Oleh: Warna Sari (@rie1703) dan Mooi Bandoeng (@mooibandoeng)
Nama Palintang seperti dalam judul kegiatan Komunitas Aleut pada hari Minggu, 2 April 2017 lalu, sudah tidak asing lagi buat saya, karena termasuk sudah cukup sering mengunjunginya. Saya tidak terlalu ingat kapan pertama kali ke Palintang, mungkin di awal tahun 2000-an. Ketika itu, jalanan dari arah mana pun ke Palintang masih sangat buruk, jalanan berbatu dan masih banyak yang hanya berupa tanah merah, di musim hujan dapat dibayangkan seperti apa rasanya berkendaraan menuju Palintang. Tak heran di sini saya banyak menemukan kelompok-kelompok offroader, banyak macam motor trail atau mobil-mobil sejenis jeep. Dari beberapa kunjungan awal ke Palintang, saya belum memiliki wawasan apapun soal tempat ini, masih menikmatinya sebagai satu tempat yang menyenangkan dengan pemandangan indah di lekukan pergunungan Bandung Utara.
Minggu lalu Komunitas Aleut membuat program ngaleut ke Palintang, judulnya sederhana saja, Ngaleut Palintang. Setelah hampir 17 tahun, tentu saja saya sudah mendapatkan berbagai tambahan wawasan mengenai kawasan itu. Cara lihat saya sudah berbeda dengan belasan tahun lalu itu. Misalnya saja, penambahan beberapa lokasi kunjungan yang memang berada di satu kawasan, seperti Batuloceng dan lokasi pabrik kina, serta sebuah situs yang sangat dikeramatkan oleh sebagian kalangan, yaitu Demah Luhur. Saya juga dapat melihat Palintang sebagai sebuah pusat peristirahatan berbagai kelompok yang beraktivitas di alam bebas.
Pemilihan kawasan Palintang ini sebetulnya tidak benar-benar mandiri, karena masih berhubungan dekat dengan beberapa program ngaleut sebelumnya seperti Ngaleut Mukapayung, Ngaleut Pabuntelan, Ngaleut Leuwibandung, dan di sebagian perjalanan Susur Pantai Selatan #2 bersama Tim Djeadjah Priangan. Keterhubungan ini terutama ada pada tokoh yang sudah sering dibicarakan dalam ngaleut sebelumnya, Dipati Ukur.
Jalur jalan dari Dago ke Dalemwangi dan Buniwangi sudah cukup sering dilalui oleh Komunitas Aleut, beberapa tanjakan panjang sudah diperkirakan sebelumnya. Sebelas motor non offroader (matic) sudah siap menjalaninya. Kali ini seluruh kondisi jalur jalan dalam keadaan bagus, teraspal dengan mulus, hanya sedikit bagian saja yang rusak dan tidak sampai melambatkan perjalanan. Yang tidak terduga adalah, usai tanjakan panjang setelah Pancuran Tujuh, motor salah satu rekan ternyata bocor bannya, rombongan memutuskan untuk berhenti dan menunggu saja sementara motor yang bermasalah dijalankan pelan, kembali turun ke arah Dago Giri untuk menambal ban.
Saat menunggu di depan sebuah vila, lewat seorang bapak sambil memanggul pikulan dua buah karung goni yang terisi sesuatu. Seperti biasa, saya selalu mengajak warga yang saya temui di jalan untuk mengobrol. Ternyata dia penjual gula aren yang datang dari Kampung Cibeusi di belakang Ciater, Subang. Setiap hari bapak ini mengumpulkan sejumlah gula aren hasil produksi warga kampung dan menjualnya ke daerah Lembang. Dari Cibeusi ia naik angkutan desa sampai Terminal Lembang, lalu dari terminal berimprovisasi ke mana saja kaki membawanya melangkah. Berangkat pagi, pulang menjelang sore. Selain kendaraan umum Subang-Lembang, perjalanan di Lembang seluruhnya dilakukan dengan berjalan kaki, tanjakan atau turunan curam sudah sangat biasa baginya. Di Cibeusi pun kondisi alamnya tak jauh berbeda, berbukit-bukit, ke mana pun pergi, ya mesti nanjak-nurun, biasa aja. Waktu berangkat dari Cibeusi tadi, sang bapak membawa 30 bonjor gula aren dan ketika bertemu kami, bawaannya sudah tinggal 10 bonjor saja. Satu bonjor itu berisi 10 bongkah gula yang dibungkus oleh daun aren. Saya dan seorang rekan masing-masing membeli satu bonjor. Kawan bocor ban sudah kembali dan kami berpisah dengan bapak gula aren, sambil dadah-dadahan tentunya.
Mencapai pintu gerbang Maribaya, suasana jalanan berubah, seperti di dalam kota saja, macetttt panjang. Rupanya wahana baru The Lodge belakangan ini menjadi lokasi kunjungan favorit berbagai bangsa yang datang dari Bandung dan sekitarnya sampai Jakarta dan sekitarnya, ya mungkin juga pengunjung dari kota-kota lain yang kebetulan sedang berada di sekitar Bandung. Jalanan yang dulu selalu sepi ini, sekarang sudah jadi jalanan yang riuh dan penat. Tak kurang dari satu jam rombongan motor kami merayap di ruas jalan menuju The Lodge.
