Oleh: M. Firza Richsan (@Firzarichsan)
Lahir dan tumbuh dari keluarga yang sangat menyayangi dan menggemari hewan – terutama unggas dan burung—membuat saya, mau tidak mau untuk mengikuti kebiasaan yang dilakukan oleh bapak dan paman-paman saya.
Sedari kecil, saya sudah banyak diperkenalkan oleh mereka dengan ratusan jenis burung, entah itu burung-burung yang berada di rumah, yang berterbangan liar, yang berada di kebun binatang, bahkan burung-burung yang dijual di pasar-pasar burung pun saya relatif hafal nama-nama, suara dan jenisnya.
Masih terekam jelas diingatan saya mengenai kondisi rumah kami yang ketika itu belum dibangun dan terkesan sempit, namun dipenuhi oleh kurung-kurung burung yang bergelantungan-berjejeran di atap rumah kami. Saya pun masih ingat nama burung yang menjadi jagoan di rumah kami, burung kesayangan bapak saya yang diberi nama Si Bejo, jenis burung perkutut (orang sunda menyebutnya: titiran) yang begitu nurut dan jinak, dan memiliki suara yang keras dan enak didengar.
Saat ini, di rumah saya pun terdapat kurang lebih 50 ekor burung Kenari yang dipelihara dan diternakan oleh bapak saya. Bukan untuk dijual, tapi ya itu tadi, mungkin karena kecintaan dan sudah menjadi hobi.
Dulu, tiap kali berkunjung ke kebun binatang pun –biasanya dengan paman—saya pasti selalu betah berlama-lama berada di sekitaran kandang-kandang yang menyimpan ribuan jenis burung. Melihat corak-corak warna yang indah dari jenis burung yang terancam punah seperti Cendrawasih dan Jalak Bali sungguh sangat menyegarkan pandangan. Begitu pula ketika diajak berkunjung ke pasar-pasar burung seperti pasar burung Sukahaji yang berada di Jalan Peta, saya selalu betah berlama-lama mengamati dan mendengarkan kicauan-kicauan dari burung-burung itu, walaupun kondisi pasar yang cukup kotor dan sangat bau kotoran-kotoran burung.
Lantas jika ada yang bertanya mengenai burung yang menjadi favorit bagi saya, saya sudah saklek akan menjawabnya Merpati. Alasan saya memilih Merpati bukan berarti saya orang yang romantis dan setia seperti para Merpati-merpati yang tak pernah ingkar janji. Eh, tapi-tapi.. bohong besar dengan ungkapan Merpati adalah burung yang tak pernah ingkar janji; Merpati adalah lambang dari kesetiaan; Merpati yang hanya memiliki satu pasangan selama hidupnya.
Merpati nyatanya sama seperti manusia: yang jantan sering menggoda betina lain, begitu pun dengan si betina tadi yang sering tergoda oleh jantan yang bukan dari pasangannya. “Saya bukan peneliti, tapi saya bisa mengamati”.Begitu kata Ujang Safaat dalam bukunya yang berjudul: Burung-Burung Blekok. Saya pun demikian, saya bisa mengetahui pola dan perilaku Merpati karena berasal dari pengamatan sendiri. Sebagai anak yang tumbuh di gang-gang kecil, saya dan teman-teman semasa kecil lebih sering menghabiskan waktu bersama di lapangan kampung. Jika bosan mengbal atawa uucingan, sudah pasti kami akan bermain/menerbangkan Merpati. Orang di Jawa Barat rata-rata menyubutnya dengan istilah: Ngetren Japati (=Merpati).
Itulah alasan mengapa saya memilih Merpati sebagai burung favorit, alasannya, selain mudah untuk dipelihara, Merpati pun bisa dijadikan sebagai ‘mainan’ bagi anak-anak kampung seperti kami.
Berbicara mengenai anak-anak kampung pun membuat saya selalu teringat masa-masa kecil dulu. Kali ini peristiwanya terjadi di tempat berbeda, jika tadi saya menyebut ‘anak kampung’ sebagai istilah bagi anak-anak yang tinggal di gang-gang kecil seperti daerah rumah yang saya tempati hingga sekarang ini (saya pernah menulisnya di sini), namun yang kali ini merupakan anak kampung yang asli –yang memang tinggal di kampung.
