Oleh: Adi Ginanjar Maulana

Komunitas Aleut.(Ist)
BANDUNG, AYOBANDUNG.COM — Seorang penulis peraih Nobel Sastra Anatole France pernah mengatakan buku sejarah yang tidak mengandung kebohongan pasti sangat membosankan.
Anatole tidak mencoba sinis dalam kata namun realita yang berkembang mengatakan jika Tuhan sekali pun tidak mampu mengubah sejarah karena hanya ahli sejarah yang dapat melakukannya.
Anatole tidak salah pula tidak benar karena sejarah adalah pedoman cara manusia belajar memperbaiki diri dari masa lalu. Melupakan sejarah adalah sebuah kesalahan yang tidak boleh dilakukan suatu bangsa.
Lantas Komunitas Aleut hadir di tengah persimpangan makna yang membuat sejarah semakin terlupakan tergerus jaman. Para penggiat Aleut percaya jika kesadaran masyarakat untuk mencintai daerahnya dapat tercipta melalui pendekatan sejarah.
Berangkat dari sebuah solusi gaya ospek baru di Fakultas Sejarah Universitas Padjajaran dengan melakukan wisata sejarah ke berbagai tempat di Bandung. Kegiatan tersebut beranjak rutin sehingga Komunitas Aleut lahir pada tahun 2006.
Kata ‘aleut’ sendiri merupakan serapan dalam Bahasa Sunda yang berarti berjalan beriringan. Senada dengan kegiatan Komunitas Aleut yang gemar berdiskusi dan menyambangi tempat wisata sejarah melalui berjalan kaki di setiap hari Minggu.
Dua buku karangan Haryoto Kunto berjudul Semerbak Bunga di Bandung Raya dan Bandung Tempo Doeloe yang banyak bercerita perihal tempat dan keadaan Bandung masa lalu seakan menjadi peta bagi Komunitas Aleut. Kedua buku tersebut menginspirasi perjalanan para penggiat aleut menuju berbagai rute dan tempat.
“Latar tempat dalam buku tersebut menjadi tujuan perjalanan kami untuk sekedar membandingkan keadaannya dengan jaman saat ini,” ujar Putri Syahada selaku Koordinator Komunitas Aleut kepada AyoBandung, Kamis malam (2/2/2017).
Namun, pembahasan tidak melulu berkisar pada sejarah populer karena Komunitas Aleut cenderung berbicara banyak mengenai fakta menarik yang jarang tercantum dalam buku sejarah.
Seperti kisah tentang keberadaan Kampung Cikapundung Kolot yang terletak di sekitar Jalan Jenderal Gatot Subroto dimana merupakan salah satu peradaban tertua di Kota Bandung. Atau cerita mengenai Ursone bersaudara, warga Italia pertama yang menetap di Bandung di mana menjadi cikal bakal perniagaan susu di Lembang.
“Tidak hanya wisata kota karena kita juga menjelajahi pedalaman. Terkadang sejarah kecil lebih menarik,” ujar mahasiswi Jurusan Kimia UIN Sunan Gunung Djati tersebut.
Memasuki 2015, Komunitas Aleut tidak melulu membahas perihal sejarah karena kegiatan mingguan berupa Bioskop Preanger, Kamisan Aleut, dan Kelas Literasi menjadikannya ruang belajar publik.
“Saat ini kita apresiasi sastra, film, arkeologi bahkan geologi sehingga fokus tidak hanya soal sejarah namun lebih pada wadah belajar siapapun tanpa batasan apapun,” kata Putri.
Adapun soal karya, Komunitas Aleut telah menerbitkan dua buku berjudul Rasia Bandung dan Pernik KAA 2015. Rasia Bandung merupakan salinan ulang ejaan lama dari novel kuno berjudul sama yang populer di awal tahun 1900 di mana bercerita tentang kisah percintaan terlarang antara dua insan dalam satu marga di budaya Tionghoa.
“Kita juga akan menerbitkan karya ketiga berupa buku yang berisi kumpulan kisah masa kecil,” kata Putri.
Melalui akun Twitter dan Instagram @komunitasaleut dan website di laman komunitasaleut.com, Komunitas Aleut sering kali memberikan perhatian pada pelestarian cagar budaya di Kota Bandung. Seperti saat ratanya cagar budaya berupa rumah yang menjadi salah satu hunian bergaya Tionghoa pertama di Kota Bandung.
“Harap kami, suatu hari nanti akan banyak orang yang peduli dengan sejarah kotanya agar dapat lebih menghargai,” tutup Putri. (Arfian Jamul)
Tautan asli: http://ayobandung.com/read/20170203/60/15957