Akhirnya, Patrol. Ini nama satu tempat yang biasanya dijadikan terminal akhir angkutan desa di wilayah ini. Di sini ada sebuah jalan kecil mengarah ke Kampung Batuloceng, Desa Suntenjaya, di lereng Gunung Palasari. Beberapa tahun lalu, jalanan kampung ini masih dalam keadaan rusak berat, di bawah ada sebuah jembatan kecil, dan di sepanjang aliran sungai kecil itu banyak sekali pohon kopi. Pemandangan serupa masih dapat dilihat sekarang, kecuali bahwa jalannya sudah berubah menjadi jalanan beton dalam kondisi yang cukup bagus.
Sudah banyak perubahan suasana kampung di Batuloceng. Rumah-rumah kayu sudah berganti menjadi rumah-rumah tembok, trap-trap tanah sudah disemen dibeton. Bila dulu masih bisa melihat rumah-rumah kayu yang seperti bertumpuk karena karakter tanah yang berbukit, sekarang pemandangan itu berkurang karena atap-atap rumah menjadi lebih tinggi dibanding keadaan sebelumnya. Di sini sebagian rekan mampir ke rumah kuncen Batuloceng, Pak Maman, untuk pamit berkunjung ke situs Batuloceng. Setelah itu rombongan membawa motor ke Sasakbeureum untuk parkir.
Di Sasakbeureum, kami jajan macam-macam dulu di warung yang terletak di sisi jalan masuk ke Kampung Cikapundung. Ada leupeut dan bala-bala berukuran extra large yang lumayan mengenyangkan, ada kopi hitam kemasan selera orang kampung yang tak pernah ditanyakan cara seduhnya atau karakter rasanya, yaiyalah namanya juga kopi kampung, Kampung Nusantara.
Beres jajan, sebagian besar rombongan langsung aleut-aleutan mapay jalan satapak yang menanjak vertikal sekitar 50 meteran sebelum menemukan belokan ke jalan setapak lain yang lebih landai. Dulu saya ingat jalan tanah yang sempit ini punya banyak jalur di lereng Gunung Palasari, warga menyebutnya jalan babagongan dan bisa tembus ke timur ke Gunung Kasur, atau sedikit ke bawah ke Palintang, atau lebih ke bawah lagi ke Cikahuripan, lokasi Demah Luhur berada. Bagian kunjungan ke situs Batuloceng saya lewat dulu saja karena sudah cukup sering diceritakan. Hal baru yang terlihat di situs ini adalah keberadaan atap di atas Batu Kujang dan bagian tanah yang sekarang sudah berlapis porselen.
Berikutnya kami menyusuri hutan menuju Palintang dan tiba di sebuah lapangan yang becek. Di bagian tanah tinggi lapangan ini berdiri sebuah bangunan kayu dan bambu, konon tempat tinggal seorang pegawai kebun kina. Sementara di sudut lapang terdapat sebuah warung sederhana yang dilayani oleh seorang bapak dan dua orang perempuan muda. Perjalanan Batuloceng-Palintang di bawah hujan yang cukup deras dan kabut tebal membuat dingin terasa menusuk badan. Kopi dan makanan panas yang segera disediakan betul-betul sudah membantu menghangatkan.
Warung Palintang segera riuh oleh kedatangan Komunitas Aleut. Tadinya tamu, jadinya ikutan sebagai tuan rumah juga, membantu berbagai keperluan pelayanan warung. Sebagian kawan jalan-jalan di bawah gerimis menuju pinggir hutan dan lembah untuk membuat foto dan video. Sementara motor-motor kami terparkir agak berserakan di tanah lapang yang becek. Buat sebagian besar kawan, pengalaman seperti ini adalah pengalaman langka yang harus dinikmati setiap detiknya 🙂
Saat hujan kembali turun agak deras, kami semua terkumpul berdesakan di dalam warung menikmati kopi palintang dan teh panas. Obrolan riuh pelan-pelan mengarah jadi berbagi cerita pengalaman dan kesan masing-masing selama dalam perjalanan tadi. Kebanyakan sih menyampaikan rasa keheranan karena ada lokasi ajaib seperti ini tak jauh dari Kota Bandung. Topik bahasan lain yang cukup banyak didiskusikan adalah soal situs Batuloceng dan nama-nama yang terasa kuno, seperti Suntenjaya, Gegersunten, Palintang, Parabonan, Pangparang, Sanggara, dll. Tentang nama Palintang, bapak warung menerangkan maknanya adalah tempat perlintasan atau peristirahatan. Konon nama ini muncul karena Palintang merupakan jalur lintasan utama wilayah Ujungberung ke wilayah Lembang.
Cerita bapak warung tentang nama Palintang ternyata tidak jauh dengan makna kamus, arti palintang adalah tempat lingsir atau lewat atau persilangan (jalan, dll). Ada makna lain yang berasal dari bahasa Kawi, lintang = bintang, palintangan = (ilmu) perbintangan. Ketika masih berada di Palintang, saya juga sempat menengadah melihat langit yang sedang menurunkan hujan. Kalau diingat lagi, sepertinya bisa mereka-reka cerita menghubungkan Palintang sebagai nama tempat dengan bintang-bintang atau ilmu perbintangan tradisional di wilayah ini. Hmmm…
Usai berbagi cerita, hari pun sudah malam. Gerimis masih turun, tapi kami harus segera pulang. Kami segera berkemas dan berbarengan merayapi jalanan penuh tikungan yang terus menurun tajam, 11 kilometer sampai di Alun-alun Ujungberung. Sungguh perjalanan yang sangat menyenangkan dengan banyak bonus berbagai pengalaman yang di luar dugaan.
Kang minya infomya , sebenernya di makam.buniwangi itu makam siaapa ya kanh?