Libur lebaran atau libur sekolah adalah hal yang paling saya tunggu-tunggu semasa masih duduk di bangku SD. Alasannya sangat jelas: Mudik. Mengahabiskan waktu liburan sekolah di kampung saya di Banyuresmi, Kabupaten Garut, adalah hal yang menyenangkan sekaligus memberikan banyak pelajaran bagi masa kecil saya. Oleh teman-teman di sana, saya selalu disuguhi oleh hal-hal yang mustahil akan ditemui di kota. Saya diajari menjaring ikan di situ (danau), memanjat pohon, mencari jangkrik, membuat jebakan untuk menangkap burung-burung pipit di sawah, hingga berburu. Berburu di sini bukan berarti berburu menggunakan pistol atau senapan angin. Orang Sunda menyebutnya Moro. Kami biasa Moro dengan menggunakan anjing-anjing kami yang dilepaskan ke sawah-sawah yang sudah di panen, selain berhasil menangkap beberapa tikus yang menjadi hama, tidak jarang pula anjing-anjing itu berhasil membawa musang dan bahkan burung kuntul.
**
Burung Kuntul adalah jenis burung hampir terdapat di seluruh penjuru dunia. Maka tidak heran jika saya awalnya tidak begitu tertarik terhadap burung yang satu ini. Sering saya menjumpai burung-burung ini berterbangan di area sawah yang membentang luas di pinggir-pinggir jalan tol. Tidak hanya itu, di kota pun, ketika saya sedang berkunjung ke daerah Ganeca, ITB, dan Sabuga, sering saya dapati burung-burung ini berkeliaran bebas. Mungkin awalnya mereka pun sama seperti burung lainnya yang dikerangkeng di kebun binatang, namun karena beranak pinak dalam jumlah yang besar, pihak kebun binatang membuka atap kandang burung ini sehingga mereka bisa bebas pergi dan pulang semaunya.
Adalah Komunitas Aleut! yang membuat saya menjadi begitu tertarik dengan burung yang satu ini setelah mereka menjadwalkan akan ngaleut ke Kampung Blekok, Minggu, 31 Juli 2016 kemarin. Lantas, apa yang membuat saya begitu tertarik ikut ngaleut kali ini? Jawabannya karena kampung yang masih menjadi bagian Kota Bandung ini menjadi tempat imigrasi burung-burung di Asia, dan bulan ini proses imigrasi tadi sedang berlangsung.
Burung yang dimaksud tadi adalah burung Blekok. Yang terlintas dipikiran saya, Blekok merupakan nama lain dari Kuntul, dan besok saya hanya akan menyaksikan ratusan burung Blekok berwarna putih bertengger di atas pohon, namun ternyata dugaan saya salah. Kuntul ya Kuntul, Blekok ya Blekok.
Berangkat dari Kedai Preanger di Jalan Solontongan, saya beserta penggiat Aleut lainnya, yang ditotal menjadi 25 orang dengan kurang lebih 12 motor, langsung melesat menuju di Kampung Blekok yang terdapat di daerah Ranca Bayawak, Kec. Gede Bage. Lokasinya ratusan meter di sebelah barat Stadion Gelora Bandung Lautan Api.
Sesampainya di Kampung Blekok, kami langsung disambut oleh Pak Ujang Safaat, yang merupakan ketua RW setempat. Pak Ujang pun langsung bercerita banyak mengenai kampung dan kehadiran-kehadiran burung pemakan ikan ini.
Kampung yang menjadi ujung kota Bandung ini awalnya tidak terkenal sama sekali, namun seiring banyaknya para penggiat, pecinta hewan, pecinta alam, dll. yang berdatangan ke kampung Ranca Bayawak, pelan-pelan membuat kampung ini menjadi semakin banyak dikenal dan dikunjungi. Pemerintah pun sempat menjanjikan kepada warga setempat bahwa kampung ini akan dijadikan wilayah konservatif dan kampung wisata.
Harapan warga setempat sebetulnya tidak muluk-muluk, warga berkeinginan jika para pengunjung tidak hanya menikmati suasana alam kampung Blekok saja, kepada khalayak luas.mereka pun berkeinginan mengenalkan makanan khas kampung Blekok yang disajikan di tempat-tempat lesehan yang menghadap ke rumpun bambu tempat burung-burung tadi bertenggeran.
Namun janji hanyalah sebuah janji. Peran pemerintah terhadap kampung Blekok nyatanya tidak ada sama sekali hingga detik ini. Bukan hanya itu, warga kampung Blekok pun harus mati-matian mempertahankan lahannya dari incaran para pengembang. Tawaran dari para pengembang pun sangat luar biasa hingga detik ini, namun warga setempat sudah bulat satu suara bahwa mereka tidak akan melepas rumah-rumahnya ini dengan harga berapa pun. Selain sudah kadung cinta dan betah dengan kampungnya ini, warga pun sangat peduli terhadap kelestarian burung-burung yang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri, mereka enggan burung-burung itu nantinya harus lenyap di tangan para kapitalis.
Sejauh ini, hanya Pertamina saja lah satu-satunya perusahaan besar yang sangat peduli terhadap kampung Blekok dan keberlangsungan hidup burung-burung ini.
