Kenapa Kami Membicarakan Pustaka Jaya?

Oleh: Pustaka Preanger (@PustakaPreanger)

Logo Pustaka Jaya

Ali Sadikin bertanya kepada Ajip Rosidi, “Mengapa anak-anak sekarang tidak membaca buku? Mereka lebih suka membaca komik.” Ajip kemudian menjelaskan kondisi perbukuan yang tengah redup. Menurutnya, banyak penerbit yang terutama mendahulukan mencari keuntungan dengan hanya menerbitkan buku-buku yang dicari oleh masyarakat. Barangkali maksudnya hanya melahirkan buku-buku praktis dan tidak menerbitkan buku bacaan (sastra) yang baik, seperti yang dulu dilakukan oleh Balai Pustaka. Ya, penerbit yang tulang rusuknya dirangkai oleh nafas kolonialisme itu, setidaknya pernah dianggap bermutu.

Percakapan tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan sebuah penerbitan yang kiranya bisa mengisi kekosongan bahan bacaan yang dimaksud. Ajip membawa gagasan dan kesepakatan itu ke kawan-kawannya di Dewan Kesenian Jakarta, yang di antaranya adalah Asrul Sani dan Ramadhan KH. Ajip menganggap bahwa Aoh Karta Hadimadja—kakaknya Ramadhan KH, adalah orang yang tepat untuk memimpin penerbit yang hendak didirikan itu. Aoh bersedia, tapi ia mengajukan syarat, “Akang tidak mau pusing mengurus kertas dan semacamnya. Akang hanya mau mengurus pekerjaan redaksional saja, memilih karangan yang baik untuk diterbitkan menjadi buku.” Syarat itu diluluskan, dan Ajip kemudian yang menjadi nakhoda penerbit.

Buku-buku Pustaka Jaya mendapat sambutan baik dari masyarakat. Naskah-naskah penulis luar yang dikurasi dan diterjemahkan oleh para sastrawan dan penerjemah mumpuni memberikan bacaan alternatif di tengah kelesuan kondisi perbukuan. Untuk menyebut beberapa penerjemah, di antaranya: Sapardi Djoko Damono, Koesalah Soebagyo Toer, Djokolelono, Rusman Sutiasumarga, dll.

Dalam peta buku sastra yang dibaca oleh masyarakat Indonesia, Pustaka Jaya barangkali bisa dibilang sebagai tonggak baru pasca Balai Pustaka, Gunung Agung, Djambatan, dan penerbit-penerbit tua lainnya yang mulai kehabisan nafas. Penulis luar beserta karya-karyanya diperkenalkan dengan begitu masif, di antaranya: Nikolai Gogol, Jean-Paul Sartre, Arthur Koestler, Jaroslav Hasek, John Steinbeck, Emile Zola, Stefan Zweig, Ernest Hemingway, Kahlil Gibran, Yasunari Kawabata, Oscar Wilde, Paul Fournel, William Shakespeare, Voltaire, Antoine de Saint-Exupery, dll. Meski demikian, para pengarang Indonesia tetap punya tempat, sebab Pustaka Jaya banyak juga menerbitkan buku-bukunya, di antaranya: Wing Kardjo, Rendra, Ajip Rosidi, Iwan Simatupang, H.B. Jassin, Taufik Ismail, Nh. Dini, dll.

Ketika Ajip Rosidi di tahun 1980-an harus pergi ke Jepang, dan pucuk pimpinan Pustaka Jaya diserahkan kepada oranglain, perlahan pamor penerbit tersebut mulai redup. Keterpurukan itu sempat membuat Pustaka Jaya akan ditutup, namun Ajip Rosidi sigap dengan membeli sahamnya. Ajip hendak mengembalikan kejayaan Pustaka Jaya, dan hal tersebut tak jarang dengan mengorbankan aset-aset pribadinya. Hari ini Pustaka Jaya masih hadir mewarnai kancah perbukuan nasional, meski kondisinya tidak terlalu menggembirakan. Buku-buku yang diterbitkan kian beragam, tak melulu sastra, tapi ada juga tentang sejarah, bahasa, kebudayaan, dll. Belakangan, naskah-naskah sastra yang dulu pernah diterbitkan dan diminati para pembaca, diterbitkan ulang atas kerjasama Pustaka Jaya dan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Dalam ruang pembacaan, buku-buku Pustaka Jaya memang banyak memberikan kesan yang mendalam bagi para peminat sastra. Sebagai contoh, di Ciputat, ada sekelompok anak muda yang membuat blog dengan nama Anggur Torelli—sebuah blog yang dibuat oleh para pendirinya setelah mereka membaca “Dataran Tortilla” karya John Steinbeck. Di laman “ikhwal” tertulis,“Blog ini diberi nama Anggur Torelli lantaran Dataran Tortilla merupakan karya yang demikian mengesan bagi kami, para pendiri.”

Bagi kami–Komunitas Aleut dan Pustaka Preanger, Pustaka Jaya juga punya tempat tersendiri di ruang pembacaan bersama maupun personal. Dalam kegiatan Kelas Literasi yang telah berjalan lebih dari satu tahun sejak digagas di titimangsa 13 Juni 2015, buku-buku Pustaka Jaya sudah sering dibahas dan didiskusikan. Sabtu yang akan datang (6 Agustus 2016) di Kelas Literasi pekan ke-54, kami hendak mengusung tema “Literasi Pustaka Jaya”. Hal ini kami usung, selain karena mulai mencoba menghadirkan tema-tema khusus (kesempatan lain mungkin temanya tentang Pramoedya Ananta Toer, Penerbit Kiblat Buku Utama, Seno Gumira Ajidarma, Buku Catatan Perjalanan, dll) juga untuk mengenalkan kembali penerbit ini kepada angkatan terkini, lengkap dengan beberapa mozaik karya, kisah, dan riwayatnya. [irf]

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s