Oleh: Agus Sidiq Permana (@as.permana)
Selalu tepat waktu, itulah yang sedang saya dan teman-teman pegiat Aleut lainnya lakukan. Memang mengubah kebiasaan yang sudah mengakar dan mungkin sudah menjadi budaya ini sangat susah. Begitupun dengan Ngaleut kali, walaupun di poster sudah ditulis waktu kumpul 07.22 WIB namun tetap saja ada beberapa teman yang datang terlambat. Dan kegiatan pun molor 50 menit dari waktu yang sudah ditetapkan.
Walaupun belum lama gabung dengan Komunitas Aleut dan sering ikut kegiatan Ngaleut, namun Ngaleut kali ini sangatlah berbeda dari yang sebelum-sebelumnya yang bertema tentang kampung perkotaan dan kolonial. Kali ini kami Ngaleut ke Sirnaraga, sebuah tempat permakaman umum muslim yang berada sangat dekat dengan Bandara Husein Sastranegara.
Di TPU muslim tersebut dimakamkan beberapa tokoh terkenal, contohnya Gatot Mangkoepradja, Soeratin Sosrosoegondo, Otto Sumarwoto, Hartono Rekso Dharsono, Milica Adjie (Isteri Ibrahim Adjie), dan ada juga seorang penyanyi yang dimakamkan disana yaitu Poppy Yusfidawati atau lebih dikenal dengan nama Poppy Mercury.
Selain dari tokoh-tokoh diatas saya juga mendapati ada makam dengan nama Rd. Bratakoesoema yang tertulis kelahiran 1888 bahkan ada juga makam yang dijuluki mbah panjang yang wafatnya tertulis tahun 1602. Sangat menarik untuk ditelusuri dan di-crosscheck lagi tentang sejarah dua orang tersebut, mungkin akan saya ceritakan di lain waktu.
Melihat keadaan permakaman di TPU Muslim Sirnaraga yang begitu penuh dan terlihat jelas sekali perbedaan antara orang yang berada dan orang yang tidak punya. Hanya dengan melihat nisan makam dan pagar yang mengelilinginya saja kita sudah bisa membedakan.
Ada sebesit pemikiran yang mengganggu dalam kepala saya, sebegitu pentingkah makam itu bernisan bagus dan dipagar. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk semua itu? Padahal tidak menutup kemungkinan ada orang-orang di sekitarnya yang masih merasa kesusahan bahkan untuk sesuap nasi saja. Bagi saya sendiri hal tersebut sangat minim manfaat selain hanya untuk gengsi dan estetika belaka.
Melihat hal tersebut saya sempat mempunyai pikiran jika saya meninggal nanti, saya akan memilih untuk dikremasi saja. Agar orang-orang yang saya tinggalkan tak perlu pusing memilih nisan yang bagus untuk saya, agar tidak ada pemborosan biaya yang sia-sia untuk hal tersebut. Namun sepertinya hal tersebutpun akan menemui perdebatan yang panjang bagi mereka yang saya tinggalkan karena hal itu terkait dengan tidak diperbolehkannya kremasi dalam agama yang saya anut.
Sekitar empat jam saya berkeliling-keliling TPU Muslim Sirnaraga, melihat bermacam-macam makam yang ada. Hal itu membuat saya berpikir tentang kematian, karena kematian ini bukan lagi soal siap atau tak siap, bukan tentang sudah mempunyai bekal atau belum. Melainkan tentang bagaimana saya bisa meyakinkan diri saya bahwa semuanya akan baik-baik saja walau saya sudah tidak ada, semuanya akan berjalan seperti biasa walau saya sudah tak bersama mereka.
Karena malaikat maut itu selalu tepat waktu, tidak seperti kita yang dengan mudah bisa mencari alasan untuk datang terlambat.