Oleh: Gina Azriana (@GiNa_AzriaNa_Na)
Mencuci merupakan suatu kegiatan yang sederhana Mencuci dapat dilakukan di rumah atau di tempat terbuka seperti di kali atau di sungai. Siapa menyangka, dari kegiatan mencuci tersebut justru dimanfaatkan sebagian orang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Adalah Dhobi Ghat, salah satu tempat mencuci terbuka di Mumbai, India.

Pusat pencucian terbuka. Kalian jangan membayangkan cucian sedikit dengan satu atau dua orang saja yang melakukannya. Tidak.
Bayangkan saja, ada beberapa daerah yang sengaja dibuat untuk memudahkan setiap orang dalam mencuci. Setiap orang berada dalam sekat – sekat yang dipisahkan dengan sebuah tembok batu berbentuk persegi empat . Di dalamnya disediakan bak pencuci yang terbuat dari batu serta beberapa batang sabun untuk mencuci. Tidak ada mesin cuci disini. Semua dilakukan dengan tangan. “Mesin cuci manusia” mungkin kita bisa membayangkannya seperti itu. Kegiatan mencuci di sini, tidak sama dengan kegiatan mencuci modern yang saat ini dapat kita lihat di mana – mana. Cara mereka mencuci pun berbeda.
Di pagi hari, mereka sudah bersiap di tempat mereka masing – masing, cucian yang datang pun bukan merupakan cucian mereka sendiri, melainkan cucian yang memang merupakan pesanan dari seluruh pelosok india. Tak jarang, cucian berasal dari rumah – rumah atau penginapan serta hotel. Setiap orang yang mencuci melakukan pekerjannya sebagai buruh cuci, satu orang dapat mengerjakan berpuluh – puluh cucian.

Cara mereka mencuci, dengan cara tradisional yang mungkin dulu sering kita lihat . Pertama- tama mereka membuka dulu gempolan besar yang berisi pesanan cucian. lalu mereka jejerkan beberapa buah di atas bak pencuci. Setelah itu, barulah mereka mulai mencuci.
Mereka merendam cucian, lalu membanting – bantingkan cucian pada sebuah bak berbentuk kotak yang terbuat dari batu. Setelah itu, mereka memberikan sabun pada cucian tersebut dengan sabun batangan yang terdapat di pinggir bak cuci. Setelah beberapa kali mereka mencuci, membanting cucian, lalu cucian tersebut diperas. Kegiatan yang sama dilakukan dua sampai tiga kali sampai mereka merasa cucian sudah cukup bersih lalu mereka memeras kembali cucian di tahap akhir, kemudian menjemurnya. Tempat mencuci berada dekat dengan tempat menjemur berupa tiang – tiang dengan tali jemuran yang memanjang di atasnya.
Setiap orang melakukan kegiatan yang sama. Setiap orang terlihat cekatan dan cepat dalam mencuci, karena pesanan cucian ini nanti harus dikirimkan kembali pada pemesan di sore hari. Karena banyaknya cucian serta dibutuhkan waktu yang cepat dalam mencuci, kegiatan mencuci terbuka di Dhobi Ghat ini rata-rata dilakukan oleh para pria. Para perempuan yang ada hanya bertugas sebagai pengantar cucian tersebut.
Dikarenakan tempat yang tak biasa serta dilakukan bersamaan dengan banyak orang, tempat mencuci bernama Dhobi Ghat ini pun dapat dilihat oleh siapapun. Pengunjung yang ingin melihat proses pencucian besar – besaran ini biasanya dikenakan biaya. Sebenarnya, dari mencuci saja, padahal. Tapi, mungkin hal ini terlihat sangat menarik bagi turis atau wisatawan asing. Banyak wisatawan asing yang datang ke tempat ini untuk sekedar melihat – lihat atau mempraktekkannya secara langsung. Mereka terlihat senang bahkan ada yang merasakan mencuci seperti itu merupakan pengalaman yang menarik bagi mereka. Dan sampai saat ini, Dhobi Ghat menjadi salah satu tempat kunjungan yang banyak menarik wisatawan asing.
Di tempat yang terlihat kumuh seperti di India, ternyata ada yang mampu mereka buat menjadi sesuatu yang menarik, padahal dari sesuatu yang sederhana seperti hanya mencuci. Dahulu di Mumbai, India , pekerjaan mencuci memang dilakukan di sungai – sungai, dan cara mencuci juga masih menggunakan tangan. Zaman sudah berubah, sungai – sungai di Mumbai tersebut telah berubah menjadi Mahalaxmi Dhobi Ghat yang ada seperti sekarang. Meskipun begitu, Dhobi Ghat tetaplah dikenal sebagai tempat mencuci terbuka terbesar di India. Sejak dulu hingga sekarang.
