Oleh: Anggi Aldila Besta (@anggicau)
Entah beberapa orang dari seluruh warga Kota Bandung yang mengenal nama Manteos, apalagi kalau ternyata Manteos ini adalah nama sebuah kampung di Kawasan Bandung Utara. Bagi saya, sebenarnya nama ini pun masih asing setidaknya dua tahun ke belakang. Padahal jarak dari rumah ke kampung ini tidak sampai 11 km apabila ditarik garis lurus. Kampung ini memiliki lorong-lorong gang sempit dilengkapi dengan undakan-undakan tangga kecil yang terhubung satu sama lain, menjadikan Manteos seperti labirin yang berada di sebuah lembah. Tapi siapa sangka kalau kampung ini menyimpan banyak cerita menarik, cerita yang selalu disampaikan orang tua ke generasi berikutnya. Terutama cerita soal Ci Kapundung.
Nama Manteos sendiri berasal dari nama Matius, seorang tuan tanah warga Belanda yang mempunyai tanah di kawasan Kampung Manteos saat ini. Akan tetapi ada juga warga yang bilang kalau Manteos itu berasal dari kata Main House, karena dulunya di sekitar kampung ini ada penginapan milik orang Amerika yang sekarang menjadi gedung di komplek Dinas Psikologi Angkatan Darat. Namun sepertinya pendapat ini diragukan karena gedung tersebut dulunya dikenal sebagai Villa Mei Ling. Villa ini dulu dimiliki oleh orang Tiong Hoa yang juga seorang pedagang beras bernama Ang Eng Kan.
Secara wilayah, Kampung Manteos berada di Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong. Sangat dekat sekali posisinya dari Kantor Kecamatan maupun Polsek Coblong. Di kampung ini, masyarakat asli dan pendatang sudah berbaur. Apabila disimpulkan secara kasar, bagian bawah kampung banyak dihuni oleh pendatang, sedangkan bagian atasnya masih banyak penduduk asli yang telah bermukim sejak lama, seperti yang Pak Edi (tokoh pemuda setempat) bilang, “Saya itu diproses di sini, sampai sekarang punya anak masih tetap di Manteos”.
Layaknya permukiman yang dekat dengan sungai, terkadang semua kebutuhan yang berhubungan dengan air masih memanfaatkan sungai. Warga di sini pun seperti itu: mandi, cuci, dan kakus semua dilakukan di bantaran Ci Kapundung. Tapi itu dulu, saat air Ci Kapundung masih bersih dan tidak menyebabkan gatal-gatal. Sekarang untuk MCK, warga mendirikan WC umum yang berada di sekitar sungai maupun yang berada di tengah kampung. WC umum yang di dekat sungai menggunakan sumber air dari mata air di seberang kampung yang dialirkan melalui selang selang kecil yang melintas di atas Ci Kapundung, namun sebaliknya untuk WC yang berada di tengah permukiman sumber airnya memanfaatkan mata air yang ada di Manteos, ci nyusu kalau kata orang Sunda .
Keinginan yang kuat dari para tokoh warga kampung Manteos yang ingin kampungnya tidak mau dicap sebagai kampung kumuh, akhirnya membuahkan hasil. Pertemuan dengan para alumni Arsitektur UNPAR yang peduli terhadap kondisi kampung di perkotaan, membuat geliat kampung ini hidup kembali. Berbagai metode untuk membuat kampung menjadi sebuah kampung kreatif diajarkan kepada para warga. Dengan menggandeng perusahaan cat, warga diajak membuat mural di sekitar kampung yang membuat pemandangan kampung lebih berwarna. Para ibu diajarkan cara membuat kue-kue dengan belajar langsung ke pabrik kue di kawasan Bojongkoneng. Sedangkan seni teater menjadi favorit bagi para pemuda dan anak-anak.
Kota Bandung sering dijadikan barometer sebagai kota yang penuh kreatifitas, menuntut warganya untuk selalu melahirkan ide-ide kreatif, tidak terkecuali dengan pembangunan kawasan perkampungan kota yang masih banyak tersebar di pusat Kota Bandung. Ada beberapa program yang ditujukan untuk perkembangan kampung di perkotaan, contohnya pembelian lahan-lahan kosong yang bisa dijadikan ruang aktifitas warga. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan warga bergerak sendiri mencari dana untuk membeli lahan kosong yang akan dijadikan ruang publik, seperti para tokoh Manteos yang berkeinginan membeli sebidang tanah kosong di kawasan ”Tembok Berlin” untuk dijadikan ruang interaksi warga yang lebih luas. [Anggi]