himalaya, seluruh Asia Tenggara, hingga ke Jepang dan New Guinea. Dahulu mungkin di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Desa Cinangsi banyak ditumbuhi oleh pohon nangsi. Sayangnya, saya tidak melihat sebatang pun di sana.

nangsi

Nangsi atau Oreocnide rubescens (Blume) Miq | © Arifin Surya Dwipa

Nangsi atau Oreocnide rubescens (Blume) Miq. berperawakan pohon dengan tinggi mencapai 8 m. Secara taksonomi, nangsi dikelompokkan ke dalam suku Urticaceae (keluarga pulus) bersama-sama dengan pulus (Dendrocnide stimulans (L.f.) Chew) dan poh-pohan (Pilea melastomoides (Poir.) Wedd.). Jenis ini tumbuh di dataran rendah hingga kawasan pegunungan. Kalau pembaca penasaran dengan pohon ini, sila meluangkan waktunya sejenak untuk menjumpai pohon nangsi di sepanjang jalur pendakian Gunung Gede Pangrango. Selain tumbuh secara liar di hutan tropis, nangsi biasanya juga ditanam sebagai pohon pencegah erosi di lahan-lahan yang kritis. Pemanfaatan lainnya yaitu bagian daun muda dapat dikonsumsi sebagai lalab, baik dimakan segar maupun direbus terlebih dahulu. Informasi tersebut direkam oleh Ochse dan Bakhuizen van den Brink Jr. dalam buku berjudul Indische Groenten yang terbit pada tahun 1931.

Kawasan selanjutnya yang saya ulas yakni Desa Cipeuteuy. Secara administratif, desa tersebut terletak di Kecamatan Darmaraja dan merupakan titik tertinggi di kecamatan tersebut karena terletak pada ketinggian 492 m dpl. Berdasarkan asal-usul penamaannya, kata “peuteuy” merujuk pada satu jenis tumbuhan polong (kacang-kacangan) yang rasa dan aroma bijinya sedap, yaitu Parkia speciosa Hassk. atau juga dikenal dengan nama petai. Peuteuy merupakan tumbuhan asli dari Asia Tenggara, yang area sebarannya meliputi Thailand sebelah Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Filipina (Pulau Palawan). Pada umumnya, peuteuy ditanam di kebun tradisional atau talun. Sehingga tidak mengherankan jika desa ini diberi nama Cipeuteuy, mengingat bahwa masih banyak talun di sana. Jenis ini telah dibudidayakan sejak lama, karena bagian bijinya dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi  atau dengan kata lain bersifat edible. Selain dimakan, bijinya juga dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk diabetes dan pembasmi cacing perut. Bahkan daunnya pun juga digunakan untuk mengobati cacar.

peuteuy

Peuteuy | © Arifin Surya Dwipa

Lokasi tujuan destinasi, Puncak Damar, pun tak lepas dari kajian toponimi. Menurut Sary, seorang Aleutian yang notabene adalah putri Sumedang, dahulu di tempat ini terdapat sebuah pohon damar (Agathis dammara (Lamb.) Rich. & A.Rich.). Namun, kini sudah tak berbekas lagi. Pohon damar sendiri secara alami berasal dari Filipina dan Maluku, kemudian banyak ditanam di luar daerah sebaran asli untuk diambil resinnya. Resin beraroma tajam dan berwarna putih yang keluar dari batang damar digunakan sebagai bahan dasar kopal untuk campuran lak dan vernis. Bahkan resinnya juga dimanfaatkan untuk obat sakit gigi oleh masyarakat lokal di Sulawesi Tengah

bunga bongborosan

Bongborosan (Boesenbergia pandurata Roxb.) | © Arifin Surya Dwipa

Aneka Ragam Jenis Tumbuhan Yang Membuat Saya Ternganga

Saya cukup kaget saat melewati jalur transportasi di Kabupaten Sumedang, mulai dari gerbang kabupaten hingga area sekitar Waduk Jatigede. Hal tersebut dikarenakan banyaknya aneka ragam jenis jahe-jahean yang tumbuh liar di sepanjang jalan. Ada jahe hutan (Zingiber sp.), koneng (Curcuma longa L.), temu putih (Curcuma zedoaria (Christm.) Roscoe), hingga bongborosan (Boesenbergia pandurata Roxb.). Sebagian besar yang saya temukan tumbuh meliar, hanya beberapa populasi saja yang ditanam di pekarangan rumah. Saya sempat mengambil spesimen koneng dan bongborosan di kawasan Jatigede. Bagi beberapa teman, melihat saya mengoleksi tumbuhan dengan penuh semangat juang di lapangan merupakan sebuah tontonan yang menarik. Hahaha..

bunga koneng

koneng (Curcuma longa L.) | © Arifin Surya Dwipa

Selain kelompok jahe yang telah disinggung di atas, juga masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang kami jumpai. Beberapa di antaranya yakni gadung (Dioscorea hispida Dennst.), gelagah (Saccharum spontaneum L.), kawung (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.), rambutan (Nephelium lappaceum L.), tusam (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese), dan waru (Hibiscus macrophyllus Roxb. ex Hornem.). Waduk Jatigede sendiri juga menarik perhatian saya. Di sana masih terdapat hutan larangan yang menyeramkan sekaligus menyejukkan. Suara teriakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis (Raffles 1821)) yang tengah berkelahi menggema dari dalamnya. Semoga saja suatu hari nanti saya bisa kembali datang ke Jatigede untuk menjelajahi dan mengoleksi tumbuhan dari hutan larangannya.

gadung yang membelit daun kawung

gadung (Dioscorea hispida Dennst.) | © Arifin Surya Dwipa

Penutup

Kurang lebih perjalanan ini sangat berkesan untuk saya. Di samping melihat aneka ragam jenis tumbuhan dan pemandangan indah, saya juga menikmati setiap momen indah yang terbangun bersama saudara-saudara di Komunitas Aleut. Saya bisa datang kapan saja ke sana, tetapi momen tak akan pernah lagi akan sama. Melalui kegiatan seru ini, para Aleutian saling berbagi cerita, pengalaman, cemilan, bahkan jok motor. Mengutip Laksmi Pamuntjak bahwa perjalanan melatih diri untuk tetap menjaga jarak seraya berbagi begitu banyak. Putaran roda Honda Scoopy di atas yang berliku tak sekedar menjadi putaran biasa saja di hari itu. Yuk.. kita momotoran deui.

Baca juga artikel lainnya mengenai toponimi

(komunitasaleut.com – ipi/upi)

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s