***
Setelah kita melihat tentang Dhobi Ghat yang berada di Mumbai, India. Sepertinya tak sah, jika kita tak melihat tempat menarik juga yang serupa tapi tak sama. Tak begitu jauh, dekat saja. Sebuah Kampung yang dulu juga dilakukan kegiatan mencuci di tempat terbuka, yang dikenal dengan kegiatan ‘dobi’ nya, yaitu Kampung Dobi di daerah Kebon Kawung, Bandung, Indonesia.
Tepatnya pada hari minggu di tanggal 2 Oktober. Saya dan teman – teman dari Komunitas Aleut seperti biasa melakukan kegiatan Ngaleut. Kegiatan Ngaleut ini biasanya dilakukan di Minggu pagi. Para peserta Ngaleut mula – mula berkumpul di titik temu yang sudah ditentukan. Setelah berkumpul, lalu masing – masing peserta mulai memperkenalkan diri. Setelah memperkenalkan diri barulah kami memulai Ngaleut kami dengan berjalan bersama – sama dengan mengunjungi beberapa tempat. Ngaleut kali ini, mungkin berbeda dengan Ngaleut – ngaleut sebelumnya yang saya lakukan. Ngaleut Kampung Dobi ini sangat menarik bagi saya karena sebelumnya saya sudah penasaran dengan Kata “Dobi” pada kata – kata “Kampung Dobi” . Dikarenakan rasa penasaran dan ketertarikan itulah saya mengikuti Ngaleut Kampung Dobi.
Kampung ini terlihat sama dengan kampung – kampung yang pernah kami kunjungi sebelumnya, yang berbeda hanyalah penyebutan Kampung Dobi bagi kampung ini.
Dari salah satu buku berjudul “Semerbak Bunga di Bandung Raya” karya Haryoto Kunto, dijelaskan bahwa dulunya Kampung ini sempat dijuluki Kampung Dobi. Kampung ini dijuluki Kampung Dobi karena dulunya banyak warga yang mencuci atau bekerja sebagai ‘dobi’ di kampung ini. Mereka mencuci sambil bernyanyi ditemani nyala obor di tepi sungai. Penggambaran cerita dalam buku yang terdengar syahdu. Dari situlah, kami mulai mencari jejak – jejak peninggalan cerita mengenai ‘dobi’ tersebut di Kampung ini. Kami mulai berjalan menyusuri gang, melewati tumpukan – tumpukan daun-daun yang berserakan di tanah. Tak jarang, kami berinteraksi dengan warga lokal, sekedar bertanya atau berbincang – bincang bagaimana keadaanya sekarang dan dimana dulu tempat mereka, para ‘dobi’ yang digambarkan dalam buku tersebut mencuci.
Kemudian, kami bertemu dengan seorang bapak bernama Pak Dodo, ia lalu menceritakan tentang keberadaan Kampung Dobi dan menunjukkan pada kami dimana dulu para ‘dobi’ tersebut mencuci. Ia menceritakan bahwa dulu tempat tersebut memang digunakan bagi warga lokal untuk tempat mencuci. Mereka mencuci dengan menggunakan air dari Mata Air Ciguriang.

Kampung Dobi dulu merupakan sebuah Kampung yang sangat terkenal dengan para ‘dobi’ nya. Mereka, para ‘dobi’ mencuci menggunakan mata air Ciguriang. Dengan membayar uang satu sen lah, baru mereka dapat menggunakan air dari Mata air Ciguriang untuk mereka mencuci.
Uniknya, mereka melakukan kegiatan tersebut sambil menyanyikan lagu-lagu sunda. Bernyanyi sembari mencuci, ditemani nyala obor? Suasana yang syahdu sepertinya.
Lalu, bagaimana cara mereka mencuci baju? Apa sama seperti sekarang?
Tidak, cara mereka mencuci baju tentunya berbeda dengan cara mencuci baju seperti yang ada sekarang. Dahulu mereka mencuci dengan cara membanting-bantingkan baju ke atas batu yang biasanya berada di depan mereka.
Pemandangan yang cukup berbeda mungkin jika kita lihat di pagi hari dan malam hari. Membayangkan kegiatan mencuci di malam hari ditemani nyala obor sembari bernyanyi. Setiap ‘dobi’ yang melakukan kegiatan tersebut mencuci dari mulai malam hari hingga keesokan paginya.
Ternyata, para tukang ‘dobi’ yang melakukan kegiatan ini sudah berlangsung lama, bahkan ada juga warga asli dari Kebon Kawung ini yang secara turun temurun menjadi tukang ‘dobi’ di sini. Karena tukang ‘dobi’ yang mencuci di mata air Ciguriang ini bukan hanya berasal dari warga lokal, tapi juga berasal dari orang – orang dari berbagai pelosok yang sengaja datang ke tempat ini untuk mencuci di mata air Ciguriang.
