Oleh: Agus Sidiq Permana (@as.permana)
Kali ini akan kuceritakan pengalamanku Ngaleut di daerah Binongjati. Binongjati, nama itu memang tak asing lagi di telingaku, karena itu merupakan jalan tikus yang selalu kuambil jika Jalan Ibrahim Adjie macet parah.
Sudah lama juga kudengar bahwa daerah itu merupakan kawasan sentra industri rajutan, bahkan ada salah dua teman sekolahku yang berasal dari sana tapi mereka sudah tidak tinggal di sana karena sudah berkeluarga dan memiliki rumah di daerah lain di Kabupaten Bandung.
Setelah melewati Pasar Binongjati yang ternyata cukup ramai juga di hari Minggu pagi, walaupun seorang kawan berkata pasar ini kalah saing dengan Pasar Kiaracondong yang letaknya memang tidak terlalu jauh dari pasar Binongjati, kami akhirnya menemui beberapa plang usaha rajut yang ternyata pada hari Minggu banyak yang tutup.
Setelah beberapa kawan coba bertanya ke beberapa orang di sekitar sana, akhirnya kami mendapatkan orang yang dapat bercerita banyak tentang sentra industri rajut. Beliau bernama Pak Suherlan, beliau bercerita bahwa keahlian beliau merajut itu didapatkan dari ibunya. Yang dulu, sambung beliau, ibunya mendapatkan keahlian tersebut dari sekolah jepang yang bernama Naito. Mungkin kegiatan merajut itu seperti ekstrakurikuler pada sekolah jaman sekarang.
Pak Suherlan juga berkisah bagaimana beliau memperlakukan karyawannya. Beliau tidak memakai istilah karyawan saat salah seorang kawan bertanya tentang berapa jumlah karyawannya. Anak asuh, begitulah beliau menyebutnya. Dan beliau tidak takut membagi ilmunya dari mulai merajut hingga memasarkannya, bahkan jika anak didiknya tersebut kesulitan untuk memasarkannya beliau bersedia untuk menampung dan mencarikan pembeli untuk hasil produksi anak didiknya.
Hampir satu jam lebih kami habiskan mengobrol dengan Pak Suherlan, namun rasa penasaran kami tetap tidak terpuaskan karena kami tidak bisa melihat produksi rajut langsung dengan mata kami. Setelah pamit kepada Pak Suherlan, kami pun melanjutkan Ngaleut dan tujuan berikutnya adalah koperasi walaupun kami tahu bahwa koperasi pun tutup di hari Minggu, namun hal itu tidak menyurutkan semangat kami.
Saat sampai, tenyata memang benar koperasinya tutup. Namun semangat kami untuk melihat pengrajin rajut bekerja ternyata bisa terbayar juga karena di sebelah bangunan koperasi tersebut ada bangunan yang diisi beberapa pengrajin rajut yang sedang bekerja. Setelah mengobrol memperkenalkan diri, kami pun diijinkan masuk dan bisa melihat langsung cara kerja mesin rajut.
Beberapa kawan mencoba untuk mengoperasikan mesin rajut tersebut, beberapa lagi bertanya ini itu pada beberapa pengrajin. Setelah puas dengan semua itu kami melanjutkan kembali perjalanan untuk pulang.
Sepanjang perjalanan pulang aku menyusuri gang demi gang yang ada di Binongjati dan aku mendapatkan hampir setiap rumah yang kulewati adalah pengrajin rajut, hal itu terbukti dari tumpukan hasil produksi dan sebagian terlihat mesin-mesin rajutnya.
Satu pelajaran yang ku ambil di Ngaleut kali ini adalah tentang sosok Pak Suherlan yang tidak pelit dalam membagi ilmu usaha dan tidak takut tersaingi oleh anak asuhnya. Secara tidak langsung dia sudah membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitarnya. Entah pengalaman hidup seperti apa yang telah beliau alami hingga mempunyai pemikiran seperti itu dan yang paling membuatku kaget beliau hanya lulusan sekolah menengah atas, coba bandingkan dengan para sarjana yang baru lulus serta sibuk mempersiapkan lembar demi lembar surat lamaran untuk bekerja di perusahaan ternama di Nusantara ini.
Maka, Pak Suherlan adalah tamparan keras bagi para sarjana itu yang tidak memikirkan untuk membuka lapangan pekerjaan. [Agus]