Oleh: Angie Rengganis
Kegiatan Aleut pada hari Minggu (12/2/2017) pukul 07.30 Bandung diselimuti cuaca dingin dan diguyur hujan gerimis. Kami berjalan menyusuri Jalan Pajajaran menuju Tempat Pemakaman Umum Sirnaraga yang letaknya dekat dengan Bandara Husein Sastranegara. Berbeda dengan kegiatan Ngaleut sebelumnya, kali ini kami mendatangi pemakaman.
Sirnaraga merupakan TPU muslim di Bandung yang sudah ada sejak tahun 1920. Seperti layaknya pemakaman muslim lainnya, tata letak makam TPU Sirnaraga pun disusun sebagaimana aturan dalam Islam yaitu semua makam menghadap Kiblat. Kini lahan di TPU Sirnaraga sudah terbilang padat. Sulit untuk menemukan tanah kosong untuk makam baru. Banyak makam sudah dirapatkan satu sama lain demi mendapatkan ruang kosong untuk makam baru. Penuh dan padatnya susunan makam di TPU Sirnaraga membuat kami sedikit kesulitan menapaki jalan ditengah pemakaman.
Di TPU Sirnaraga, kami berziarah ke beberapa tokoh ternama di Indonesia. Beberapa nama sudah terdengar familiar di telinga kami. Beberapa diantaranya adalah tokoh pergerakan nasional yang berjuang bersama Soekarno yaitu Gatot Mangkoepradja yang wafat tahun 1898. Kemudian ada Soeratin, ketua pertama PSSI yang beliau dirikan tahun 1930, yang wafat tahun 1959. Beberapa tokoh militer pun dijumpai di TPU Sirnaraga. Salah satunya Pangdam Siliwangi di jaman Soeharto, Hartono Rekso Dharsono yang wafat tahun 1996. Istri dari Perwira Tinggi era Soekarno, Ibrahim Adjie, pun dimakamkan di Sirnaraga. Ia adalah seorang wanita Yugoslavia bernama Milica Adjie yang wafat tahun 1972.
Tokoh dari dunia hiburan pun ada yang dimakamkan di TPU Sirnaraga, yaitu Poppy Mercury seorang penyanyi pop rock era 90-an yang tenar bersamaan dengan penyanyi Nike Ardila. Setiap menemukan makam salah satu tokoh yang dikenal, kami berhenti sejenak untuk memotret dan bertukar bercerita tentang tokoh tersebut.
Selain para tokoh dari abad 19 dan 20, ditemukan juga dua makam yang terbilang unik. Bentuk nisannya seperti makam-makam khas Jawa, mirip gunungan pada wayang. Bertuliskan Putri Dewi Lintang Trengganu dan Ki Ageng Setio Pendito Ratoe. Tertulis tahun 1602, yang artinya sudah ada sejak jaman Hindia Belanda, jauh sebelum TPU Sirnaraga didirikan. Warga setempat menyebutnya sebagai makam Mbah Panjang. Walaupun masih dengan informasi minim tentang keberadaan makam tersebut, disinyalir kedua tokoh berasal dari Kerajaan Mataram.
Berkeliling TPU Sirnaraga selama beberapa jam, kami menemukan banyak hal menarik. Diantaranya bentuk makam yang berbeda-beda. Seolah tiap jaman punya tren desain masing-masing. Selain bentuk persegi panjang yang sering dijumpai di pemakaman umum, ada juga beberapa bentuk makam lain yang unik, seperti menambahkan ukiran dan tekstur pada nisan. Beberapa makam juga merepresentasikan budaya tersendiri, misalnya khas Jawa, Melayu atau India. Bisa dilihat dari bentuk makam, tipografi pada nisan dan ornamen-ornamen dekoratif. Salah satunya adalah makam ini, bentuknya mengingatkan pada era desain art deco tahun 1930-an yang mana bentuknya melengkung, tidak bersudut dan dekoratif.
Hal menarik lainnya dari Ngaleut TPU Sirnaraga ini adalah sensasi menemukan nama sendiri tertulis di atas nisan. Beberapa dari kami menemukan namanya sama dengan beberapa nama di makam. Kadang terpikir di benak tentang bagaimana jika saya meninggal nanti. “Mati kau dimakan cacing”, kata Nagabonar. Kemudian sanak keluarga berkumpul mengenang bagaimana saya hidup dan diantaranya mengajak, “Berdoa yuk biar cepat pulang”, katanya.
Lucu memang pikiran-pikiran campur aduk yang terbesit saat itu, tapi itu lebih baik dari pada memikirkan hal-hal yang menyeramkamkan. Terlepas dari berziarah ke makam para tokoh ternama dan bercerita tentang sejarah hidup mereka, berkunjung ke pemakaman memang tidak lepas dari membayangkan kematian. Pasti kita yang hidup akan mengalaminya karena hidup adalah perjalanan menuju pulang.