Ketika saat itu saya melihat bagaimana kondisi tempat para ‘dobi’ tersebut. Miris. Batu tempat mencucinya memang masih ada, namun keadaan dari batu tempat mencuci tersebut sekarang terlihat kotor dan tak terurus. Banyak terlihat sampah berserakan serta sampah yang menggenang di atas air.
Dan ternyata Pak Dodo yang saat itu sedang bercerita kepada kami menjelaskan bahwa bukan nyanyian yang mereka dendangkan ketika para tukang ‘dobi’ dahulu sedang mencuci, tapi lebih seperti bunyi-bunyian ‘tuk tuk ‘ tak’ tuk ‘ seperti pakaian yang dibanting ke batu yang ada.
Bunyian- bunyian yang keluar tersebut, layaknya bunyian yang sama yang dikeluarkan saat orang menumbuk padi dengan lesung di pagi hari, ‘tuk ‘tuk ‘tak ‘tuk ‘tak. Bunyi yang dikeluarkan, bukan nyanyian seperti yang digambarkan dalam buku sebelumnya.
Sayangnya, kini para ‘dobi’ tersebut sudah tidak ada lagi. Para warga memang masih mencuci di tempat ini saat air mengalir dengan deras tapi bukan lagi sebagai ‘dobi’.Para warga lokal hanya mencuci seperti biasa saja, dengan tetap menggunakan batu yang ada di tempat tersebut.’
Dobi’ di tempat tersebut sudah tidak ada lagi. Mata air Ciguriang pun sudah tidak sederas dulu alirannya karena di dekatnya sudah banyak dibangun sumur.

Mata Air Ciguriang yang kami lihat sekarang pun, sudah tidak sama seperti dulu. Apa yang kami lihat di depan mata sungguh sangat disayangkan. Mata air ini seperti tidak terurus, kotor, banyak sampah berserakan di mana – mana, bahkan banyak sampah yang menggenang di atas Mata Air Ciguriang. Pemandangan yang tidak sedap untuk dipandang. Seandainya saja, warga lokal mampu menjaga dan merawat tempat ini, mungkin sekarang kita masih bisa melihat jernihnya Mata air Ciguriang tersebut.
Kampung Dobi kini hanya tinggal kenangan. Hanya tersisa sebuah batu yang masih terlihat kokoh di tempat dulu para ‘dobi’ tersebut mencuci.
Apa yang dapat kita lihat dari kedua tempat mencuci ini?
Mereka hanya melakukan kegiatan sederhana, berupa mencuci saja. Namun kedua tempat ini, walaupun serupa, mereka berbeda. Di Mumbai, India yang jelas – jelas kita tau merupakan wilayah kumuh padat penduduk, masih ada kegiatan mencuci yang terus berlangsung hingga sekarang. Bahkan, dari tempat pencucian tersebut, dapat menjadi mata pencaharian bagi warga setempat sebagai buruh cuci dan menarik minat wisatawan asing untuk berkunjung ke sana.
Mengapa Kampung Dobi di daerah Kebon Kawung ini tidak bisa melakukan hal serupa. Terlihat jelas berbeda, dari Daerah Mumbai dan Bandung. Bandung memiliki daerah yang terkenal cukup subur, banyak hal-hal yang sangat menarik yang dapat kita jumpai di Bandung. Dan salah satu hal tersembunyi, yang baru kita ketahui ialah tentang Kampung Dobi ini. Di daerah yang cukup indah seperti Bandung, seharusnya Kampung Dobi ini dapat menjadi daya tarik tersendiri. Mungkin, bila Kampung Dobi ini tetap dijaga serta dirawat, bukan tidak mungkin jika Kampung Dobi ini bisa menjadi salah satu tempat wisata yang menarik, yang mungkin bukan hanya menjadi potensi wisata di Bandung, tapi dapat menjadikan penghasilan tersendiri bagi warga setempat di daerah Kebon Kawung, Bandung.
“Dua tempat berbeda. Serupa tapi tak sama. Melakukan Kegiatan sederhana. Kegiatan yang sudah berlangsung lama. Namun bagaimanapun juga , tetaplah harus dirawat serta dijaga kelestriannya.”
Tautan asli: https://6inaazriana.wordpress.com/2016/10/05/serupa-tapi-tak-sama-dhobi-ghat-di-mumbai-dan-kampung-dobi-di-bandung/
Ping balik: Yang Belum Kering di Kampung Dobi | Dunia Aleut!