Ditanya mengenai para peneliti dari luar yang telah berkunjung ke kampung ini, Pak Ujang memberikan jawaban yang cukup mengagetkan kami, terhitung sudah ada para peniliti dari 86 negara di dunia yang telah berdatangan ke kampung ini. Selain meneliti pola dan tingkah laku burung-burung ini, para peneliti tadi pun meneliti jenis-jenis pohon yang dihinggapi, hingga meneliti kotoran dari para burung-burung ini.
Namun sayangnya kami pun mendengar kabar kurang sedap, para peneliti dari 86 negara tadi dikabarkan sangat kecewa karena pohon-pohon yang mereka tanam di sekitaran kampung Blekok lenyap digerus oleh pemerintah setempat.
Jika musim kemarau tiba, di kampung yang hanya terdapat 46 rumah, 68 KK (83 KK jika ditambah oleh warga yang mengontrak), dan 228 jiwa ini, sering berserakan ikan-ikan laut yang dibawa oleh para burung-burung ini ke sarangnya. Karena selain mencari makan di rawa atau sawah, burung-burung ini tidak jarang juga mencari ikan-ikan di laut. Adalah laut Pameungpeuk yang menjadi destinasi favorit dari burung-burung ini. Jarak sekitar 48 KM dari kampung Blekok ke Pameungpeuk di Kabupaten Garut bisa mereka tempuh secara pulang-pergi setiap harinya.
Ketika ditanya mengenai berapa jenis burung yang menetap di sini, Pak Ujang menceritakan bahwa dari puluhan hingga ratusan tahun lalu, dari masih banyaknya rawa dan danau yang berada di sekitar kampung Blekok, hanya ada tiga jenis burung yang bermukim di sini: Kuntul Putih (Egretta Garzetta), Kuntul Kerbau (Bubulcus Ibis), dan Blekok atau Belibis (Ardeola Speciosa).
Adapun jam kerja mereka ketika akan mencari makan. Pak Ujang kembali menuturkan, biasanya burung-burung ini memecah kelompok menjadi beberapa gelombang. Gelombang pertama berangkat pukul enam pagi, disusul oleh gelombang kedua yang berangkat pukul tujuh pagi, hingga gelombang terakhir yang pergi pukul delapan pagi. Arah yang ditujunya pun berbeda-beda, tiap kelompok berpencar ke empat penjuru mata angin: utara, selatan, barat dan timur. Di sore hari sekitar pukul 4-5, barulah ribuan gerombolan burung-burung kembali berdatangan untuk beristirahat.
Sayangnya kami terlambat menyaksikan ribuan gerombolan burung-burung itu berpencar mencari makan, tapi tak apa, kami yang tiba pukul 9-an toh masih bisa menyaksikan ratusan anak-anak burung kuntul yang sedang mendapatkan pelajaran terbang dari para induknya.
Juni-Juli biasanya memang menjadi bulan di mana anak-anak burung Kuntul dan Blekok belajar terbang. Siklus kehidupannya pun sudah terancang setiap tahunnya: Februari mereka datang, Maret kawin dan bertelur, April menetas. Sedangkan ketika musim penghujan tiba di bulan September hingga Januari, ribuan burung tadi akan bermigrasi ke arah Barat atau Timur Indonesia. Walau demikian, bukan berarti empat rumpun bambu yang terdapat di kampung Blekok ini akan kosong melompong ditinggal pergi oleh burung-burung tadi. Burung Kuntul Kerbau, yang tidak terlalu tergantung terhadap ikan dan sangat menyukai serangga-serangga inilah yang akan menetap di kampung ini.
Disinggung mengenai penamaan Kampung Blekok, Pak Ujang menuturkan bahwa pemilihan nama Blekok cukup beralasan, selain menjadi primadona di kampung yang dulunya bernama Ranca Bayawak ini, keberadaan burung Blekok yang hanya tersisa kurang lebih 700 ekor inilah alasannya.
Pak Ujang pun mengajak kepada seluruh masyarakat untuk ikut membantu mempertahankan keberadaan kampung seluas 3000m ini, karena bukan tidak mungkin, semakin serakahnya para kapitalis dalam menggerus alam dan menggantinya dengan gedung-gedung bertingkat, serta minimnya perhatian dari para pemerintah, akan membuat kelestarian burung-burung ini menjadi terancam kehidupannya.
Untuk warga kampung Blekok, tenang saja, kalian tidak akan pernah berjalan sendirian. #YNWA This is Ranca Bayawak!
Oleh-oleh:
Tautan asli: https://firzarichsan8.wordpress.com/2016/08/01/ngaleut-kampung-blekok/